CakNun.com
Kebon (194 dari 241)

Haqqullah dan Zombie

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 6 menit
Foto dan Ilustrasi oleh Adin (Dok. Progress).

Waktu di SMA dulu di mana saya menyewa kamar gedheg di Kadipaten, sudah ada dua anak Menturo, Cak Pai dan Mual Kudi yang ikut saya. Tidak saya pekerjakan, karena saya tidak punya kantor atau apapun untuk bisa mempekerjakan. Mereka bukan pembantu. Mereka hanya ikut. Tinggal sekamar dengan saya. Sehari-hari ikut makan dan saya sedih karena mereka tidak punya kegiatan harian apapun selain membantu sedikit-sedikit beberapa keperluan hidup saya.

Waktu pindah ke kios kecil Kadipaten K-11, Eko Tunas dan EH Kartanegara, ditambah Farchan putra Pak Carik Menturo, juga hidup bersama saya. Apalagi kelak di Patangpuluhan. Suasana sehari-harinya seperti kamp pengungsian. Banyak sekali anak-anak muda yang selalu berkumpul. Ada yang tinggal permanen. Ada yang rutin datang. Ada yang sesekali. Mereka berasal dari berbagai aktivitas, terutama kemahasiswaan dan kesenian.

Jangankan lagi juga di Kadipiro. Hingga sekarang, meskipun bentuk budayanya berbeda-beda. Sampai Ramadlan kemarin pun saya masih bersentuhan dengan nuansa gerombolan semacam itu.

Senyampang akhir Ramadlan hingga habis Idul Fithri kemarin saya ada di Jakarta, sekumpulan pengusaha dan beberapa jenis aktivis profesional lainnya meminta waktu saya. Kesempatan-kesempatan seperti itu membuat saya agak lebih memahami kenapa orang memanggil saya “Mbah”. Orang mau jumpa dan mengobrol, mengeluh atau menimba sesuatu dari saya tidak karena saya lebih ahli dalam bidang yang mereka geluti.

Tidak karena saya memiliki kelebihan apapun dalam kehidupan. Melainkan karena saya lebih tua usia. Lebih banyak mengenyam asam garam kehidupan lebih dari mereka semua. Saya juga tidak pernah menyimpulkan bahwa “makan asam garam kehidupan” itu membuat saya melebihi mereka dalam hal apapun. Benar-benar sekadar karena sudah saya lebih lama mengalami hidup. Jadi murni soal durasi waktu atau jam terbang belaka.

Ternyata, meskipun banyak hal dan bidang yang mereka kemukakan, pusat lingkaran tematiknya sama, yakni kecemasan dan kegerahan mereka menghadapi manusia. Padahal mereka juga manusia. Saya pun beatapa pun juga memang manusia. Dan terus terang saja, ketika obrolan baru 5-10 menit digulirkan, yang mulai saya rasakan adalah bahwa kami kelihatannya mengalami kondisi yang sama. Kekecewaan yang sama. Mungkin juga frustrasi dan paranoiya yang sama. Trauma yang sama. Dan saya pastikan nanti akan segera terbukti bahwa semua itu sumbernya adalah kebrengsekan-kebrengsekan kelakuan manusia.

Mereka orang bisnis. Orang dagang. Urusannya lalu lintas barang dan uang. Keuntungan dan kerugian. Hal-hal materiil dalam kehidupan di dunia. Satu demi satu mulai tampak yang mereka keluhkan adalah soal kecurangan, penipuan, ketegaan hati, kekejaman dan kedhaliman. Salah seorang menyatakan: “Seharusnya manusia belajar kepada Zombie”.

Karena jenis trauma dan frustrasi saya tertentu, dari kalimat itu yang menancap di pikiran saya bukan Zombie, melainkan kata “belajar” yang dikaitkan dengan “manusia”. Muncul suara sinis dari dalam hati saya: “Manusia kok diharapkan untuk belajar. Sejak Qabil melihat burung gagak menguburkan gagak lain, kapan manusia belajar? Paradaban Irama dzatil ‘imad zaman Nabi Hud hingga peradaban supra modern abad ke-21 ini bukanlah hasil manusia belajar. Melainkan produk dari kerakusan manusia untuk memenuhi selera mereka dan hasil keserakahan mereka untuk mencapai nafsu dan ambisi mereka. Memang ada ilmu, teknologi, kreativitas, inovasi bahkan invensi dalam peradaban manusia, tetapi semua itu hanya alat dan cara yang ditempuh untuk memenuhi selera, ambisi dan nafsu kerakusan mereka.

Di desa-desa Pulau Jawa sejak zaman Singosari bahkan sebelumnya, sampai beberapa puluh tahun sebelum merdeka di tahun 1945, tidak ada perubahan yang signifikan, tidak ada kemajuan yang menonjol pada kehidupan dan budaya mereka. Sangat jauh dari progresi kemajuan hidup keduniaan di benua Eropa.

Sebab yang dikembangkan oleh bangsa Jawa adalah Peradaban Intrinsik rohaniah di dalam semesta jiwa mereka. Sementara di luar Jawa, utamanya di Eropa, yang diusahakan adalah Peradaban Ekstrinsik materialistik. Sejak kasus apel jatuh di taman, revolusi roda, Renaissance hingga era online sekarang ini. Kalau orang mancanegara bikin telepon, Pager, SMS hingga TikTok, manusia di Jawa mengembangkan kepekaan dan kewaskitaan batin.

Dalam beberapa detik teman pengusaha itu mengungkapkan satu kalimat, otak saya sudah mengembara sampai Newton hingga Suryomementaraman. Ternyata saya salah sangka. Emphasis kalimatnya bukan pada manusia dan belajar, melainkan pada Zombie.

“Kenapa manusia harus belajar kepada Zombie?”

Si pengusaha menjawab, “karena Zombie hanya memakan manusia hidup tanpa pernah memakan sesama Zombie. Sedangkan manusia memakan sesamanya”.

Saya mulai agak menangkap arah pembicaraannya. Menurut Al-Qur`an bahkan manusia juga memakan Zombie.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Tuhan menginformasikan dengan retorika pertanyaan: Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Jawaban para pengusaha itu: Ya. Ya banget. Manusia membunuh usaha sesama manusia. Manusia menghancurkan bangunan sesama manusia. Manusia membunuh karakter manusia. Manusia sendiri bahkan yang menciptakan istilah “pembunuhan karakter”. Manusia mematikan eksistensi sesama manusia. Juga, dalam luasan konteksnya firman Allah lagi yang menyatakan:

وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ

Dan fitnah itu lebih dahsyat (kejam) dari pembunuhan.”

Manusia baku bunuh sesama manusia itu tidak hanya per individu, tapi bisa juga lembagawi, bahkan bisa dilakukan oleh pemerintahan sebuah negara. Saya tidak punya pengalaman sedikit pun menjadi penguasa. Juga sama sekali bukan politisi, pejabat atau penguasa. Tetapi sangat sering saya mempersaksikan, menjadi tukang tadah keluhan-keluhan, bahkan terkadang sedikit ada ketersentuhan oleh kasus-kasus pembunuhan semacam itu.

Saya sendiri pernah dibunuh. Bahkan beberapa kali. Kalau boleh bilang, sebenarnya berkali-kali dibunuh atau diupayakan melalui cara tertentu untuk supaya saya terbunuh. Tentu tidak berarti yang membunuh saya adalah kaum pembunuh. Mereka mungkin sekadar tidak krasan ada saya dalam kehidupan yang mereka dan saya sama-sama ada di dalamnya. Mereka mungkin sekadar melaksanakan, atau menyewa orang, agar mengupayakan perubahan dari saya ada menjadi tidak ada.

Jadi manusia melakukan pembunuhan dalam berbagai kadar dan gradasi. Ada pembunuhan sampai tingkat peniadaan nyawa dan penghancuran jasad. Ada yang merekayasa pembunuhan eksistensi atau keberadaan. Ada yang membunuh modalnya, aksesnya, atau hak hidupnya dalam bidang tertentu. Ada pembunuhan yang tingkatnya mungkin hanya mentujuhkan sembilan, mengkotorkan kebersihan, mengubah dari kenikmatan menjadi kebosanan. Atau berbagai macam bentuk pembunuhan lainnya.

Dan dari obrolan dengan para pengusaha itu, saya menatap kehidupan saya sendiri. Betapa yang membunuh saya tidak pasti hanya mereka yang memusuhi saya. Di antara manusia ada pembunuhan yang dilakukan kepada temannya sendiri, keluarganya sendiri, anaknya sendiri, atau bapak dan Mbahnya sendiri.

Tuyul-tuyul yang menjual-jual saya di Supermarket Youtube dan sejumlah pasar lain itu mengambil apa saja dari kebun dan sawah saya, dari wajah dan mulut saya, segala sesuatu yang kira-kira sedang laku di pasar. Apa saja yang sedang populer dan dibeli orang, disambung-sambungkan dengan barang yang dicuri dari saya, digathuk-gathukkan, seakan-akan saya tampil dalam setiap masalah yang sedang aktual. Di pasar Youtube saya ditampilkan menjadi manusia usil, nyinyir, selalu mengomentari apa saja yang sedang jadi pergunjingan, suka membantah, suka melawan dan sok pahlawan.

Saya dibunuh secara simultan. Bisa image sosial saya atau citra kepribadian saya. Atau bisa akses hari esok saya. Bisa keberlakuan atau kompatibilitas kehadiran saya, yang sejak kecil saya proses dan perjuangkan secara sangat hati-hati dan mengandalkan beribu-ribu kewaspadaan hidup.

Dan sampai hari ini hukum tidak melindungi saya. Undang-undang IT tidak membela saya. Negara tidak memagari kedhaliman menimpa saya. Aturan-aturan dunia global juga sama sekali tidak punya konsern terhadap keteraniayaan saya.

Tiap hari sekian kali saya melaporkan sekian item barang curian itu ke Markas Maiyah Kadipiro. Awalnya dengan rasa kecewa karena mungkin di antara Tuyul-tuyul itu ada anak-anak saya sendiri di Maiyah. Kemudian kagum pada kenyataan ternyata banyak manusia yang begitu beraninya terus menerus melakukan kebohongan dan kejahatan. Kemudian marah karena jelas-jelas mereka selalu tega menyakiti saya. Akhirnya saya muak dan benci dan tidak lagi memohonkan kepada Tuhan ampunan kepada manusia-manusia pencoleng seperti itu. Masuk Idul Fithri malah yang muncul di benak saya adalah ucapan “La’natullah ‘alaihim”. “Wama romaita idz romaita walakinnalloha roma”.Afahasibtum annama kholaqnakum ‘abatsan wa annakum ilaiNa la turja’un”.

لَّا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ
إِلَّا مَن ظُلِمَ ۚ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Saya bukan orang hebat, sebab mustahil ada manusia yang hebat. Saya tidak pernah tidak mendekat kepada Allah, meskipun saya tidak tahu dan tidak berhak menyimpulkan apakah Allah sendiri merasa dekat dengan saya. Namun saya yakin kepada ketekunan dan istiqamah untuk selalu mendekat kepada-Nya Saya bukan orang yang Allah mengakui sebagai bertaqwa, saleh atau apalagi sakti. Tetapi saya tidak pernah tidak meyakini bahwa Allah maha sakti dan maha adil.

Sebagai manusia biasa saya tidak punya alat untuk memastikan bahwa Allah akan berlaku begini atau begitu. Tetapi justru sebagai manusia yang tak berdaya, saya tidak akan mundur dari iman dan keyakinan bahwa Allah memberi balasan kebaikan kepada hamba-Nya yang memperbuat kebaikan dan memberikan balasan keburukan kepada hamba-Nya yang memperbuat keburukan. Itu hukum Allah. Itu sikap Allah. Itu haqq-Nya Allah.

Haqqulah tidak cukup hanya diartikan sebagai kebenaran Allah. Apalagi dipahami sebagaimana kata “hak” dalam Bahasa Indonesia yang memang sembrono dan ngawur. Haqqullah meliputi segala entitas Allah, kekuasannya, kemampuan-Nya, kemerdekaan-Nya, kebaikan dan kemurahan-Nya, ketegasan dan konsistensi-Nya, bahkan sampai juga keindahan dan kemutlakan-Nya. Kandungan haqq Allah meliputi segala-gala dimensi pada Maha Diri-Nya.

خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ وَصَوَّرَكُمْ
فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ ۖ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ

Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq. Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu dan hanya kepada Allah-lah kembali(mu).”

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ
هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

Kuasa Allah yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Dan haqqullah itu tidak menjadi batal atau berubah hanya karena ada manusia-manusia yang tidak mempercayainya sehingga mantap terus melakukan hal-hal yang Allah pasti akan mengutuknya dan menurunkan balasannya.

Lainnya

Manusia Itu Makhluk Ghaib

Manusia Itu Makhluk Ghaib

Manusia menghadapi manusia dan menilai berdasarkan fokus nilai tertentu. Ada manusia menghadapi manusia dengan fokus fiqih, yakni tata aturan peribadatan Islam.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Sowan ke Dipowinatan dan Usia Tinggal 3,5 Bulan

Sowan ke Dipowinatan dan Usia Tinggal 3,5 Bulan

Saya merasa penting untuk mencatat dan diketahui bersama bahwa persambungan saya dengan anak-anak Dipowinatan bukan dimulai dengan mereka “sowan” atau “menghadap” saya di Kadipaten, meskipun ketika itu kebetulan nama saya sudah banyak dikenal di Yogya maupun nasional melalui tulisan-tulisan nonstop saya di media massa.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib