CakNun.com

Hanya Mengumpulkan Puzzle-Puzzle Kesembuhan

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Yoann Boyer on Unsplash

Ketika saya upload status atau foto yang menggambarkan dan menceritakan kesembuhan pasien-pasien saya, banyak ucapan selamat disampaikan kepada saya. Langsung lewat WA maupun ucapan selamat di wall saya. Saya pun tersenyum, karena sebenarnya mereka salah sangka. Sebab, bukan saya sebagai dokter yang berhasil menyembuhkan. Bukan pula tim kami yang menyembuhkan. Sama sekali bukan.

Sebagi dokter, kami hanyalah tukang, bukan seorang arsitek penyembuhan, bukan pula sang pemilik kerja penyembuhan. Kami hanya bisa mengumpulkan puzzle-puzzle yang terpisah, kemudian kami susun pelan-pelan untuk kami jadikan bentuk atau gambar yang sesuai. Tergantung dari jumlah dan besarnya puzzle- puzzle atau kepingan kepingan tersebut.

Ada yang mudah disusun karena memang simpel, ada pula yang sukar. Sering kami mendapat kepingan-kepingan yang banyak, kecil-kecil dan rumit. Sehingga kami harus sabar, berpikir keras, bekerja sama dalam sebuah tim dalam satu gugus tugas. Demi mengumpulkan dan menyusun kepingan-kepingan tersebut agar tersusun dengan rapi dan indah dan bernama ‘kesembuhan’.

Jadi, kami ini adalah sang penyusun kepingan kepingan (puzzles). Layaknya seorang detektif yang mesti menyelesaikan sebuah teka-teki kriminal sehingga mendapatkan jawabannya.

Bagaimana tidak? Dari awal pasien datang kami melakukan pekerjaan investigasi, untuk kami susun dan kami ambil kesimpulan sementara dari investigasi kami. Misalnya, seorang ibu membawa anaknya ke poliklinik karena demam. Maka kami menginvestigasi, sejak kapan demamnya, bagaimana pola demamnya, apakah menetap, ataukah naik-turun. Apakah sudah diberi obat penurun demam, bagaimana efeknya. Apakah ada kondisi lain yang menyertai demam seperti, batuk, pilek, dan lain lain.

Ini baru masalah demamnya saja, bisa berpuluh dan beratus pertanyaan. Dan kami menemukan kepingan-kepingan permasalahan kesehatan pada seorang pasien dari pintu masuk yang bernama ‘demam’. Ada kepingan: demam sudah tiga hari, polanya menetap, hanya turun ketika diberi obat, 2 jam kemudian naik lagi, tak ada penyakit lain yang menyertai, dan lain-lain.

Layaknya tugas investigatif seorang detektif, maka kami menelusur keterkaitan si ‘demam’ ini dengan kondisi lain. Sehingga kami akan mengambil kesimpulan sementara dan membuat sebuah kesimpulan yang berisi beberapa kemungkinan penyakit yang ada di dalam benak kami. Begitulah sebagian kecil tugas dan pekerjaan kami. Bila penyakit sudah ‘bernama’ atau sudah ketemu ‘diagnosis’-nya maka baru kami akan memberikan obat yang sesuai dengan diagnosis penyakit.

Ada beberapa kemungkinan hasil setelah pemberian obat tersebut. Membaik, menetap, atau bahkan memburuk. Ini juga merupakan puzzle baru yang harus kami kumpulkan lagi untuk kami susun lagi. Yang sering, puzzle puzzle yang baru ini menjadi lebih rumit. Karena kondisi membaik atau menetep bahkan memburuk ini ada banyak kemungkinan yang terjadi. Banyak faktor yang mempengaruhi.

Kalau membaik, artinya diagnosisnya tepat, obatnya tepat, dosisnya pas, lama pemberian obatnya pas, dan tubuh berespons terhadap obat dengan baik.

Nah disini apakah ada unsur manusia (dokter) yang ‘menyembuhkan’? Kami hanya mengumpulkan data investigasi kami dan mencocokkannya dengan ilmu yang sudah kami peroleh, dan kemudian memberinya treatment, bisa berupa obat, tindakan operasi, fisioterapi, radioterapi atau apapun. Tetapi kami tidak bisa memberikan kesembuhan.

Sungguh kami tak tahu apa apa. Keputusan menyembuhkan mutlak ada di genggaman Tuhan. Kalau Tuhan berkehendak sembuh, ya pasti akan sembuh. Kalau Tuhan tak berkehendak, maka seampuh apapun usaha manusia, secanggih apapun teknologi penyembuhan mengupayakan, pasti tak akan ada ‘kesembuhan’ itu. Kalau ada seorang manusia (dengan keyakinannya, kesombongannya) menyatakan kesembuhan, maka tunggulah saat ‘malu’ akan tiba.

Pernah saya mengalami hal seperti itu. Saya nyatakan seorang pasien sudah sembuh. Bebas obat. Saya yakinkan orang tuanya, kakek, dan neneknya. Dan keluarga pasien saya tersebut sudah membuat ‘kenduren’ atas kesembuhan penyakitnya tersebut. Tetapi, beberapa bulan kemudian pasien yang sudah dinyatakan (dengan yakin) sembuh ternyata kambuh lagi.

Relaps.

Saya beristighfar, dan saya kembalikan semuanya kepada Allah, sang maha Penyembuh. Asy-Syaafii. Ya Syaafi, saya mohon ampun. Tapi jangan marah kepada saya.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan Rasulullah Saw. berdoa kepada Sang Maha Penyembuh.Beliau mengusap dengan tangan kanannya dan berdoa:

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِه وأَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَآءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan, Engkau Dzat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain.”

Lainnya

Meng-Allah Menghadapi Wabah

Meng-Allah Menghadapi Wabah

Wabah di balik gemerlapnya modernitas zaman yang harus diwaspadai pada konteks kekinian agaknya bukan hanya penyakit menular, melainkan juga yang bernama “ketakutan”.

Iman Budhi Santosa
Iman B.S.
Exit mobile version