Hajj From Home
Hari-hari ini, virus varian delta seolah tak terkendali. Sirine ambulans tak henti terdengar, berita kematian pun hampir setiap hari. Masyarakat Indonesia seolah dihimpit oleh dua gunung besar, yaitu risiko terpapar virus dan risiko “mati kelaparan” karena aturan setengah hati dari para pemegang kewenangan.
Bangsa ini berada dalam kebingungan yang bahkan sangat sulit untuk diuraikan menghadapi hari-hari yang serba tak pasti. Orang-orang yang taat pada protokol kesehatan, bahkan tenaga medis yang memakai APD lengkap dan mempunyai akses farmasi yang lebih mudah, pun tak tertutup kemungkinan untuk terpapar dan terkapar. Standar dan prosedur penanganan pun masih menyisakan banyak pertanyaan dan perdebatan.
Kondisi tak menentu ini, membawa benak untuk merenungi situasi yang sama dan bahkan lebih mencemaskan, yaitu saat ibu Hajar berada di tengah teriknya Padang Sahara bersama putranya Ismail yang menangis kehausan. Tangis kehausan itu yang membuat ibu Hajar terus bergerak, tak berhenti berharap dan berusaha, lari berbolak-balik dari bukit Shafa ke Marwa untuk menemukan air bagi putranya. Yang kemudian dijadikan laku Sa’i yang mengisyaratkan makna perjuangan hidup pantang menyerah. Hidup harus dihadapi dengan usaha keras dalam menghadapi berbagai tantangan dan menghadapinya dengan penuh kesabaran, keuletan, dan ketaqwaan kepada Allah Swt. Senada dengan yang dipesankan Mbah Nun dalam Tetes berjudul Covid-19 dan Amal Saleh, “Maka ada Covid-19 atau tidak, setiap manusia tidak punya kemungkinan lain kecuali bertanggung jawab kepada Tuhan dengan tidak berhenti beramal saleh, bekerja keras, kreatif dan tajam mencari peluang, apalagi manusia punya backing kepercayaan bahwa Tuhan menjamin rezeki semua ciptaan-Nya, meskipun nyamuk atau ulat yang melata”.
Dengan spirit dan kesadaran itu, semoga Allah berkenan memberikan kita jalan keluar dan pertolongan, seperti keluarnya air zamzam yang melimpah, menyembuhkan, dan tak pernah habis.
“Allahumma inna nas-aluka i’lman naafi’an, wa rizqan waasi’an, wasyifaa-an min kulli daa-in.” (Ya Allah sesungguhnya kami mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas dan kesembuhan dari tiap penyakit).
Kemudian, di tengah kepungan Covid-19 yang Tidak Maha Pengampun dan Maha Penyayang ini, kita perlu melakukan “wukuf”. Berupaya merenungi hakikat penciptaan alam semesta. Merenungi perbuatan apa saja yang telah kita lakukan, sebagai pribadi maupun sebagai bangsa. Bagaimana orientasi hidup kita selama ini, yang diakui atau tidak, semakin menjauh dari Allah.
Bisa jadi Pandemi ini adalah “dam” yang harus dibayarkan karena kita terlalu sering dan bahkan gemar sekali melakukan “rafats” alias berkata-kata kotor, tak henti “jidal” atau berbantah-bantahan, yang menjadikan kita “fusuq”, melakukan perbuatan-perbuatan fasik. Hal-hal tersebut bisa kita lihat melalui hal paling sederhana dan sehari-hari, salah satunya adalah pada budaya media sosial kita, yang tak henti mencari laba dengan cara manipulasi bahkan pembunuhan karakter. Yang bahkan, Mbah Nun yang menjalankan azizun ‘alaihi ma ‘anittum segala penderitaan wong cilik, yang mencurahkan kemurahan-kemurahan (ilmu, waktu, energi, pengorbanan “karier”) yang melimpah yang dipersembahkan dan korbankan selama berpuluh-puluh tahun pun tak luput menjadi korbannya.
Mari kita semua merenung kembali, sebagaimana sabda Kanjeng Nabi, “Inti ibadah haji adalah wukuf (berdiam diri) di Arafah”.
Padang Arafah adalah simbol tempat ketika kelak umat manusia sejak Nabi Adam As. hingga insan terakhir dihitung amal perbuatannya. Padang Arafah mengingatkan kita pada Hari Kiamat.
Ketika Mbah Nabi Adam dan Siti Hawa berjumpa di Arafah, mereka bersama-sama memuji kebesaran Allah. Keduanya memohon ampun atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Mereka menyesali diri dan mengharapkan rahmat serta kasih sayang Allah.
Momentum ini kita gunakan untuk memperbanyak doa, beristighfar (memohon ampunan Allah), serta melakukan penghisaban, yakni introspeksi atau perhitungan diri atas segala perbuatan yang pernah dilakukan.
Sebab, setiap manusia, baik tua maupun muda, laki maupun perempuan, berilmu maupun tidak, pejabat atau rakyat jelata, semua pernah berbuat kesalahan.
Semoga dengan itu, Allah berkenan mengampuni segala kesalahan dan dosa kita, menolong kita agar tidak menjadi manusia-manusia uget-uget, kepribadian gathul dan mental kawul kobong.
Semoga Allah berkenan menolong kita dan tetap berkenan “bermaiyah” dengan kita.
Semoga kita segera Arafah dari tarwiyah kita, semoga ibu Hawa Pertiwi dan bayi Ismail Nusantara ini benar- benar mendapat zamzam yang mensejahterakan dan menjadi cikal bakal peradaban baru yang Thoyibatun wa Robbun Ghofur.
“Kami datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, kami datang. Kami penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, kami penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.
Salam sejahtera atas junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya.
Ya Allah sesungguhnya kami memohon keridhaan dan surga-Mu, kami berlindung pada-Mu dari murka-Mu dan neraka. Wahai Tuhan kami, karuniailah kami kebaikan di dunia dan kebaikan pula di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa neraka.”
Pandaan, 18 Juli 2021.