CakNun.com

Guneman Gathul

Rio NS
Waktu baca ± 3 menit
Foto: Adin (Dok. Progress)

Dua hari lalu, kita dikejutkan oleh tulisan Mbah Nun di rubrik Tajuk. Seketika setelah membacanya, saya terlempar pada situasi kelumpuhan berpikir yang luar biasa. Lontaran ucap ke sedikit saja kawan gagal mendapatkan jawaban yang melegakan.

Setelah sebelumnya dihubungi oleh dua orang sohib melalui lorong pribadi, saya tuliskan ini. Sebuah rangkaian kata-kata yang lebih mirip solilokui, perbincangan sepi dialog diri seorang gathul yang maknanya bisa saja sekadar igauan.

Dari pembacaan berulang tulisan berjudul Saya Berhenti Maiyahan, perkenankan saya uraikan lima pen-tadabbur-an.

  1. Sejatinya, teramat naif kalau kadar keterusikan beliau atas perilaku “tuhan-tuhan kecil” di semesta medsos (dan sikap serta reaksi Jama’ah Maiyah) begitu hebatnya sehingga melahirkan keputusan untuk “berhenti maiyahan”; mundur ke ranah lebih senyap dari jalan sunyi. Namun izinkan saya menempatkan kemungkinan ini pada urutan pertama dengan probabilitas paling tinggi. Ya, Mbah Nun akan menghentikan segenap cipta, rasa, karsa, karya beliau secara wadak maupun rohani dari, ke, dan di Maiyah.
  2. Sebagaimana telah kita kenali secara karib, tulisan Mbah Nun adalah bentuk lain dari meteor jatuh. Ia berasal dari langit, datang secara tiba-tiba dan membawa multi pesan yang sangat tidak generik interpretasi harfiahnya. Maka kemungkinan kedua adalah bahwa tulisan itu merupakan ajakan beliau kepada siapa saja di simpul, lingkar, kelompok rerasanan, warung-warung kopi kerisauan atau sebaran energi orang per orang dalam galaksi Maiyah untuk secara radikal-revolusioner meninggalkan dunia maya dan bermigrasi secara kaffah ke jagad kenyataan. Alasannya jelas, situasi sudah kian tak punya spasi bagi kerja penantian.
  3. Merupakan turunan langsung dari kemungkinan nomor dua. Di dalam tulisan dimaksud, Mbah Nun menyebutkan tiga anasir, yakni: uget-uget, gathul, dan kawul kobong. Sambil terus dicari padanan paling tepat dari bahasa amsal itu, saya sodorkan satu peluang personifikasi satu dari tiga, dua dari semua atau ketiganya sebagai mereka yang ada di kategori penggiat dan pegiat Maiyah. Artinya, tulisan beliau adalah cambukan paling keras dari beratus lecutan yang beliau timpakan kepada kita. Singkatnya, “Woi, rek…ini fase sudah bukan lagi sekadar pageblug, lho. Ini sudah nyaris menuju situasi koyok gabah den interi. Ayo, age-age, bersegeralah!”
  4. Masih kerabat dekat point ke-2 yang analoginya seperti pernah Mbah Nun sematkan kepada event Maiyahan sebagai “Satu Forum Seribu Podium” dan untuk serta karena itu maka dawuh beliau sangat mungkin mengantarkan kita ke pelataran “Satu Kata Berpuluh Makna”, maka tulisan tersebut adalah ujaran eksplisit kepada Indonesia yang dalam bahasa tubuh pesilat dilambangkan dengan bertemunya kepalan dan telapak tangan terbuka di depan dada. Simplifikasi dari itu adalah bahwa Mbah Nun bersama anak cucu Maiyah meski senantiasa “I love you full” ke Indonesia dengan sangat terpaksa tidak lagi ma’a, lo-gue…end.
  5. Biarlah yang ke-5 ini tersimpan rapi di tangis, do’a dan rindu tak kan usai saya kepada Maha Guru, Mursyid, Cacak, Bapak, sahabat, dan Mbah kita tercinta.

Dari kelima interpretasi tersebut, saya memilih point (2) sebagai jalan tengah yang paling “laik terbang” dan appropriate. Elemen logisnya adalah pembacaan akan situasi di depan mata yang tidak lagi bisa disikapi dengan reaksi normal keseharian. Pandemi, kebangkrutan global dan dekadensi mondial yang secara mudah kita lihat, dengar dan rasa di tataran kasunyatan mengharuskan reaksi sepadan dan berimbang. Ribuan bekal dari tataran konsep, langkah taktis hingga uswah atau keteladanan sudah Mbah Nun curahkan layaknya talang menyediakan dirinya bagi aliran hujan. So, sekarang atau tidak sama sekali.

Kalau memang pada akhirnya, kita jumud di kenyamanan wacana dan gak lapo-laopo, ikhlaslah untuk sampai ke etape kenyataan berikutnya bahwa apa yang Mbah Nun tanam sekadar menjadi uget-uget, gathul, dan kawul kobong, yang gone with the wind di lintasan masa.

Tulisan ini membuka diri dengan selebar-lebarnya terhadap penafsiran lanjutan, peluang rincian teknis dan tentu saja kunci-kunci apriori dari siapa dan apa saja.

Blitar, 16 Juli 2021.

Lainnya

Topik