Gede Rasa
Bagi para pecundang semasa remaja seperti saya, tahu persis bagaimana memalukannya untuk GR, alias Gede Rasa. Bagaikan pungguk merindukan bulan, kami para pecundang mengejar-ngejar perempuan yang sudah jelas di luar jangkauan. Dan para bidadari itu saking baik hati kadang merasa tidak tega, dan kemudian sedikit memberikan respons, hanya untuk sekadar basa-basi kesopanan sosial. Kami saking dahaganya akan cinta sangat bergembira hati dengan respons itu, dan dengan bodoh menyangka bahwa masih ada harapan untuk merengkuh rembulan. Dan lebih menyedihkan lagi, berhalusinasi kalau cinta telah berbalas.
Oh betapa malangnya. Betapa memalukannya.
Eit, tapi tunggu dulu. Ketahuilah bahwa ada banyak pintu menuju Ruang Kesadaran. Salah satu pintu terbesarnya adalah Penderitaan. Barangkali penderitaan para pungguk itu telah mengantarkan mereka memperoleh hikmah yang sangat berharga yang membuatnya menjadi manusia–yang minimal tidak ikut membuat kerusakan di muka bumi. Pengalaman menyakitkan GR itu mengajarkan kepada para pungguk untuk ‘bisa merasa’, daripada ‘merasa bisa’.
Supaya tidak lagi terjerembab dalam pengalaman menyakitkan dan memalukan itu, mereka menjadi orang yang selalu melakukan introspeksi, supaya tahu diri. Mereka merasa sangat berat ketika membaca Al-Qur’an. Rasanya seperti menjadi tertuduh yang ditelanjangi habis kesalahannya. Ketika Al-Qur’an berbicara tentang orang munafik yang tidak pernah sungguh-sungguh membantu perjuangan Nabi, mereka merasa berdiri di depan cermin dan melihat bayangannya di sana. Mereka merasa selama ini hanya berdiri di tepian saja, melihat teman-teman berjuang sepenuh hati menolong agama Allah. Mereka merasa hanya membantu sesempatnya saja, dan kalaupun menginfaqkan harta, hanya sebagian kecil darinya.
Ketika Al-Qur’an menjelaskan tentang iblis yang diusir dari surga karena merasa lebih baik dari Adam dan karenanya dengki dengan kekhalifahan Adam, mereka merasa serupa dengannya. Mereka khawatir hati mereka dipenuhi kesombongan. Mereka selalu waspada jangan sampai mengira bahwa diri mereka lebih istimewa dibandingkan orang lain, dan oleh karena itu kemudian merasa iri hati ketika melihat orang lain melebihi atau bahkan sekadar menyamainya.
Dalam urusan bermasyarakat para pungguk juga sangat mawas diri. Mereka sangat berhati-hati untuk mengajukan diri memegang amanah yang dia tidak yakin bisa memanggulnya. Para pungguk ketika shalat berjamaah mati-matian berusaha untuk tidak menjadi imam, walaupun teman-temannya mendorong-dorongnya. Para pungguk sangat berhati-hati untuk tidak kembali kegedhèn rumangsa.
Untunglah mereka sedikit terhibur karena ada orang bijak yang mengatakan sudah lumayan kalau kita ‘bisa rumangsa/merasa’ daripada ‘rumangsa/merasa bisa’. Artinya masih ada peluang untuk memperbaiki diri. Tidak ada orang baik yang mengklaim dirinya baik, kata beliau. Sehingga Nabi Adam pun berdoa “Rabbanaa dholamnaa anfusanaa wa in lam taghfirlanaa watarhamnaa lanakuunanna minal khaasiriin.”
Tetapi justru mental ‘merasa bisa’ inilah yang diagung-agungkan oleh budaya modern. Kalimat ‘mutiara’ seperti “Kalau dia bisa, kenapa kamu nggak bisa?” atau “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit” menjadi nasihat pembangkit motivasi yang digemari. Dulu pernah ada iklan rokok yang saya sangat gemas tiap kali melihatnya. Pikiran buruk saya yang suka menghakimi menyeruak, ini copy writer-nya pasti tipe orang ke-pede-an yang kebanyakan baca buku atau ikut seminar tentang motivasi. Katanya, “Apa sih bakat? Bakat itu cuma omong kosong. Cuma 5 huruf buatan manusia, biar kita ngerasa kecil. Bakat itu nggak dikasih, tapi diraih. Bakat yang sebenarnya adalah saat kita nggak pernah menyerah.” Orang ini tidak mengerti bedanya nasib dengan kehendak manusia, bedanya default dengan custom, bedanya bakat dengan tekat(d). Seolah-olah semua manusia diciptakan dengan kemampuan yang sama dan oleh karenanya pasti bisa melakukan atau mencapai yang orang lain bisa.
Mental ‘merasa bisa’ inilah salah satu penyebab rusaknya tatanan sosial kemasyarakatan. Manusia pada umumnya ‘merasa bisa’ sehingga berlomba mengejar posisi dan jabatan dan seringkali menghalalkan segala cara. Seolah-olah semua orang pantas menjadi dan bisa membawa kemaslahtaan sebagai komisaris perusahaan besar kepunyaan orang banyak dan mengurusi hajat hidup orang banyak. Atau seolah-olah semua orang layak dan mampu menjadi presiden sebuah negara yang sedemikian kompleks situasi dan permasalahannya. Pertimbangan utamanya bukanlah seberapa berat dan apakah bisa menanggung amanah jabatan, tetapi fasilitas dan kenikmatan yang dijanjikan darinya. Seandainya manusia mau belajar mengenali diri sendiri sehingga ‘bisa merasa’ bakat dan kecenderungannya, maka setiap orang akan tepat dalam menjalankan fungsinya di masyarakat. Right man in the right place.
Tetapi memang begitulah manusia. Tuhan sendiri telah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”. (QS. Al-Ahzab:72)