Gagah Berani Melakukan Kerusakan
“Derasnya politik adu domba di media sosial mencapai titik kulminasi. Video Cak Nun dipreteli dan dibubuhi kalimat sensasional. Para pelaku berlindung di balik tabir kemurahan hati dan pemberian maaf.”
Sejumlah warganet tampaknya rajin mengadu domba. Banyak potongan video Cak Nun dibubuhi judul bombastis. Belum lagi disandingkan sekaligus diversuskan dengan orang lain. Selain bermotif viral, kesengajaan itu bertujuan meraup untung material. Nahasnya lagi, sebagian pemilik akun merasa Cak Nun ikhlas serta mudah memberikan maaf.
Masalah ini dipaparkan Cak Nun dalam prolog Mocopat Syafaat edisi Kamis, 11 Maret 2021. Bukan mengherankan bila kali ini tema yang diusung bertajuk Keberanian Merusak. Padahal, beliau sendiri telah mengultimatum melalui tulisan berjudul Saya Tidak Ikhlas Dunia Akhirat pada medio bulan lalu. Perbuatan keji tersebut bukan saja merugikan pihaknya, melainkan juga merusak kohesi sosial.
Berbagai bentuk pengutipan maupun penyebaran itu dilakukan tanpa mempertimbangkan kemaslahatan jamak orang. Sebagian besar begitu manipulatif dan distortif. Akibatnya substansi informasi tak tersampaikan secara utuh. Bahkan cenderung berbentuk fitnah.
Cak Nun menyayangkan perilaku para oknum di balik perbuatan keji di media sosial. Betapa di ruang maya yang sesungguhnya mampu membangun “silaturahmi sosial” malah kenyataan di dalamnya justru sebaliknya. “Di media sosial itu tidak ada regulasinya. Kita bisa menjadi penulis sekaligus bisa menjadi editornya. Juga penyebar,” tegasnya.
Kendati terdapat kolom aduan, regulasi yang ditawarkan belum memadai. Cak Nun membandingkan era surat kabar cetak di masa silam. Dahulu masih ada regulasi, kontrol, dan kode etik. Kini nihil. Perusahaan media sosial seolah-olah cuci tangan. Enggan mencampuri urusan kubangan kebencian di media sosial. Tak ada pantauan maupun pengontrolan secara sistemik.
“Google bisa tidak menghilangkan nama Emha di internet? Saya senang banget kalau di medsos tidak ada saya,” celetuk Cak Nun menanggapi semakin santer pencatutan namanya. Menurut beliau, usai menulis peringatan bulan lalu, jumlah video berisi adu domba malah semakin meroket. Ironinya sebagian besar pelakunya adalah jamaah Maiyah. Setidaknya terlihat dari pengakuan orang bersangkutan.
Dalam bahasan Mocopat Syafaat tadi malam, perbuatan ini disebut sebagai disproporsi. Yakni tidak menentukan respons atas sikap Cak Nun. Misalnya, anak-cucu Maiyah tahu bahwa Cak Nun pasti memaafkan mereka, tetapi itu bukan berarti mereka Maiyah boleh melakukan kedhaliman kepada Cak Nun. Artinya, ketika mereka hendak melakukan sesuatu pertimbangan utamanya semestinya tetaplah kriteria prinsipil seperti benar atau salah, baik atau buruh, dhalim atau tidak terhadap orang lain, membawa kerusakan atau tidak, dan lain nilai yang semestinya menjadi pertimbangan. Bukan karena Cak Nun memiliki sikap memaafkan lantas mereka mengabaikan prinsip-prinsip perilaku.
“Bahwa saya memaafkan tapi ya jangan lantas dijadikan pedoman,” ucap Cak Nun. Itu sebabnya pertimbangan etis sangat penting. Namun, alih-alih masalah etis, di benak algoritma kepala mereka hanyalah terisi rumus untung dan rugi beserta berbagai motif pragmatis lainnya. Dengan semua, itu Cak Nun sedang prihatin melihat orang-orang begitu berani dan percaya diri melakukan kerusakan yang menggambarkan tak adanya pertimbangan mendasar apapun di balik tindakan mereka.
Cak Nun menanggapi hiruk-pikuk adu domba di media sosial. “Tolong jangan repoti saya karena saya harus minta ampun kepada Allah atas berbagai perbuatan (mereka) itu,” tuturnya. Beliau kemudian menyinggung konsep kualat. Cepat atau lambat segala bentuk perbuatan akan menjadi bumerang bagi pelakunya sendiri.