Founding Father of Terrorism
Banyak manusia hebat dan melakukan kehebatan. Juga sangat banyak hal atau kejadian yang aneh, atau tidak masuk akal, atau ajaib. Tetapi pandangan tentang kehebatan, keanehan, dan keajaiban itu yang berbeda-beda. Dan itu yang membuat ummat manusia terpilah menjadi “manusia tradisi” dengan “manusia modern”. Dari keterpecahan itu manusia mendirikan Kerajaan dan Negara, kelompok dan madzhab, ideologi dan aliran, gerombolan dan gang-gang. Yang kemudian bergesekan, konslet atau bahkan bertabrakan. Bermusuhan hingga perang. Terus-menerus sampai kapan pun. Sepanjang zaman. Tak henti bermusuhan hanya karena beda cara dan hasil pandang.
Keajaiban adalah sesuatu yang rasio ilmu manusia tidak bisa menjangkaunya, memahaminya atau menjelaskannya. Manusia berurusan dengan apa saja di dalam lingkup pemahaman akalnya, menggunakan ilmu. Sebagian manusia berurusan juga dengan hal-hal yang terjangkau oleh akalnya, sehingga menggunakan alat lain, yang bernama kepercayaan atau pada level dan spektrum tertentu disebut iman. Sementara sebagian lain, yang mungkin jumlahnya lebih banyak, tidak mau mengakui apapun di luar yang akalnya bisa menjangkau.
Berlangsunglah kompleksitas dan silang-sengkarut perhubungan antara ilmu dengan iman selama berabad-abad. Satu golongan menganggap segala sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara rasional adalah tidak nyata, kemudian disebut khayal, imajinasi, fatamorgana, dongeng, atau sangka-sangka. Golongan lain mendekatinya dengan kepercayaan dan iman. Namun banyak di antara mereka yang menjalani hidup dengan memperlakukan semua wilayah kepercayaan dan iman itu dengan pendekatan ilmu.
وَهُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّۖ وَيَوۡمَ يَقُولُ كُن فَيَكُونُۚ قَوۡلُهُ ٱلۡحَقُّۚ وَلَهُ ٱلۡمُلۡكُ يَوۡمَ يُنفَخُ فِي ٱلصُّورِۚ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِۚ وَهُوَ ٱلۡحَكِيمُ ٱلۡخَبِيرُ
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
Manusia bertentangan satu sama lain tentang yang “nampak”, apalagi yang “ghaib”. Bahkan manusia modern Indonesia tidak belajar dan bercermin kepada pandangan nenek moyangnya: Tan kinaya ngapa, tan kena kinira. Juga meremahkan laisa kamitslihi syai`un. Walam yakun laHu kufuwan ahad.
Nabi Ibrahim tidak terbakar oleh api Raja Namrud. Secara ilmu tidak pernah ada penelitian bahwa itu fakta sejarah. Jadi informasinya lebih tepat dinarasikan: kita percaya kepada informasi Al-Qur`an bahwa Nabi Ibrahim dibakar oleh api karena melakukan terorisme brutal, yakni menghancurkan kumpulan berhala-berhala Kerajaan dengan kapaknya. Ibrahim adalah Bapak Terorisme Internasional. Beliau adalah the founding father of terrorism.
Istri-istri melepaskan suami-suaminya keluar rumah, bekerja di kantor seharian, dan tenang hati mereka tidak karena ilmu, melainkan karena kepercayaan. Demikian juga para suami dengan para istri. Atau siapapun kepada siapapun, dalam posisi dan kegiatan apapun. Faktanya bukan si suami tidak nyeleweng, melainkan si istri percaya bahwa suaminya tidak nyeleweng. Metode atau thariqat-nya berdasarkan treatment iman. Bukan ilmu. Sebab kalau pakai ilmu, istri perlu menyewa intel atau siapapun untuk membuntuti suaminya dari menit ke menit, apa saja yang ia lakukan. Laporan metodologis empiris intel itu menjadi bahan untuk mengabsahkan bahwa secara akademis ilmiah suaminya memang terbukti setia.
Untungnya lelaki dan perempuan menempuh rumah tangga berlandaskan asas saling percaya. Bukan landasan pengetahuan dan ilmu. Tetapi tidak di semua bidang kegiatan hal itu bisa diterapkan. Negara harus waspada terhadap penentangan atau perlawanan, oposisi atau pemberontakan. Perangkat Negara menerjemahkan waspada itu menjadi curiga. Menyempitkan taqwa menjadi suudhdhon. Di rentang jarak antara taqwa dengan suudhdhon itulah lahir Perang Dunia.
Abad 21 ini manusia berdiri pada posisi sangat jauh dari wilayah pemaknaan universal dan otentik. Padahal mereka sangat mengandalkan dan meng-iman-i ilmu. Manusia di dunia mendengar kata “taqwa” dengan imaji “Islam” di benaknya. Islam itu kemudian menjadi “terorisme” dan dikategorikan sebagai musuh. Termasuk Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia.
Di Indonesia idiom “eling lan waspada” itu dikategorikan sebagai wacana Jawa. Sehingga kemudian muncul berbagai kompleksitas, fobia, dan trauma tentang feodalisme dan primordialisme sejarah Jawa. Kalau diubah bahasanya menjadi “ad-dzikru wat-taqwa”, mendadak berwajah Islam. Kamudian bermunculan pula segala “kapok lombok” yang membuat Pemerintah merasa kepedasan oleh imaji kosakata fundamentalisme, radikalisme, terorisme. Sampai akhirnya muncul regulasi cara berpikir: Indonesia adalah Pancasila. Islam adalah musuh Pancasila. Maka Islam dan orang Islam diam-diam disimpan di bawah sadar atau bahkan dituliskan dalam konstitusi dan pasal hukum. Minimal menjadi pertimbangan utama setiap tindakan Pemerintah.
Jadi pada pengalaman saya keajaiban yang rutin terjadi dan sangat tinggi levelnya adalah cara kerja otak manusia. Yang sampai sekian puluh abad tidak sanggup meng-akal-i, meng-ilmu-i, apalagi meng-hikmah-i kompleksitas dan dinamika persoalan dalam kehidupan. Sederhananya: Cacat Akal.
Bagi saya pribadi darah mengalir di tubuh saya, kencing pada jam-jam tertentu, tiba-tiba muncul sesuatu di pikiran atau hati – itu semua adalah sepenuhnya keajaiban. Sebab saya tidak sanggup menciptakan dan mengaturnya. Nabi Muhammad membelah rembulan, Nabi Musa membelah air samudera, Nabi Isa menghidupkan orang mati, Nabi Khidlir dengan telapak tangannya memutar Masjid Hagia Sofia sehingga menghadap ke Ka’bah, banyak kekasih Allah yang mampu mempertunjukkan banyak hal-hal yang tidak masuk akal, sejak masa kanak-kanak saya hingga sekarang. Tetapi itu semua bukan keajaiban. Karena Maha Pelaku utamanya adalah Allah Swt sendiri. Para Nabi itu hanya harus melakukan “akting” tertentu, menggerakkan tangannya, memukulkan tongkatnya, atau membuka telapak tangannya lantas Allah memancarkan cahaya dari telapak tangan itu.
Itu semua memang ajaib dalam konteks ilmu bahwa rasio akal dan ilmu kita tidak mampu menjangkaunya. Tetapi itu juga rasional bukan keajaiban dalam posisi bahwa kita beriman bahwa Allah Maha Kuasa melakukan apa saja. Iman itu suatu mekanisme “shortcut”. Pokoknya percaya. Kalau ilmu memerlukan pendataan, penelitian, analisis, hipotesis, dan pembuktian.
Maka bukti ilmiahnya Nabi Muhammad berisra` mi’raj lantas mendapat perintah agar manusia melakukan shalat sehari lima kali? Kemudian para ilmuwan melakukan shalat, para dosen, dekan, rektor, profesor doktor, juga melakukan shalat. Dan itu semua atas dasar iman. Bukan ilmu. Sebab kalau pakai treatment ilmu modern, Isra` Mi’raj itu hoax besar. Itu kan katanya Muhammad. Siapa yang bisa memverifikasi benar tidaknya? Pakai cara dan alat apa verifikasinya?
Juga semua mukjizat para Rasul dan Nabi, kebanyakan adalah “hoax”. Juga karomah para Wali dan Auliya. Kalau yang Gus Nur dan Gus Ud, saya “perawi”nya. Dan saya siap menjadi saksi utama pengadilan ilmu. Yang saya alami sendiri dengan RS Sardjito dan peristiwa Stadion Malang dan banyak peristiwa lain di Makassar, Sidoarjo, Sanggau, Tuban, Tinambung atau yang manapun, saya siap dihadirkan sebagai saksi utama. Baik yang kasus-kasus besar maupun yang kecil-kecil dan “sulapan-sulapan” remeh. Beberapa kali mereka pikir saya bisa “menghilang”, padahal saya hanya pakai strategi ilmu maling. Seorang tukang santet nasional terkenal bersama saya naik pesawat, kemudian dia menghilang duluan dan menunggu saya di pintu keluar bandara untuk kasih kejutan kepada saya. Tapi saya tidak ada dalam antrean keluar bandara itu. Sebab saya sudah berdiri persis di belakang punggungnya. Santri-santri Gus Umar mencari-cari saya di Hotel dan ulang-alik dari Reception ke kamar. Padahal saya sudah duduk di dalam mobil Gus Umar, di jok belakangnya beliau persis. Atau saya berlagak ada di dua tempat sekaligus, saya ada di Masjid Jami’ Mamuju sekaligus ada di acara makan malam KiaiKanjeng di Tinambung. Atau ada di Polewali padahal juga di Makasar. Itu hanya sulap-sulap ndeso dan ilmu maling yang menyiasati ruang dan waktu. Bukan karomah, apalagi mukjizat.
Saya sering menyesal kenapa Nabi Musa merekomendasikan Kanjeng Nabi Muhammad untuk menawar kepada Allah jumlah kewajiban shalat. Dari 50 ke 5. Mbok biar saja 50 kali. Supaya mampus kita semua. Sebab manusia di muka bumi ini harus dipaksa beriman dan beribadah dalam frekuensi waktu yang memojokkan hidup mereka. Kalau mengandalkan “free will”, “freedom of choices” atau demokrasi — saya berani memastikan bahwa mainstream kehidupan manusia akan “dholuman jahula”. Salah pilih. Dhalim. Dungu. Pengung. Menyun. Menganiaya diri sendiri. Merusak masa depan anak-anaknya sendiri. Terutama bangsa Indonesia ini.
Manusia memang ingah-ingih. Muslim tidak sungguhan, disebut Kafir marah. Mau Kafir beneran ya tidak berani. Jadi Muslim sungguhan ya tidak tahan. Mungkin saya agak melanggar ketentuan Allah, tetapi batas pemikiran saya sayup-sayup berkata: Bahwa zaman ini lebih memerlukan adanya Nabi dibanding kondisi masyarakat zaman Nabi Ibrahim hingga Nabi Muhammad.
رَبَّنَا وَٱبۡعَثۡ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِكَ
وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَيُزَكِّيهِمۡۖ
إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an dan Al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Ini bukan bantahan atau pernyataan ketidaksetujuan kepada kepastian Allah. Melainkan sekadar output dari keterbatasan akal saya. Tidak hanya manusia abad 21 yang cacat akal. Saya pun juga. Hanya saja saya mendampinginya dengan iman bahwa pasti ada pertimbangan Allah yang matang dan futurologis, pasti ada spektrum ilmu yang lebih luas dan tinggi, yang melatarbelakangi keputusan Allah itu. Yang membuat saya mengalami Islam sebagai “menyerah”. Give up. Pasrah bongkokan.
قَالَ كَذَٰلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٞ وَقَدۡ خَلَقۡتُكَ مِن قَبۡلُ وَلَمۡ تَكُ شَيۡٔٗا
Tuhan berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali, sebagai siapa maupun apa”.