CakNun.com

FK-KMK UGM Sinau Jiwa Merdeka

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 3 menit
Dok. Progress

“Subjek manusia itu pada hatinya atau pada pikirannya,” tanya Cak Nun di depan forum Pasinaon Piwulang Luhur #7 Jumat siang (18/09). “Kalau melihat wacana agama, manusia itu hatinya. Tapi kan hati nggak ada urusannya dengan Fakultas Kedokteran. Urusan kampus itu teknis-intelektual dan teknis-akademis.” Di depan guru besar, dosen, maupun dokter Cak Nun membabar “main dan mind-set” manusia sebagai individu yang mengedepankan hati. Paparan itu merespons tema utama tentang Ikhtiar, Sabar, dan Tawakkal sebagai Cermin Jiwa yang Merdeka.

Acara kali kedua Cak Nun di Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM ini dipandu langsung oleh dr. Eddy Supriyadi Ph.D., SpAK. Dokter Eddot, panggilan akrab sang moderator, memandu jalannya diskusi secara interaktif dengan mengajukan sejumlah pertanyaan untuk kemudian diperbincangkan lebih lanjut. Beliau juga membuka kesempatan bagi penanya untuk menuliskan pertanyaan atau mengungkapkannya langsung.

Ketika ditanya soal bagaimana membangun hati manusia, Cak Nun segera mengambil contoh dan ilustrasi empat sifat Nabi Muhammad. Di samping empat sifat Nabi yang diteladankan menurut rumusan para sahabat, terdapat rumusan berikutnya yang perlu dipelajari. Yakni bagaimana rumusan Tuhan mengenai Muhammad Saw. “Kalau empat sifat Nabi jelas. Seperti sungguh-sungguh atau shiddiq. Sungguh-sungguh akan mengantarkan pada posisi amanah. Output dari itu adalah jujur. Baru kemudian meraih tabligh yang ujungnya fathonah,” ungkap Cak Nun.

Tapi hati juga berurusan dengan wacana Tuhan mengenai Kanjeng Nabi yang jarang ditengok. CaK Nun menyebut rasa yang tidak tega. Empat sifat Nabi dan rasa tidak tega melihat orang lain menderita akan memperkuat oase hati seseorang. Pada gilirannya ia akan memperkuat Nafsul Mutmainnah (ketenangan jiwa). Menurut Cak Nun, ketenangan jiwa manusia di sana dipandang Tuhan secara feminin.

“Maksudnya Tuhan memanggil manusia yang feminin itu ketika manusia sudah tenteram dan lembut hatinya. Hati yang tenteram ketika manusia sudah merdeka dengan dunia. Hati yang tenteram adalah menyesuaikan niat atau tujuan kita dengan yang Tuhan mau,” sambungnya. Cak Nun memberikan gambaran menarik seputar itu. Hakikatnya manusia merupakan lukisan Tuhan yang melukis diri kita sendiri. “Jadi, mutmainnah adalah match dengan keinginan Tuhan.”

Berupaya menyesuaikan keinginan Tuhan tak gampang seperti membalikkan telapak tangan. Itulah sebabnya, Cak Nun memberikan garis batas antara akal, tawakal, dan takwa. “Memang hidup ini ada yang bisa diatasi dengan akal. Tapi tidak semuanya. Yang tidak bisa diatasi dengan akal kita pakai tawakal dan takwa,” ujarnya. Makna takwa, imbuhnya, lekat dengan kewaspadaan. Sedangkan kewaspadaan membuat seseorang mafhum mana yang dapat dia tangani dan mana yang perlu diwakilkan kepada Tuhan.

“Tawakal dengan demikian mewakilkan sesuatu yang di luar jangkauan manusia. Kalau sudah tawakal maka itu merupakan fase mutmainnah. Pokoknya hidup ini banyak hal yang tidak bisa kita kontrol atau kita urusi. Nah, bekal utama mutmainnah itu ya tawakal,” tegas Cak Nun. Lebih lanjut, Cak Nun memperjelas bagaimana hendaknya manusia menjalin relasi dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan, menurutnya, tidak bisa hanya dengan “sentuhan akademis”. Berhubungan dengan Yang Maha semestinya mengandalkan cinta dan kemesraan. “Di situlah letak hati.”

Selain persoalan psikologis dengan hati sebagai titik tumpuan pembahasan, gayung bersambut pertanyaan juga menyasar tentang kebijakan Merdeka Belajar. Program itu dijelaskan secara birorkatis oleh penanya. Namun, Cak Nun mencoba mendekati jawaban dengan uraian mendasar. Apakah benar merdeka belajar mampu memerdekakan murid atau mahasiswa.

“Pendidikan nomor satu membuat muridnya mengerti dirinya. Kalau semenjak awal ketika kecil sudah dicetak akan belajar tentang apa dan harus bersekolah sekolah di mana, maka kalau ada wacana merdeka belajar ya akan bermasalah. Jadi, menurut saya, pendidikan harus mengerti keinginan atau bakat subjek didiknya sendiri. Kalau dalam Islam itu namanya fadhilah,” tutur Cak Nun.

Pertanyaan dan respons jawaban berjalan dialogis dalam durasi waktu yang tidak sampai dua jam. Dari urusan hati, merdeka belajar, sampai perbedaan antara rahmat dan barokah paripurna diwedarkan Cak Nun. Dekan FK-KMK UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med. Ed., Ph.D., Sp.OG(K), berterima kasih atas kehadiran Cak Nun untuk kedua kalinya di kampus meski berlangsung secara virtual.

“Terima kasih atas kehadiran Cak Nun. Ini menjadi lilin kecil dalam menemani langkah-langkah hidup. Semoga forum ini menjadi forum berkelanjutan untuk akhlak mulia kita. Topiknya klasik. Jiwa yang merdeka itu apa. Terbebas dari angan-angan dari kehendak Tuhan? Memang tak mudah menuju ke sana. Tak mudah mendapatkan predikat-predikat jiwa yang ridha dan diridhai. Bagaimana kita mengupayakan dalam diri? Semua membutuhkan langkah-langkah kecil. Mari kita nikmati forum ini dalam niat hati yang ridha dan diridhai,” harap Bu Dekan.

Lainnya

Topik