Empat Huruf Pemecah Langit
Kalau ada yang ingin tahu atau ada petugas sensus yang ingin mendata di mana alamat Tuhan, asal-usul kampung halamannya dll, KiaiKanjeng bisa mengupayakan. Sebab tamu yang naik ke panggung KiaiKanjeng di Simpang Lima Semarang malam itu berteriak bahwa ia sudah tahu siapa Tuhan dan di mana alamatnya. Ia menyebut “Tuhan itu asalnya dari Blora”.
Lelaki itu besar tinggi tubuhnya, umur setengah baya. Mendadak naik ke panggung Maiyahan KiaiKanjeng, langsung mengambil mikrofon dan berteriak seperti sedang berorasi. Para petugas keamanan, termasuk sejumlah polisi, tampak mulai bergerak dan berhamburan menuju panggung untuk menghentikan ulah tamu liar itu.
Tapi sebagaimana biasa terjadi di banyak tempat lain sebelumnya, saya menghalangi gerak para petugas keamanan dengan kode dari dua tangan saya. Wajah dan beberapa kata saya ucapkan untuk meminta mereka agar bersikap tenang saja. Kemudian saya mendekati lelaki gagah itu, saya pegang bahu tangannya, saya rangkul pundaknya, saya peluk dan saya seret untuk duduk bersama saya. Sambil saya bisikkan sesuatu yang saya konsentrasikan menembus lubang telinga kirinya.
Allah tidak tega kepada saya, maka ikhtiar penanganan saya itu didukung oleh-Nya. Sang lelaki tenang duduk di sebelah kanan saya. Saya sentuh terus lututnya. Ia mengikuti acara KiaiKanjeng, sampai beberapa saat kemudian saya bisiki, saya bimbing berdiri kemudian saya antar turun lewat samping panggung.
Hal yang sama terjadi di sebuah lapangan di Pontianak. Yang naik adalah anak muda, menggembol tas. Begitu mendekat dua langkah ke saya, ia mengeluarkan isi tasnya, membantingnya, kemudian menangis di pelukan saya. Isi tasnya adalah sejumlah pakaian dan alat sehari-hari, kemudian beberapa botol minuman keras. Dia minta agar saya membuang atau membakar botol-botol itu. Berikutnya malah saya kasih mikrofon. Ia mengemukakan kepada hadirin: “Tadi saya lewat ada ramai-ramai di sini, saya kira pentas dangdut, maka saya datang dan mendekati panggung. Ternyata kok acaranya Cak Nun dan KiaiKanjeng. Saya langsung seperti ditampar entah oleh apa. Saya langsung menangis dan berlari naik panggung. Hidup saya rusak. Dengan ini secara resmi saya memohon bimbingan untuk kembali ke jalan yang benar”.
Besoknya menjelang balik ke Yogya, saya ajak dia ikut acara di Rumah Rutan Pontianak.
Di Magetan tamu mendadak ke panggung KiaiKanjeng tidak sendirian. KiaiKanjeng baru menata-nata gamelannya, seorang lelaki usia sekitar 40 tahunan hanya pakai celana pendek dengan selempang kain di pinggangnya, membawa dadung atau tali besar yang ia acungkan-acungkan, ia putar-putar di atas kepalanya, seperti Cowboy hendal melasso sapi peliharaannya.
Lebih baik saya menyongsongnya. Saya loncat turun panggung. Menyambutnya seperti kepada adik atau anak saya. Kemudian saya dekatkan kepala saya ke kepalanya. Kami omong-omong beberapa saat. Kemudian saya mencari Pakde Nuri dan menyerahkan tamu ini kepadanya. Pakde menggandengnya ke bangunan sebelah panggung dan mengajaknya dialog dengan penuh kasih sayang.
Ketika kemudian saya kembali ke panggung, ternyata sudah ada seorang Ibu sudah memegang mikrofon seakan-akan dia yang akan memimpin acara. Dengan kasih sayang saya mendekatinya, omong-omong beberapa kata dan kalimat, kemudian mikrofon saya alihkan ke tangan saya. Si Ibu ini saya carikan momentum untuk pelan-pelan dan santun diajak ke tepian panggung, kemudian turun dan duduk di kursi pada deretan sebelah kanan panggung.
Saya tidak punya ilmu, atau kemampuan linuwih apa-apa. Mungkin sekadar bahwa KiaiKanjeng dan saya itu aura batinnya segelombang dengan orang-orang yang masyarakatnya menyebutnya orang gila. Atau mungkin karena memang sama-sama gila, sehingga di mana-mana selalu nyambung dengan tamu-tamu gila naik panggung.
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.”
Tetapi Ibu yang naik panggung di acara syukuran keluarganya Kartolo Surabaya, tidak 100% bisa saya atasi. Saya tidak pernah keberatan siapa-siapa pun naik panggung KiaiKanjeng. Apalagi Ibu di acara Kartolo ini ketika kami melantunkan shalawat, saya lirik kedua bibirnya bergerak-gerak sesuai dengan bagaimana gerak bibir siapapun mengucapkan kalimat-kalimat shalawat itu. Maka saya meyakini Ibu ini hapal dan bisa melantunkan apa yang kami lantunkan.
Maka dengan sangka baik dan optimisme cinta Rasulullah Saw, saya kasihkan mikrofon di tangan saya kepada Ibu ini. Tiba-tiba saja, begitu menerima mikrofon, ia meletakkannya tepat di depan mulutnya dan ia berteriak sangat keras. Yang ia teriakkan adalah satu kata yang terdiri dari empat huruf yang wajib saya auratkan di tulisan ini. Karena pasti hampir semua orang, semua sistem etika masyarakat, tidak akan berkenan terhadap satu kata yang dahsyat itu. Pokoknya empat huruf. Mohon Anda mencerdasinya sendiri-sendiri.
Di zaman SD dulu satu-satunya buku tulis yang bisa dibeli oleh para murid adalah produksi Pabrik Kertas LETJES. Biasanya di antara anak-anak ada yang iseng menghapus bagian tertentu dari enam huruf itu sehingga menjadi empat huruf yang berbunyi seperti yang dimaksud di atas.
Tentu saja saya sigap langsung mengulurkan tangan saya untuk merebut mikrofon dari tangan Ibu itu. Semua KiaiKanjeng maupun ribuan massa yang hadir langsung tertawa terpingkal-pingkal sampai berkepanjangan. Saya kira peristiwa di acara syukuran keluarga Kartolo ini merupakan salah satu “masterpiece” pengalaman KiaiKanjeng selama 30 tahun berkeliling ke banyak negara-negara, kota-kota, kampung-kampung, desa-desa, pelosok-pelosok, pinggiran-pinggiran hutan dan lautan, lereng gunung, juga Gedung-gedung pencakar langit.
Tetapi di hari-hari Reformasi 1998 ketika saya berkunjung ke kantor Pusat Pertahanan Keamanan, di lantai dua tepat ketika keluar dari Lift, di tembok seberang ada coretan empat huruf itu juga. Sangat besar, masing-masing huruf kira-kira setinggi satu orang. Seorang Jendral yang mentuanrumahi saya mengatakan bahwa ada stafnya yang sangat frustrasi karena sekian lama bukannya bertugas mengurusi pertahanan dan keamanan negara, melainkan setengah mati bekerja menutupi bahkan menghapus secara intelijen kasus-kasus elit yang urusannya adalah empat huruf itu.
Sekaget-kagetnya saya dan kami semua oleh empat huruf di acara Kartolo maupun di Gedung Hankam, yang merupakan kata-kata sangat aurat dan buruk untuk diucapkan itu, saya tidak bisa berpikiran buruk, apalagi marah. Kami semua tidak tahu sama sekali riwayat hidup dan apa yang dialami oleh Ibu itu maupun oleh aparat petugas Hankam. Kita tidak bisa menghakimi buah tanpa mempelajari pohon hingga akar dan tanahnya.
لَّا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ
وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Sedangkan saya, KiaiKanjeng dan publik yang hadir hanya mendengar satu kata teriakan itu, tetapi tidak mengetahui asal-usulnya.