CakNun.com
Pengantar Majelis Ilmu Padhangmbulan Menturo Jombang edisi Februari 2021

Eker-ekeran, Mahjuro, dan Pamrih Spiritual

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit
Dok. Padhangmbulan.

Kalau soal hapal-menghapal Asmaul Husna anak TK tidak diragukan lagi kemampuannya. Trend menghapal Asmaul Husna menguat sejak awal tahun 2000 ketika lembaga pendidikan, seperti TK Islam, SD Islam, SMP Islam diminati masyarakat. Membaca Asmaul Husna sebelum belajar menjadi menu rutin setiap pagi.

Malam itu di teras ndalem kasepuhan Mentoro kami membincangkan Asmaul Husna, bukan untuk merancang program hapalan. Juga tidak untuk memastikan jamaah Padhangmbulan wajib setor hapalan 99 nama Tuhan.

Bersama Cak Dil, Cak Nang dan teman-teman Omah Padhangmbulan kami nguda rasa, muhasabah, melakukan introspeksi, sambil menertawakan diri sendiri.

Jangankan hapal atau mewiridkan; kami sepakat untuk mengeja ulang, mengoreksi kembali, membangun fondasi pemahaman tentang Asmaul Husna yang selama ini ambrol morat-marit agar menjadi utuh kembali.

Menyebut salah satu atau beberapa Nama dan Sifat Allah kerap tidak berangkat dari kesadaran yang tepat. Persepsi kita yang sempit mengurung makna Asmaul Husna.

Suatu ketika dengan suara lantang siswa kelas 5 sekolah dasar berteriak: “Alhamdulillah, sehat dan pintar. Allahu Akbar!” Yel-yel ini menjadi jawaban wajib saat anak-anak ditanya: “Bagaimana kabarmu hari ini?”

Asmaul Husna dan kalimat thayibah diucapkan tidak dari pengalaman kontekstual, melainkan menjadi rutinitas seremonial.

Saya mengusulkan kepada Kepala Sekolah agar yel-yel dibikin lebih variatif, misalnya anak-anak menjawab: “Innaalillaahi wa innaa ilaihi rojiun. Ayo tetap semangat!” Atau “Astaghfirullah. Ya Allah ampunilah dosa kesalahan kami!”

Asmaul Husna atau kalimat thayibah kerap ditunggangi pamrih spiritual yang tidak terkendali. Kita melambung ke langit tinggi sehingga kaki tidak menapak di atas tanah kenyataan.

Pamrih spiritual itu pula yang membuat kita lupa diri. Nama dan sifat Tuhan diucapkan tidak dari lubuk kesadaran yang kontekstual. “Berapa kali lagi saya harus memanggil nama-Nya supaya doa saya dikabulkan?”

Tentu Asmaul Husna bukan sekadar kumpulan nama dan sifat baik. Juga bukan sederet kata untuk dihapalkan anak-anak sekolah. Apalagi sekadar menjadi tali otoritas untuk menguatkan egoisme transedensi di depan para pengikut setia.

Karena manusia adalah makhluk jasmani dan rohani, jagat cilik sekaligus jagat ageng, yang menjadi ruang pertemuan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang satu menit lalu berperilaku seperti malaikat dan satu menit kemudian bisa berubah menjadi setan — 99 nama baik itu perlu diinternalisasi agar sifat-sifat ketuhanan membimbing peran manajerial manusia.

Kita sebut satu nama, misalnya Ar Rahman, yang sering diartikan Maha Pengasih, adalah samudra maha luas karena wasi’a kursiyyuhus samaawati wal ardl. Dialektika, diskursus, konteks, ruang lingkup, epistemologi atau apa pun perangkat ilmiah akademik manusia tak ubahnya satu butir cipratan air di tengah luas samudra Ar Rahman.

Namun yang satu cipratan itu akan meluber-luber ketika ditampung oleh kesadaran seseorang. Bahan dasar Ar Rahman, selain dimuati dan diliputi Asmaul Husna yang lain, juga menjadi pintu masuk bagi Asma Allah yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Mustahil menemukan Matahari Cinta Ar Rahman seraya menafikan Rembulan Cinta Ar Rahim, Al Malik, Al Quddus dan seterusnya. Ada 99 pintu yang dibuka oleh Allah dan silakan manusia memasukinya lewat lorong mana pun.

Nyaris tak terpisahkan lagi laku hidup kita dengan salah satu atau keseluruhan nama dan sifat Allah, baik yang tertanam secara laten dalam diri manusia, yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun yang terhampar di jagat semesta.

Aktualisasi nama-nama itu selain ditempuh secara transedental (tawakal) juga dilakoni secara sosial (takwa) agar keduanya menemukan titik keseimbangan.

Sayangnya, internalisasi nama-nama dalam Asmaul Husna sering kali nyinting akibat miskinnya kesadaran transformasi dalam lingkup metodologi sosial. Yang menguat tinggal sisi sakral. Itu pun dipahami secara dangkal.

Hal itu menjadi problematika khas umat Islam hingga hari ini yang suntuk berkutat di wilayah muhkamat ketimbang mentadaburi ayat di wilayah mutasyabihat.

Problematika itu diurai kembali di Majelis Ilmu Maiyah. Masih ingat bagaimana Mbah Nun mentadaburi rabb, malik dan ilah dalam surat An Naas? Juga panduan metodologi pada akhir surat Al-Hasyr tentang watak kepemimpinan?

Bagaimana pula Mbah Fuad menyampaikan pemaknaan ayat Al-Qur’an yang tidak berhenti pada dimensi tekstual namun juga menyentuh sisi kontekstual hidup keseharian?

Mbah Fuad dan Mbah Nun mengurai tali pemahaman mainstream yang mengikat urat syaraf akal (al-‘aql), dan kita pun bisa turut memulainya dengan mentadaburi Asmaul Husna dalam laku hidup sehari-hari.

Dekonstruksi pemaknaan terhadap kebekuan tadabur, baik tentang tema ayat mutasyabihat dan Asmaul Husna, bukan barang baru di Maiyah. Dekonstruksi ini memerlukan aktivasi pikiran (al-fikr) untuk melepaskan diri dari ikatan akal (al-‘aql) yang didominasi oleh bundelan-bundelan hukum serta pamrih spiritual.

Tema tadabur dan dekonstruksi yang menyertainya memang kurang seksi untuk bahan eker-ekeran. Tidak penting-penting amat, kecuali kita saling ridlo untuk meneruskan perselisihan, pertengkaran, perseteruan yang menyorong kita menuju ruang gelap yang kian gulita (mahjuro).

Exit mobile version