Dunia Kok Panggung Sandiwara
Saya ingin banyak berkisah kecil-kecil dan sederhana untuk meneguhkan bahwa pada seluruh yang kita alami dalam kehidupan ini bukanlah kita manusia yang sebenarnya berperan. Kalau ada yang pandai, bukan kita yang pandai. Kalau ada kehebatan, bukan kita yang hebat. Kalau ada hal-hal yang mentakjubkan, bukan kita yang mentakjubkan.
Alhasil segala sesuatu yang kita jumpai dan alami dalam kehidupan ini kesimpulannya adalah “Allahu Akbar”. Allah Yang Maha Besar. Bukan kita. Bukan siapapun. Bukan Bung Karno, Gadjah Mada, Presiden-presiden kita yang dulu maupun sekarang.
Bahkan bukan Nabi Muhammad saw. Tidak Islam menuntun kita untuk mengucapkan “Muhammadun Akbar”.
Dunia modern yang sedang berlangsung, kita alami dan kita pelakunya ini persis seperti yang digambarkan oleh God Bless Ahmad Albar dalam lagunya “Panggung Sandiwara”.
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara?
Mengapa kita bersandiwara?
Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara?
Mengapa kita bersandiwara?
Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara?
Mengapa kita bersandiwara?
Mindset atau konsep dasar kehidupan manusia, menurut lirik lagu itu, adalah panggung sandiwara. Bersandiwara lazim dipahami sebagai perbuatan yang tidak sungguh-sungguh, tidak jujur, tidak sebagaimana seharusnya. Seperti lakon drama di panggung teater, ia bukan kehidupan yang sebenarnya. Semua yang ada di panggung hanya “aktor”. Aktor adalah orang yang ber-acting. Bukan orang hidup yang sedang menjalani kehidupannya. Melainkan orang yang naik panggung menjalani suatu peran, yang tidak harus bertanggungjawab atas kehidupan nyatanya di bawah atau di luar panggung.
Kalau panggung teater hanya ada di sebuah Gedung, yang didatangi orang dengan kesadaran bahwa mereka sedang menonton sandiwara atau drama.
Sedangkan menurut syair Ahmad Albar, kehidupan ini seluruhnya dan seutuhnya adalah panggung sandiwara. Kita bukan menjadi diri kita, melainkan memerankan suatu tokoh yang bukan kita.
Kita berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara sekedar menjalankan suatu alur konsep, lakon dan nuansa yang bukan benar-benar merupakan fakta kehidupan kita. Hakekat dan substansi nilai hidup kita berada di luar panggung sandiwara itu. Kita bukan sedang menjalani kehidupan, melainkan sedang menjalankan sandiwara.
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
“Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan hanya permainan dan senda gurau.”
Di tulisan sebelumnya sudah saya jelaskan bahwa pemainan tidak sama dengan main-main. Orang bermain sepakbola atau main apapun tidak bisa dan tidak boleh dengan main-main. Senda guraupun punya batas etika dan regulasi konteks yang kalau dilanggar ia berubah menjadi hinaan atau ejekan.
Tetapi di seluruh teks “Panggung Sandiwara” tercermin bahwa hidup ini memang hanya sandiwara, cuma acting, boleh tidak sungguh-sungguh, dan memang yang ada di panggung sandiwara bukanlah benar-benar kita.
Sedangkan yang selama ini menjalankan kehidupan di dunia ini adalah sungguh-sungguh kita. Bukan kita actor, bukan kita pura-pura atau kita munafik dan hiprokrit.
Fakta yang terpenting dari syair lagu “Panggung Sandiwara” adalah tidak ada disebut Sutradaranya. Siapa penulis skenarionya. Siapa pengatur lakunya, tata ruangnya, lalulintas pergerakan para pemainnya, juga apakah para pemain sandiwara itu mengerti sedang menuju akhir yang bagaimana dan ke mana dalam lakon sandiwara itu.
Subjek utama di panggung kesenian sandiwara adalah scriptwriter dan director-nya. Pemain di panggung tidak bisa meloncat keluar dari pagar yang sudah ditulis dalam naskah. Pemain bicara apa, berdiri atau duduk, melangkah ke mana atau diam saja, semua tertulis di naskah dan di konsep penyutradaraan.
Manusia yang menjalani hidup di dunia tidak berlaku seperti para aktor di panggung sandiwara. Karena manusia tidak pernah benar-benar mengerti outline dan sangkan-paran lakon yang sedang dijalaninya. Berbeda dengan di panggung sandiwara, dalam kehidupan nyata manusia tidak pernah punya kemungkinan untuk benar-benar mengerti kastingnya atau nasibnya. Manusia hanya bisa melakukan respon-respon sesaat dan peran-peran kecil seperti yang diungkap dalam syair itu:
“Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak. Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang”. Itupun tidak pasti benar bahwa: “Setiap kita dapat satu peranan. Yang harus kita mainkan”. Padahal banyak orang punya peran ganda atau lebih. Banyak sekali orang munafik, antagonis tapi tampil protagonis, kafir tampil muslim, munafik tampil mu‘min dll. “Ada peran wajar, Ada peran berpura-pura”. Padahal dalam konsep “Panggung Sandiwara” hakekatnya semua berpura-pura.
Fakta yang paling kuat dan terpenting dalam “Panggung Sandiwara”adalah pertanyaan yang diulang-ulang: “Kenapa kita bersandiwara? Kenapa kita bersandiwara?”
Lho kok malah tanya. Lha kenapa kok sandiwara? Siapa yang menyuruh atau menyeretmu bersandiwara?
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
Kehidupan di dunia ini bukan panggung sandiwara. Allah menciptakan kita hidup ini sungguh-sungguh. Tidak main-main. Serius meskipun tidak “tegang”. Sungguh-sungguh meskipun tidak “methentheng”. Khusyuk meskipun tidak “lebai”. Kita benar-benar menjalani ujian untuk berlaku “shiddiq amanah tabligh fathonah” agar bisa aman ketika sampai kembali ke haribaan Allah. Juga semua nenek moyang hingga anak cucu kita.
Kok nanya “mengapa kita bersandiwara”. Siapa yang mengkontaminasimu untuk berlaku munafik dalam bermasyarakat dan menjalankan Negara?
Jawabannya tidak “the answer is blowing in the wind” seperti kata Bob Dylan atau “jawabnya tertiup di angin lalu” seperti Iwan Abdurahman dan Sam Bimbo, atau “bertanyalah kepada rumput yang bergoyang” seperti saran Ebiet G Ade. Jawabannya adalah setiap kita mengambil keputusan tentang Maha Sutradara Kehidupan Manusia, secara pengetahuan, kesadaran maupun pengalaman.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ
قَالُوا بَلَىٰ ۛ
قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا شَهِدْنَا
أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.