CakNun.com
Kebon (168 dari 241)

Dilempari Batu Hingga Terkubur

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit
Foto dan Ilustrasi oleh Adin (Dok. Progress).

Ada kemungkinan bahwa saya atau siapapun memperoleh atau mengalami sesuatu yang kualitasnya tidak sesuai dengan kepasitas saya. Budaya manusia sangat longgar berkemungkinan untuk membesar-besarkan, melebay-lebaykan, mendaramatisasikan, mentidak-tidakkan, atau bahkan meskipun dengan maksud baik tetapi berlebihan prasangkanya.

Saya di Korea Selatan bersama Ibunya Haya sangat sibuk dijemput oleh sejumlah orang-orang penting yang bergilir meminta waktu kami. Ada direktur perusahaan yang menjamu kami di pabriknya. Ada pejabat yang memasakkan kami untuk makan malam. Ada pejabat pariwisata yang minta waktu kami untuk mengajak kami berkeliling ke tempat-tempat yang menarik yang biasa dikunjungi oleh para turis. Ada yang sekadar menjemput dan mengajak ke restoran.

Ada kemungkinan tersebar isu yang akhirnya sampai ke telinga mereka bahwa saya adalah tokoh nasional yang kemungkinan besar akan menjadi minimal Menteri. Kalau memperhatikan tingkat penghormatan mereka mungkin mereka beranggapan bahwa saya mungkin akan menjadi Presiden Indonesia.

Sejumlah dosen senior dan rektor di sebuah universitas di Seoul tidak paham sampai bengong-bengong wajahnya menyaksikan anak-anak para TKI saya mempertunjukkan Reog Ponorogo yang dahsyat dan ajaib bagi mereka, kemudian satu demi satu pelaku Reog itu bergeser menuju tempat duduk saya, lantas menunduk, bersujud dan mencium kaki saya.

Bagaimana memahami kejadian itu melalui rangka nilai bangsa Korea? Apakah yang dicium kakinya itu guru spiritual ataukah seorang Raja? Atau apa kemungkinan lainnya? Kapan-kapan semoga di antara mereka ada yang dihembuskan oleh takdir Allah ke Indonesia dan tercampak di tengah massa Maiyahan. Kemudian menyaksikan anak-anak saya berbaris di depan panggung. Ada yang sekadar mencium tangan meskipun semua rata-rata saya peluk tubuhnya. Ada yang minta saya tampar pipinya, atau saya pukul kepalanya, dan saya penuhi kemudian dia berterima kasih. Profesor-profesor Korea itu mungkin pingsan melihat ada anak-anak yang membuka mulutnya dan minta saya meludahinya.

Mereka tampaknya tidak mungkin mampu memahaminya. Tidak ada rangka nilai apapun, wacana ilmu atau narasi budaya Korea yang bisa menjelaskan peristiwa minta diludahi itu. Imam Masjid di Busan setelah melihat sejumlah foto-foto Maiyah dan youtube Maiyahan, tidak bisa memahami kenapa saya bertemu dengannya hanya bercelana Jeans dan kaos biasa. Tanpa jubah dan surban.

Manusia sesungguhnya tidak benar-benar pernah mengenal satu sama lainnya. Apalagi di rentang perbedaan tanah kelahiran, kampung halaman, kebudayaan, adat dan peradaban, antropologi pendidikan, masyarakat dan negeri yang berbeda dan berjauhan.

Imam Masjid Busan dan para profesor itu pasti tidak mungkin paham betapa luasnya ragam cakrawala nilai kehidupan yang apabila suatu hari mereka datang ke Indonesia, mereka akan lebih terbengong-bengong lagi. Apalagi suatu sisi dimensi bahwa ternyata saya hanyalah edisi ke sekian dari Mbah Ganyong, yang dikrutug atau dilempari batu beramai-ramai sampai mati dan terkubur di bawah timbunan batu itu.

Di Kadipiro, di area Syini Kopi, sedang diproses menegakkan kembali kentongan yang tinggi besar, yang untuk mengangkutnya harus pakai truk paling besar dan paling panjang. Kentongan raksasa itu sekian tahun silam merupakan hadiah dari masyarakat sebuah desa di Tuban. Di sebuah bukit di desa itu ada makam Mbah Ganyong di bagian bawah dan Mbah Jabbar di bagian atas. Makam Mbah Jabbar sangat bagus dan terawat. Makam Mbah Ganyong hanya ditimbuni dengan kerikil-kerikil yang terserak-serak.

Mbah Jabbar adalah muridnya Mbah Ganyong. Ketika Mbah Jabbar memenangkan suatu pertarungan, Mbah Jabbar takabbur: “Siapa dulu Gurunya”. Maka masyarakat membenci ungkapan takabbur itu. Sehingga ramai-ramai melempari Mbah Ganyong dengan batu-batu sampai beliau terkubur di bawah timbunan batu.

Ketika bersama KiaiKanjeng saya takziyah, saya katakan kepada seadanya penduduk: “Mbah Ganyong sudah cukup dikutuk, semoga tuntas dan sirna dosanya. Sekarang kita sebaiknya menghormati Mbah Ganyong dengan merawat makam beliau”.

Dua minggu kemudian dari kota datang rombongan yang membawa tukang-tukang bangunan memperbaiki makam Mbah Ganyong dan menghias seluruh komplek pemakaman itu. Penduduk desa menyangka saya yang mendatangkan dan membiayai pemugaran itu, sehingga untuk mengucapkan terima kasih: mereka membikin kentongan raksasa itu dan membawanya ke Kadipiro.

Saya menyarankan kepada penduduk di makam Tuban itu agar mulai menghormati Mbah Ganyong, mungkin karena saya adalah Mbah Nun yang mungkin membutuhkan tidak terus-menerus dilempari batu dan ditimbuni kutukan-kutukan oleh masyarakat. Jadi bisa jadi itu merupakan anjuran yang egois dan subjektif untuk kepentingan saya pribadi.

Setiap saya membuka Youtube dan social media, meskipun saya tidak punya akun pribadi dan belum pernah subscribe atas tayangan apapun — selalu yang tercermin adalah wajah Mbah Ganyong, yang dihukum karena takabbur. Siapa berani menyatakan, apalagi saya sendiri, bahwa hidup saya yang sudah berlangsung hampir 70 tahun ini, bersih dari takabbur? Siapa yang tahu catatan para Malaikat atas takabbur, riya`, kesombongan atau keangkuhan saya hanya sedikit dan tipis?

قَالَ أَلَمۡ أَقُل لَّكُمۡ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ غَيۡبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ
وَأَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ

Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”

Rasa dan sikap takabburku itu tidak bisa disembunyikan di balik sikap santun dan perilaku sopan santun kehidupan saya. Allah tidak bisa ditipu oleh acting atau gaya pencitraan manusia.

إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.”

Mengetahui segala kelembutan sampai yang terlembut dari kelembutan. Hingga yang paling tak kentara dari segala yang dibikin tidak kentara oleh para makhluk termasuk saya.

Maka tiap hari saya dilempari batu-batu. Tiap hari saya disiksa dan dianiaya. Wajah, suara dan ucapan saya dijual-jual di media. Dimanipulasi diksinya, digeser fokusnya, dieksploitasi untuk triggering permusuhan. Dijajakan sedemikian rupa tanpa saya memperoleh apapun kecuali timpaan batu-batu nasib. Saya bukan membayangkan orang berjualan soto dengan kulakan atau membeli bahan-bahannya di pasar, sementara orang berjualan wajah, suara pemikiran saya tanpa membeli bahan-bahannya. Saya tidak berpikir tentang hak pendapatan saya dari orang berjualan dengan mengambil bahan-bahan dari saya.

Yang menakjubkan bagi saya adalah dalam hidup ini kedhaliman, penganiayaan, menipulasi, eksplitasi, penindasan, pencurian, disepakati sebagai perbuatan sangat buruk dan jahat. Oleh masyarakat maupun oleh nilai Allah. Namun ada, bahkan cukup banyak, yang meyakini bahwa kedhaliman dlsb itu bukan kesalahan, bukan dosa, dan Allah tidak mempersoalkan, asalkan itu ditimpakan kepada saya.

Siapa saja jangan mencelakakan dan berbuat jahat dalam bentuk apapun, kecuali kepada saya. Apalagi para penjahat itu yakin bahwa apa yang mereka timpakan kepada saya hakikatnya adalah balasan Tuhan kepada keburukan-keburukan yang saya perbuat di masa lalu. Jadi para penganiaya saya itu bukan hanya tidak berdosa dan tidak mendapat balasan apapun dari Tuhan. Melainkan mereka justru berbuat baik dan mulia, sehingga mereka yakin bahwa Tuhan meridlainya.

Maha Besar Allah yang dengan haqq melakukan sangat banyak hal kepada hamba-Nya yang si hamba itu sendiri belum tentu memahaminya. Saya tidak kunjung paham bagaimana bisa para pelempar batu itu tak kunjung berhenti melempari saya batu-batu. Bahkan mereka bukan hanya tega kepada “Mbah Ganyong”. Lebih dari itu mereka merasa dan yakin sedang melakukan kebenaran, kebaikan dan kemuliaan.

Sungguh Allah Maha Ghaib. Dan benar-benar manusia pun bagian yang serius dari keghaiban itu. Sebagai Mbah Ganyong saya hanya bisa ndridil bibirnya mengumik-umikkan:

اللهُ لَا اِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُ
سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهٗ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهٗ إِلَّا بِإِذْنِهٖ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهٖ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهٗ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Dan andaikan pada suatu hari, pagi, siang, sore, senja atau malah, terjadi apa yang Allah firman ini, saya hanya gemetar pada diri saya sendiri:

إِن نَّشَأْ نُنَزِّلْ عَلَيْهِم مِّنَ السَّمَاءِ آيَةً فَظَلَّتْ أَعْنَاقُهُمْ لَهَا خَاضِعِينَ

Jika kami kehendaki niscaya Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka niscaya kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya.”

Lainnya

Mata Uang Maiyah

Mata Uang Maiyah

Yang saya tempuh selama sekian puluh tahun bersama bermacam-macam komunitas dan kelompok masyarakat di berbagai tempat dari Jombang keliling dunia hingga ke Yogya, ternyata sama sekali tidak ada alurnya menuju kehebatan sebagai manusia, keunggulan sebagai tokoh, bahkan tidak pula ada langkah yang memuarakan dirinya menuju bangunan apapun yang ada dalam masyarakat.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik