CakNun.com
Kebon (138 dari 241)

Dibesèt Metu Setan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Foto dan Ilustrasi oleh Adin (Dok. Progress).

Dulu di era 1930 hinggan 1960-an Allah masih melimpahkan hamba-hamba yang spesifik, yang “kasyaf” (menembus layar) atau “majdzub” (dinaikkan derajatnya), sekurang-kurangnya Wali “Tiban” seperti Gus Nur. Lahirnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebenarnya tidak terlepas dari peta dimensi ruhiyah seperti itu yang di-tanazzul-kan oleh Allah Swt.

Tidak mungkin Syaikhona Kholil Bangkalan mengutus Santri As’ad Syamsul Arifin ke Jombang menemui Mbah Hasyim Asy’ari yang akhirnya memenuhi isyarat fatwa itu dengan mendirikan Nahdlatul Ulama — kalau tidak karena “biidzni Rabbihim min kulli amrin” dengan pelaku-pelaku “tanazzalul Malaikatu war-Ruhu fiha” yang diperintah oleh Allah langsung.

Berarti juga dijamin oleh Allah sendiri

سَلَٰمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ

Penuh keselamatan dan kesejahteraan sepanjang malam itu sampai terbit fajar.”

Kalau hari ini Indonesia sedang mengalami larut malam yang penuh komplikasi kegelapan, semoga itu dalam rangka menantikan terbitnya fajar menuju pagi hari masa depan yang sudah dipersiapkan matahari barunya untuk dipancarkan.

Tidak mungkin Allah melemparkan ikan ke gurun pasir atau tidak menyediakan angkasa yang luas untuk burung-burung terbang. Tidak mungkin Allah “absen” dari pengalaman zaman ummat manusia dan juga bangsa Indonesia tanpa mengutus kekasih-kekasih-Nya. Tidak mungkin Allah meninggalkan, membiarkan, dan bersikap acuh tak acuh kepada ummat manusia di tanah air yang mayoritasnya lumayan rajin sembahyang, Jum’atan, berpuasa Ramadlan, meskipun dengan berbagai kelemahan dan kepalsuan yang menghiasi peradaban dan kebudayaan.

Tidak mungkin Allah “mentelarakkan” ummat yang beribadah kepada-Nya dengan tidak melimpahinya Wali Qutub dan para Wali pengiring-pengiringnya. Tidak mungkin ummat Allah dibiarkan terbengkalai tanpa kehadiran kekasih-kekasih-Nya. Dari Syekh Abdul Qadir Jailany, Syekh Ahmad Rifa’i, Imam Badawy, Syekh Abu Hasan As-Sadzily. Wali-wali “Universitas” maupun Wali-wali “Fakultas”.

Tidak di belahan bumi barat atau timur. Apalagi Allah sendiri menyatakan “la syarqiyah wala gharbiyah”. Tidak barat tidak timur.

وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.”

وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.”

Gus Nur yang saya pernah saya kisahkan hanya setetes sangat kecil dari cipratan rahmat Allah yang melimpah-limpah. Juga Mbah Ud atau Gus Ud, yang saya pada usia 5 tahun menemui beliau bersama Ibu dan Ayah. Gus Ud asli Kedungcangkring Sidoarjo tapi bertugas mengawal seorang Ulama Sepuh di Sumobito Jombang, sehingga beliau tinggal di Betèk Mojoagung.

Sebagaimana tentang Gus Nur, tidak mungkin saya menjelaskan dengan koginitif-rasional secara ilmu modern. Kedatangan kami ke Gus Ud itu untuk semacam “konseling psikologi”, karena Ibu Ayah saya pusing pada kenakalan saya. Tidak mau sekolah, tidak mau mengaji belajar baca Qur`an, dan tiap hari ada saja berkelahi dengan ini itu.

Tetapi ketika menemui kami, Gus Ud malah memelototi saya, bahkan membentak dan mengusir saya disuruh keluar dari rumahnya. Sesudah saya berlari keluar malah beliau meludahi saya dari jauh. Saya berlari. Kebetulan ada pasar di dekat situ. Tetapi hanya beberapa menit, kemudian saya balik ke rumah Gus Ud dan saya ganti memelototi beliau.

Gus Ud marah. “Siapa kamu kok berani memelototi saya?”. Saya menjawab dengan pertanyaan balik: “Lha Sampeyan siapa kok berani ngusir-ngusir saya?”. Aneh bin ajaib Gus Ud malah tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian malah merangkul dan mendudukkan saya di pangkuannya. Gus Ud orangnya sangat tidak ganteng. Bahkan bisa dibilang buruk rupa. Kecil pendek badannya. Bibirnya tidak simetris. Dari mulutnya selalu mengalir liur, yang untung beliau serap kembali sebelum melelehi saya di pangkuannya.

Mendadak saya diangkat turun dari pangkuannya. Gus Ud berlari keluar pintu depan rumahnya kemudian berjalan tergesa menuju Musholla di kiri depan rumahnya. Nenek saya sedang melakukan shalat, sementara Ibu dan Ayah saya di ruang depan rumah Gus Ud. Tiba-tiba Gus Ud setengah berlari naik dan masuk ke Musholla. Posisi Nenek saya sedang berdiri dalam shalatnya. Gus Ud menyorong punggungnya sampai terjatuh ke depan sambil berteriak; “Gak njaluk gaaaak!”.

Kami semua paham. Maksudnya Gus Ud tidak akan meminta uang kepada Nenek saya. Juga itu sebuah informasi bahwa Nenek saya shalat dalam rangka menghindar jangan ada peluang Gus Ud meminta uang kepadanya. Kemudian ketika Nenek masuk kembali ke rumahnya, Gus Ud meminta uang kepadanya. Nenek mengambilkan uangnya dari kendit, atau kain panjang yang diikatkan di pinggangnya seperti sabuk bagi lelaki. Tetapi Gus Ud menolak uang itu. Ia minta uang yang oleh Nenek saya disembunyikan di balik kutangnya. Yang ternyata jumlahnya memang lebih banyak.

Sampai usia saya hampir 70 tahun tidak pernah terbersit dalam pikiran saya bahwa Gus Ud itu seorang pengemis atau perampok yang selalu menodong uang dari tamu-tamunya. Di zaman itu hidup di masyarakat suatu dialektika berpikir kalau Waliyullah meminta uangmu, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda. Sampai sekarang selama ada Maiyah saya selalu menerima banyak limpahan kebaikan hati para jamaah, entah berupa uang, makanan, pakaian atau rokok. Dan cara berpikir dan pola logikanya sama dengan yang terjadi pada Gus Ud itu.

يَعِدُهُمۡ وَيُمَنِّيهِمۡۖ وَمَا يَعِدُهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ إِلَّا غُرُورًا

Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.”

Saya dibesarkan di Menturo. Sangat berbeda, bahkan sering bertentangan antara pemahaman saya dengan mainstream dunia modern sekarang ini tentang “janji”, “angan-angan kosong”, atau “tipuan”. Maka arah tujuan hidup saya juga berbeda bahkan bisa berlawanan dengan kecenderungan modern Barat. Cita-cita saya. Penempuhan perjalanan hidup saya. Yang saya kejar. Yang saya impikan.

Di Patangpuluhan, saat-saat menjadi “anak muda”, semua dimensi Indonesia bergerak “mengejar” dunia. Saya tidak. “Arah perjalanan hidup saya berbeda. Bagaimana dan untuk apa mengejar”.

Kalau pakai istilah almarhum Asmuni bin Afandi, ahlul-nDiwek, kehidupan manusia sekarang ini seperti Lemper. Makanan dibungkus daun hijau, tapi kalau di-besèt (dikelupas, dibuka bungkusnya) keluar ketan-nya.

“Lho hubungannya apa, Cak Mun?”

“Wong-wong saiki iki nek klambine apik-apik, omahe mewah-mewah, teknologine top, kabeh uripe nggaya pol, tapi nek dibesèt metu Setan”.

Itu akademisi cap nDiwek. Kalau Kanjeng Nabi rumusannya sangat tertib:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda orang munafik itu ada tiga: kalau bicara ia berdusta, jika membuat janji mengingkari, dan kalau dipercaya ia berkhianat.”

Lainnya

Exit mobile version