CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (25)

Dengan Kesehatan yang Sehat

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 10 menit
Photo by LoboStudio Hamburg on Unsplash

Waktu saya membuka-buka tumpukan kitab kuning, buku hadis, dan buku skrip di rumah, saya menemukan tiga buku skrip penting. Isi buku skrip ini tulisan tangan Ayah. Dengan tulisan halus dan bagus dengan menggunakan potlot alias pensil berwarna ungu.

Buku skrip pertama berisi tata cara mencangkok pohon jeruk nipis. Mulai dari memilih tanah yang bagus yang tidak mengandung telur cacing, cara memilih batang jeruk nipis yang sudah berumur dan memenuhi syarat untuk dicangkok, memasang serabut rapi, mengikatnya dan irama menyiram cangkok sampai menghitung akar pohon jeruk hasil cangkokan. Memperhatikan warna akar. Ketika masih putih pucat berarti akar masih terlalu muda. Baru setelah berwarna kuning tua lalu agak kehijauan berarti sudah waktunya batang yang dicangkok dipotong dan hasil cangkokan ditanam di tanah yang telah dipersiapkan.

Saya belum pernah mendengar ayah kursus mencangkok pohon jeruk nipis atau dia berguru kepada siapa sehingga bisa punya pengetahuan yang lengkap seperti ini. Saya juga tidak pernah mendapat cerita Ayah berguru kepada siapa di waktu muda yang menyebabkan Ayah bisa membuat catatan pada buku skrip kedua. Isinya tentang Ilmu Usada atau ilmu pengobatan Timur. Dalam ilmu pengobatan Timur ada yang dilakukan dengan mempergunakan rempah-rempah atau jamu dan ada yang menggunakan sentuhan fisik belaka seperti pijatan biasa dan ada yang disertai pengerahan tenaga batin. Ini dijelaskan dengan teliti.

Buku skrip ketiga berisi rumus nadloman. Ada seperti wazan dan mauzun dalam ilmu sharaf. Beberapa doa yang dilantunkan waktu mengajar ngaji anak-anak kampung menggunakan rumus nadloman ini. Demikian juga lagu pujian Jawa dapat dirunut modelnya lewat rumus nadloman ini.

Diantara tiga buku skrip yang mendapat perhatian saya adalah buku kedua. Buku skrip yang isinya pengobatan Timur. Ayah mempraktikkan ilmu usada untuk memelihara kesehatan keluarga. Termasuk ilmu memijit urat dan pengobatan dengan menggunakan tumbuhan. Ayah sungguh hati-hati dan bilang kalau pengobatan dengan menggunakan tumbuhan ada dosis ketat. Kalau melanggar dosis malah berbahaya. Kalau pas dosisnya dan benar proses pembuatannya, baru manjur. Ayah yang sering mendapat order mengusir jin yang tinggal di kebun atau di rumah tua suatu hari kena batunya.

Jin itu mau pergi dengan syarat bertarung lebih dahulu dengan Ayah. Ayah menyanggupi. Nah, kalau suatu sore Ayah menyapu bersih halaman depan lalu menyiapkan tikar di pinggir, ini alamat Ayah akan bertarung dengan jin pada malamnya. Ibu, kakak, dan adik saya sudah hafal. Biasanya malam itu anak-anak diungsikan tidurnya di kamar belakang. Dilarang untuk kemana-mana.

Hanya saya yang suka iseng atau ingin tahunya besar. Ketika Ibu malam itu tidur nyenyak sambil memeluk adikku saya diam-diam keluar kamar dan membuka jendela sedikit untuk menonton pertarungan Ayah melawan jin yang tidak kelihatan oleh mata orang biasa. Jadi yang saya lihat ayah berkelahi melawan sesuatu yang tidak terlihat. Saya lihat pertarungan ini seru sekali. Saya lihat Ayah seperti membanting sesuatu tetapi kemudian Ayah terlempar seperti kena tendang.

Saya lihat Ayah bangkit, mengambil tikar, meletakkannya di emper rumah lalu ke kamar mandi membersihkan tubuh, berganti pakaian, dan shalat di emper. Saya menutup jendela pelan-pelan, kembali tidur. Nyenyak.

Paginya, Ayah memijit-mijit perut sampai Ibu menanyakan apa sebabnya. Ayah tersenyum, menjawab, “Jin itu kurang ajar. Sebelum pergi sempat saya banting. Ee dia bisa menggeliat kemudian menendang perut saya sampai sakit seperti ini.”

“Lantas apa obatnya?”

“Jamu. Tolong dibelikan temu ireng tempe bosok. Nanti pace dan daun kates saya cari sendiri.”

Ibu segera ke pasar membeli barang dimaksud. Ayah mencari buah pace, mengambil daun pepaya. Dia cuci bersih. Mengambil lumpang batu dan alu kayu dibersihkan di dekat sumur lalu memasukkan daun pepaya dan pace ke lumpang batu. Ayah menumbuk pace dan daun pepaya sambil menunggu Ibu pulang dari pasar.

Saya mendekati Ayah dan bertanya apakah di kalangan bangsa jin ada pendekarnya?

“Ada. Biasanya kalau sakit kena tendang seperti saya ini sakitnya biasanya bisa empat puluh hari,” jawab Ayah.

“Kok bisa empat puluh hari sakitnya, Yah?”

“Saya tidak tahu. Tanya saja jinnya.”

Saya tidak berani bertanya lagi. Tidak lama kemudian Ibu datang. Setelah temu Ireng dibersihkan, ikut ditumbuk. Demikian juga tempe bosok. Meski diberi jamu buatan sendiri yang menyebabkan sakit perut Ayah berkurang, sakit akibat tendangan jin gemblung itu berlangsung empat puluh hari. Setelah itu Ayah sehat, segar bugar tubuhnya dan siap mengusir jin lagi jika ada yang meminta tolong.

Ayah sebagai alumni pondok pesantren Wonokromo punya keterampilan macam-macam. Termasuk mengobati gangguan ringan kesehatan yang menimpa anggota keluarga. Termasuk teknik mengusir pusing kepala yang unik, dengan menarik-narik rambut kepala bagian tertentu dengan irama tertentu. Dan pantangan Ayah cuma satu, mengobati orang lain di luar lingkaran keluarga.

Memang di kalangan ahli usada sering ada pantangan. Ada tukang pijat yang ahli mengurut orang yang keseleo atau kecethit pantang mengurut atau memijat kalau pas pasaran Legi. Ada yang tidak mau menangani pasien pada hari Jum’at sore sampai Sabtu pagi. Juga ada yang waktu off tidak praktik pada hari Senin sore sampai Selasa pagi. Tetapi ada kawan penyair dari Purwokerto tidak punya hari pantangan. Lalu ada penyair lain dari Sokaraja yang pantangannya lucu, dia tidak boleh bernafsu ketika memijat wanita. Dia pernah cerita ke saya, dia diprotes pasien cantik bahenol berkulit putih karena pahanya gosong seperti terbakar. Ternyata beberapa hari sebelumnya teman saya waktu memijat perempuan itu bangkit nafsunya.

Dia berbisik, “Mas, kalau sampeyan menghadapi perempuan seperti itu bisa hilang iman sampeyan.” Saya tertawa, jawab saya, “Kalau saya lebih pilih memejamkan mata sambil memijat.” Ganti dia yang tertawa. “Memijat kulit halus seperti itu walau mata terpejam tetap dapat goncang lho iman sampeyan.”

Kemudian dia bercerita bagaimana dia meminta maaf kepada pasien itu. Dia menggunakan minyak tertentu untuk memulihkan kulit paha perempuan itu.

Kemudian dia lapor kepada gurunya. Sang guru mendenda dia dengan membaca wirid tertentu sebanyak ribuan kali dan berpuasa agar ilmu dia yang luntur karena nafsu itu bisa pulih kembali. Dia bilang, setelah itu dia berhati-hati kalau mendapat pasien perempuan. Caranya adalah perempuan itu harus mau berpakaian rapat dan dia memijit di luar kain.

Ada pengalaman lain lagi dari penyair yang kemudian mahir memijit. Sebagai orang abangan, dia dulu aktivis GMNI, pengetahuan dia terbatas. Setiap habis shalat dan wiridan dia selalu membaca beberapa surat tertentu. Ee, suatu hari dia mendapat Ilham untuk memijit sebagai upaya penyembuhan. Dia merasa perlu menyembuhkan seseorang, maka dia datangi orang itu. Termasuk ketika suatu hari intuisi dia menggerakkan dia dari Purwokerto berangkat ke Kudus. Sampai Kudus sudah malam.

Dia mendatangi panitia pertemuan sastrawan se-Jawa Tengah dan Yogya di sebuah rumah. Saya sedang duduk ngobrol sambil minum kopi ketika dia datang langsung mendatangi saya dan beraksi memijit saya. “Saya tergerak untuk ke sini dan harus mengobati Mas Mustofa,” katanya memerintahkan saya berbaring.

Teman-teman tercengang tapi diam saja. Saya juga tidak membantah. Saya nikmati saja proses pemijatan untuk penyembuhan penyakit ini. Dan sambil beraksi dia menjelaskan apa penyakit tersembunyi saya. Rasanya awalnya sakit tetapi setelah dia selesai dengan aksinya, tubuh saya terasa segar. Teman yang lain pun bergantian minta dipijit. Sampai akhirnya kalau ada pertemuan sastrawan Jawa Tengah Yogya dan dia datang sehabis pertemuan selalu ada acara penyembuhan penyakit dengan pijat refleksi model dia.

Dia juga memberi petunjuk tentang buah apa yang harus dimakan untuk mentuntas ikhtiar usada ini. Hanya yang membuat teman kurang enak, dia terlalu jujur dan begitu melakukan deteksi awal dia langsung menyebut penyakit yang tersembunyi yang di derita teman ini. Teman yang lain yang mendengar biasanya ketawa-ketawa. Dia langsung menyebut si anu darah tinggi, si anu asam urat, si anu gejala sakit jantung, si anu sakit ginjal.

Yang disebut penyakitnya biasanya ikut tertawa dan menikmati aksi penyembuhan penyair Purwokerto yang sekarang pindah rumah ke Tegal ini. Pernah karena takut ketahuan penyakitnya, ada penyair senior buru-buru menghindar dari bersembunyi di kamar mandi lama-lama. Lalu dia bilang menyerah, tidak mau dideteksi penyakitnya. Teman lain meledeknya.

Saya menjadi langganan untuk mendapat treatment disegarkan badannya oleh penyair ini termasuk ketika ada pertemuan nasional sastrawan di Kudus sebelum datang pandemi Corona.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version