Datanglah Kelahiran yang Baru
Selama bertugas dan menikmati hidup di dunia, setiap manusia memiliki radius dan frekuensi bebrayan atau silaturahminya masing-masing. Siapa yang bersemayam di dalamnya, teruji oleh waktu, mungkin puluhan tahun atau bahkan sekian dekade dan abad. Dan setiap manusia menemukan manusia-manusia lainnya yang terbaik, yang menghuni ruang terdalam jiwanya yang sejuk dan harum.
Di dalam lingkar dan jaringan silaturahmi atau profesionalitasnya, manusia punya konsumen atau produsen, rekanan, kolega, teman, teman biasa, teman dekat, sahabat karib, atau yang lebih dekat lagi sehingga bisa disebut Saudara. Jamaah Maiyah menyebut komunitasnya “Al-Mutahabbina Fillah”, karena sesama JM di seluruh dunia adalah manusia-manusia yang tidak harus punya hubungan darah atau kekerabatan, tetapi saling mencintai, saling menyayangi, saling mengamankan satu sama lain. Atau dalam narasi lagu TETA: saling memaafkan, saling menguatkan.
Harry Tjahjono adalah salah satu penghuni itu di dalam jiwa saya. Kemarin Allah mempertemukan saya dengannya di sekitar waktu menyaksikan filmnya Dedi Setiadi yang juga penghuni yang sama di ruang dalam jiwa saya. Bu Novia menjadi pemeran “Terimakasih Emak, Terimakasih Abah” (TETA) sekaligus menjadi salah satu produsernya.
Yang berperan dalam film TETA adalah semua yang dulu bermain di dalam Sinetron Seri “Keluarga Cemara” (KC), meskipun film ini tidak ada kaitannya dengan “KC”. Di balik itu, Krishna putranya Harry Tjahjono adalah yang menciptakan lagu “Mimpi Yang Paling Nyata” dalam film TETA, sementara lagu Keluarga Cemara “Harta Yang Paling Berharga” adalah gubahan Harry Tjahjono.
Harry Tjahjono adalah tipologi sedulur sejati sebagaimana atmosfer Maiyah membangunnya, dengan salah satu idiom “Paseduluran Tanpa Tepi” yang dicetuskan dan diekspresikan oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh anak saya. Persaudaraan saya dengan Harry benar-benar tanpa tepi. Allah sendiri merumuskannya dan Harry membuktikan selama setengah abad lebih persaudaraannya bersama saya.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang menyebarkan kebaikan dan kasih sayang baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan sesamanya. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Rasulullah Kanjeng Nabi Muhammad Saw menyampaikan gambaran yang sangat indah, bahwa shadaqah atau infaq bisa berupa “sekadar” senyuman. Dan Harry adalah sahabat saya yang paling tersenyum kepada kehidupan. Tersenyum kepada Indonesia. Kepada karya-karya. Kepada sastra, puisi, musik dan lagu. Kepada semua manusia yang terkait dengan seluruh darma baktinya selama hidupnya. Dan Harry setia melakukan itu “fissarro`i wad-dlorro`i” sebagaimana Allah menggambarkannya. Dalam keadaan lapang atau sempit. Senang atau sedih. Bahagia ataupun sengsara. Dalam situasi longgar penghidupan maupun bokèk.
Bagi anak-anakku Maiyah yang mengalami era 1980-an dan pernah mendengar film populer detektif partikelir “Ali Topan Anak Jalanan”, Harry inilah Dalang di belakangnya. Teguh Esha, sahabat sejati saya lainnya, yang menulisnya. Abrar Siregar sutradaranya. Roy Marten dan Rudi Salam pemain utamanya.
Harry ditakdirkan dan dititipi oleh Allah energi revolusi kesegaran hidup. Inovasi seni budaya. Serta pendobrakan terhadap kebuntuan dan kemacetan estetika publik. Dan hingga usia tuanya yang unda-undi dengan usia saya, Harry tetaplah penyebar kesegaran jiwa itu.
Kemarin setengah tidak sengaja bertemu ketika sama-sama mengawal teman-teman yang No-Bar film TETA. Sudah sangat lama saya merasa kangen kepadanya. Dan setiap bertemu dengannya hati saya berbunga-bunga seperti orang pacaran. Harry bercerita kepada Krisha putranya tentang album lagu “Taubat”nya Mbak Novia Kolopaking tahun 1997, Harry juga menciptakan satu lagu untuk saya nyanyikan.
Harry bercerita kepada anaknya tidak untuk sejarah atau autobiografi. Melainkan karena Harry merindukan putranya mengetahui dan merasakan bahwa zaman yang ia alami di era milennial sekarang ini sama sekali berbeda segala sesuatunya dengan era kami muda 30-40 tahun silam. Struktur sosialnya, penyakit jiwa politiknya, atmosfer budayanya, iklim segar gerah kemanusiaannya. Dan itu sangat berpengaruh kepada produk kreativitasnya di segala bidang.
Banyak sekali dimensi dan contoh-contoh atmosfer yang kami perbincangkan demi putra dan cucu Harry yang juga ada dalam pertermuan itu. Di tengah proses pembuatan album “Taubat”, Harry berkunjung ke rumah sewa saya untuk tinggal bersama Mbak Novia di Kelapa Gading Jakarta Utara. Harry membawa kaset berisi satu lagu yang dia siapkan untuk saya nyanyikan dalam albumnya Mbak Novia itu. Sudah pasti saya bukan penyanyi, dan belum tentu mampu bernyanyi. Tetapi menyanyi adalah hak segala bangsa dan setiap manusia. Harry membuat lagu itu dan saya menyanggupinya semata-mata karena “Paseduluran Tanpa Tepi” dan Al-Mutahabbina Fillah ideologi Maiyah itu.
Besok sorenya ditunggu di salah satu Studio Rekaman. Disetiri Mbak Via saya datang. Harry menggandeng tangan saya masuk studio. Musik sudah jadi 100%, saya tinggal mengisi suara. Saya langsung menghadap mikrofon, bernyanyi, sekali jadi. Tidak ada retake atau take-2. Menurut Harry sudah cukup. Kalau diulang belum tentu mampu mencapai kadar, frekuensi, dan level yang sama dibanding yang spontan itu.
Saya menyebut itu namanya “momentum hidayah”. Menurut Al-Qur`an, laisa liwaq’atiha kadzibah. Momentum itu tidak bisa didahulukan atau ditunda atau diulang. Itu seperti tetesan kecil Lailatul Qadar. Saya bersangka baik dan meyakini bahwa anugerah momentum itu dilimpah oleh Tuhan kepada “Paseduluran Tanpa Tepi” antara Harry dengan saya.
Cuma masalahnya saat-saat itu Pak Harto berada dalam proses mulai terancam kekuasaannya. Itu 1997, menjelang Reformasi yang momentumnya adalah Bulan Mei 1998. Harry agak pusing kepala bukan karena lagunya saya ubah secara spontan sesuai dengan hidayah yang saya terima, baik notasi maupun teknik cengkoknya, tetapi terutama lirik atau syairnya.
KEKASIH TAK BISA MENANTI
Akhirnya akan sampai di sini
Di amanat Ilahi Rabbi
Orang-orang tak bisa lagi menanti
Zaman harus segera berganti pagi
Aku tangiskan teririsnya hati
Para kekasih di dusun-dusun sunyi
Terlalu lama mereka didustai
Sampai hanya Tuhan yang menemani
Tuhan, sudah tak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran, ketabahan
Sesudah diremehkan dan dicampakkan
Ya Allah, Wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah rahasia
Sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru
Akhirnya akan sampai di sini
Di arus gelombang yang sejati
Kalau perahu kami
Adalah tangan-Mu sendiri
Tak satu kekuatan bisa menghalangi
Ya Allah, sudah tidak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran mereka, ketabahan mereka
Sesudah diremehkan dan dicampakan
Tuhan, wajah-Mu terpancar dari derita mereka
Bukakanlah Ya Allah
Rahasia-Mu Ya Allah
Sesudah maut yang tak terduga itu
Datanglah kelahiran yang baru
Arswendo Atmowiloto yang memproduseri album itu juga mencoba menawar apa bisa kalimat-kalimatnya diperhalus. Karena dengan mendengarkan lagu dan syairnya itu orang mengerti bahwa isinya adalah semacam “nabuhi” atau merayakan proses akan lengsernya Pak Harto dari kursi kekuasaan nasional. Padahal sesungguhnya ada kalimat di dalam syair lagu itu, yakni “Sesudah maut yang tak terduga itu. Datanglah kelahiran yang baru” sampai hari ini belum terjadi dan saya tunggu-tunggu njungkel atau nggeblak-nya. Kalimat itu pasti tidak cocok dengan Reformasi 1998, yang faktanya memang bukan kelahiran baru, melainkan sakit lebih parah.
Tetapi untuk Orde Baru, lagu dan syair itu sudah terkategori “subversif”. Memang menurut Harry puisi di lagu itu terlalu kasar untuk situasi zaman Orba, tetapi kalau untuk era politik bebal, era silaturahmi palsu dan komunikasi sosial abal-abal zaman milennial sekarang, puisi itu terlalu halus. Kalau mau bikin perkara, menjadi trigger sesuatu, kalau mau viral, poluler dan menyenggol kekuasaan, harus dibikin lebih kasar dan eksplisit.
Alhasil album “Taubat” yang ada “Kekasih Tak Bisa Menanti” itu di zaman Orde Baru ibarat tanaman yang berada di tanah yang tidak subur dan tidak boleh disirami. Kalau benih yang sama ditanam di era sekarang, juga tidak akan berbuah apapun.
Kalau Anda mengenal Orde Baru, akan mafhum kekhawatiran Arswendo dan Harry atas lagu itu. Dan memang kemudian nyatanya album itu menjumpai banyak barikade dan kendala untuk penyebarannya. Lagu yang saya nyanyikan itu hanya sempat satu kali ditayangkan di televisi, sesudah itu pintu ditutup rapat-rapat. Untung tidak sampai pada tahap Arswendo dan Harry ditangkap oleh militer. Juga tidak sampai lenyap hilang seperti Wiji Thukul Solo di tengah arus “Petrus” alias penembakan misterius. Meskipun saya sendiri tidak pernah mengalami masalah politik atau tekanan kekuasaan apapun.
Tekanan perangkat kekuasaan Orba tidak ècèk-ècèk seperti rezim yang sekarang. Di akhir pertemuan, Harry berjanji akan membikinkan lagi lagu-lagu untuk saya nyanyikan. Sekadar untuk merawat dan menikmati “Paseduluran Tanpa Tepi” belaka. Tidak ada tujuan kesenian, sosial maupun politik.