Dari Arisan Teater dan Penyakit Kehebatan
Di sekitar tahun 1974-1976 ini luar biasa ada kegiatan kaum muda Yogya yang bernama “Arisan Teater”. Masyarakat di kampung-kampung melahirkan kelompok-kelompok teater, pentas bergiliran dari kampung ke kampung. Sebulan sekali di kampung ini, yang tampil bergiliran sekian grup dari berbagai kampung. Tidak ada panitia resminya, itu keguyuban alamiah suatu jaringan masyarakat.
Kalau di Jombang dulu ada kegiatan yang mirip. Namanya “Kombinasi”. Kelompok-kelompok Shalawat menyusun aransemen dengan musik perkusi berupa terbang atau semacam rebana tradisional. Dipadukan dengan gerakan-gerakan massal seluruh pesertanya.
Mereka bukan grup-grup yang menggarap aransemennya masing-masing dan menampilkannya secara bergiliran. Tetapi semua dari berbagai desa atau kampung, bahkan yang cukup berjauhan, untuk menjadi satu dan membawakan shalawat-terbang Al-Barzanji. Meskipun “Kombinasi” sudah jarang berlangsung tapi sampai hari ini terbangan “barzanjen” itu masih ada dilestarikan oleh jaringan kelompok-kelompok yang berhimpun dalam satu wadah bernama Ishari (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia). Di Saudi Arabia dan negara-negara lain pun tak ada Ishasa (Ikatan Seni Hadrah Saudi Arabia). Bahkan shalawatan cenderung dilarang oleh aliran tafsir Islam yang berlaku di Arab, meskipun agak berbeda kalau di Yaman, Turki atau Mesir.
Maiyah pernah mengumpulkan 1050 orang penerbang Ishari tahun 2014 di pendopo Majapahit Trowulan Mojokerto dalam suatu hajatan spiritual yang bernama “Banawa Sekar”. Semua lahan di komplek bekas Kerajaan Majapahit selama ini tidak boleh dipakai untuk kegiatan keagamaan, hanya boleh yang bersifat budaya. Tetapi Maiyah dibukakan pintu untuk terbangan massal yang dihadiri tak kurang dari 40.000 hadirin.
Hasilnya Allah menganugerahkan ujian besar dan cobaan berat kepada bangsa Indonesia dengan diangkatnya Jokowi menjadi Presiden. Tetapi bersamaan dengan itu dua Pusaka Keris yang melambangkan kekayaan darat dan laut bertemu dan nikah lagi malam itu. Sebagaimana kandungan makna “Banawa Sekar”. Banawa adalah lautan, Sekar adalah kembang atau bunga, penghias keindahan daratan. Tidak ada orang menanam dan menyirami bunga sempat ingat lautan, dan tak ada pelaut di tengah samudera berpikir tentang keindahan bunga. “Banawa Sekar” memang diam-diam punya hajat kahyangan bahwa Indonesia yang Negeri Maritim dengan lautan sangat luas dan daratan gemah ripah loh jinawi semoga dinikahkan oleh Allah di dalam jiwa dan kesadaran para pemimpinnya.
Sampai hari ini pernikahan kesadaran itu belum terjadi dan di dalam penataan urusan semua Pemerintahan Indonesia belum tercermin perjodohan laut-darat itu secara sistem dan manajemen. Berarti adanya saya dan semua masyarakat Maiyah belum dihitung sebagai mencukupi di mata Allah untuk mengabulkan aspirasi itu. “Banawa Sekar” belum tertanam di dalam kandungan hati dan pikiran bangsa Indonesia, karena sebagian besar dari mereka sibuk dengan sulitnya mempertahankan penghidupan, sementara sebagian kecil di antara mereka habis waktunya untuk melampiaskan nafsu untuk berkuasa dan terus berkuasa lagi serta puas dalam hal harta benda.
Ketika saya bersama Eko dan Eha dari Kadipaten berjalan malam-malam ke Dipowinatan, kami hanya membayangkan gagasan pernikahan kreativitas. Dan sampai uzur usia saya sekarang, belum pernah masuk ke dalam hati, benak atau pikiran saya ide tentang kekuasaan dan harta benda. Niat bawah sadar untuk berkolaborasi kreatif dengan anak-anak Dipowinatan ternyata yang menanamkan adalah Tuhan sendiri sehingga Ia pun kemudian mewujudkannya.
Juga tidak ada gagasan tentang kehebatan. Di masyarakat, orang yang hebat adalah yang kaya, yang pejabat, yang berkuasa, kemudian yang dikenal oleh banyak orang, kemudian yang bertoga sarjana, kemudian terakhir baru yang baik. Itu pun kebaikan tidak diteguhkan sebagai kehebatan oleh umumnya masyarakat kita yang diseret oleh arus modernisme yang penuh keanehan itu.
Arisan Teater itu setiap kali dilanjutkan dengan review refleksi, analisa, penilaian atau kritik oleh sejumlah tokoh senior kesenian. Tetapi secara keseluruhan tidak ada hawa yang mendorong atau memancing siapapun di antara mereka untuk menjadi manusia hebat. Joko Kamto adalah “alumnus” Arisan Teater, “Sarjana Dinasti” dan “Doktor KiaiKanjeng”, tetapi Jokam tidak pernah berpikir untuk bercermin, menatap wajahnya dan nyeletuk sendiri: “Wah, Profesor Kehebatan”. Sama sekali tidak. Sampai hari ini Joko Kamto adalah aktor teater yang memang sudah berkali-kali membuktikan kehebatannya, tetapi ia adalah manusia yang sangat rendah hati, cenderung pendiam, dan tidak nyinyir atas apapun saja seperti lazimnya tokoh-tokoh hebat jaman sekarang.
Kapan saja Jokam bermain sangat bagus melakonkan sebuah peran dalam teater, begitu kita menemuinya di belakang panggung, sebelum kita sempat memujinya, ia sudah duluan bicara minta maaf atas kekurangannya dan menyebutkan dia tadi bermain kurang ini kurang itu. Joko Kamto sangat kritis kepada dirinya sendiri, sangat jeli menemukan kekurangan dirinya, sangat menjalani disiplin tafakkur. Jokam bahkan punya tradisi batin untuk ringan saja menertawakan dirinya sendiri:
Bermakna lebih dari segala ilmu
Ialah menertawakan diri sendiri
Sesudah kegagahan dipacu
Tahu langkah tak sedalam tangis bayi
Kelahiran dan maut memain-mainkan
Kita jadi perlu sekeras ini bersitegang
Padahal gua Ibunda tak di masa silam
Dan kematian tak nunggu di usia petang
Nyembah puisi, buku dikeloni, sejarah dibongkar
Kemudian sumpeg dan ngerti kita terbongkar sendiri
Maka laron tahu usia tak sampai semalam
Maka kita pilih saat wajah sendiri dilecehkan
Membantu malaikat ngerjakan tugas dari Ki Dalang
Melakonkan cilukba wayang pergantian siang malam
Heran kenapa Chairil minta cuma seribu tahun lagi
Padahal jelas jatah kita abadi