CakNun.com
Kebon (164 dari 241)

Dan Badai Pun Berlalu

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit
Foto oleh Adin (Dok. Progress).

Sebenarnya jauh sebelum era medsos dan media online, masyarakat kita memang punya dasar kecenderungan untuk mudah dimakan isu atau info-info takhayul. Salah satu sumber kenapa banyak orang meminta tolong kepada saya tentang persoalan-persoalan atau kasus-kasus yang sebenarnya saya tidak menguasai bidang itu dan tak punya kemampuan, adalah karena begitu mudahnya masyarakat dimakan gosip atau ghibah.

Akibatnya, mungkin muncul seorang atau beberapa tokoh sengaja merancang untuk berlaku aneh, tidak wajar atau “khariqul ‘adah” dengan tujuan supaya masyarakat menganggapnya seorang Wali atau orang sakti. Perilaku atau gerakan aneh itu diharapkan bisa membuat orang banyak menyangka bahwa itu adalah indikator karomah, atau tanda-tanda orang yang sakti atau istimewa.

Kalau ada tamu berkunjung ia langsung bilang “Kamu perlu segera perbaiki hubunganmu dengan Bapakmu”. Si tamu kaget dan membatin “Kok dia tahu saya punya masalah dengan Bapak?”. Padahal tidak ada orang yang tidak bermasalah dengan Bapaknya, meskipun kecil dan ringan saja.

Atau salah seorang tamu mendadak ditabrak dengan pernyataan, sambil menepuk bahunya, misalnya: “Kamu dulu sakit dan penyembuhannya belum tuntas”. Si tamu kagum kok beliau tahu dulu dia sakit. Padahal hampir semua orang pasti pernah sakit. Perkara sembuhnya sudah tuntas atau belum, itu soal cara pandang dan kriteria yang bisa berbeda antara ustadz ini dengan siapapun lainnya.

Tokoh lain kalau datang memenuhi undangan kasih pengajian, dia berjalan menuju panggung dengan cara berjalan tidak wajar. Misalnya hanya menggunakan satu kaki, atau justru kedua kakinya melangkah bersama, sampai ke podium. Masyarakat atau ummat awam yang memang punya wacana bahwa wali atau orang suci itu biasanya dekat dengan hal-hal yang tidak wajar, dengan mudah terperosok untuk menyimpulkan bahwa ustadz itu kemungkinan besar seorang waliyullah. Seorang “majdzub”. Yakni hamba Allah yang diangkat naik oleh Allah ke suatu level yang orang umum yang awam tidak bisa memahaminya.

Atau kita bisa merekayasa pemasaran eksistensi kewalian kita dengan menyebarkan teman-teman atau santri ke tempat-tempat orang bercengkerama, misalnya bengkel motor, warung, gardu atau tempat-tempat rekreasi. Disebarkan isu atau informasi bahwa kita punya sejumlah “karomah”. Bahwa kita sering berada di tiga tempat sekaligus di waktu yang sama. Sementara kita makan sop buntut di warung ini, kita juga sedang shalat di suatu masjid yang letaknya jauh dari warung itu, serta sekaligus sedang memberi pengajian di kampung yang lain sama sekali. Ketiga tempat itu berjauhan satu sama lain.

Saya sendiri pernah terkena isu semacam itu. Pada malam terakhir kunjungan kami di tanah Mandar, dan kami disuguh makan malam oleh Hijrah, tokoh Maiyah di situ yang juga pernah menjadi vokalis KiaiKanjeng, tiba-tiba Hijrah mendapat telepon dari temannya di Mamuju, ibukota Sulawesi Barat yang jaraknya 5 jam darat dari Tinambung rumah Hijrah dan teman-teman Teater Flamboyan. Si penelpon itu menginformasikan bahwa baru saja Cak Nun pamit pulang sesudah satu jam lebih mengobrol dengannya. Padahal saya sedang rakus makan di rumah Hijrah yang menerima telpon itu.

Abu Bakar, teman Flamboyan yang lain selalu menangis kalau kami datang berkunjung ke Mandar. Karena ketika dulu dia ikut demonstrasi mahasiswa di Makassar dan kemudian digrebeg dan ditangkapi oleh polisi dan tentara, Abu Bakar jongkok meringkuk di sisi sebuah pagar sambil berteriak “Cak Nuuun! Cak Nuuun!”. Dan tiba-tiba ia berada di kota lain yang jaraknya 25 km dari Makassar.

Para nelayan Mandar kalau di tengah laut muncul badai, mereka berteriak ke langit: “Imaaam Lapeooooo!”. Maka badai mereda atau menyingkir. Imam Lapeo adalah sesepuh legenda bagi masyarakat Mandar sejak tahun 1940-an. Beliau waliyullah yang sering menunjukkan berbagai macam “karomah”.

Abu Bakar meneriakkan nama saya itu pasti diilhami oleh kisah para nelayan Mandar di kampungnya. Dan yang membuat ia selamat dari penggerebegan polisi dan tentara adalah aura sanad ide yang menyangkut Imam Lapeo. Andaikan tidak ada wacana Imam Lapeo dan Abu Bakar hanya meneriakkan nama saya, saya optimis dia pasti sudah diangkut ke kantor polisi dan ditahan.

Bu La Tappa, senior pengasuh Jamaah Maiyah Mandar sakit sampai koma berhari-hari. Dibawa dari Mandar ke Makassar. Setelah dua hari di Rumah Sakit, ia siuman dan bercerita: “Saya baru turun dari langit. Tadi Cak Nun menawar kepada Allah melalui Malaikat agar nyawa saya mohon jangan diambil dulu, karena saya masih dibutuhkan untuk menampung, mengasuh, dan memfasilitasi anak-anak saya sendiri maupun teman-teman Maiyah di Mandar. Kemudian saya siuman dan terbangun”.

Laporan Bu La Tappa ini untungnya tidak mengandung ujaran kebencian, ungkapan fitnah atau hal-hal yang melanggar pasal hukum. Andaikan itu yang dia ungkapkan, para penyidik pasti akan mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi dan memverifikasi benar salah dan jujur bohong kata-katanya. Bahkan tidak ada metode ilmiah apapun dari UNHAS atau kampus manapun yang bisa dipakai untuk menganalisis kebenaran atau kebohongan Bu La Tappa.

Anak-anak saya di Mandar adalah manusia-manusia yang polos, jujur, sangat beradab terhadap tamu, pekerja keras, tidak punya sifat lamis atau hipokrit. Saya yakin Allah Maha Mengetahui kualitas hamba-hamba-Nya di Mandar itu, sehingga berkenan menyelamatkan Bu Tappa. Bahwa dia merasa melihat saya bernegosiasi, itu hanyalah refleksi dari cinta yang mendalam antara orang-orang Mandar dengan saya, yang sudah lestari sejak tahun 1978. Bahkan mereka yakin saya adalah orang Mandar yang lahir di Jombang.

Itu yang disebut “Al-Mutahabbuna Fillah”. Hamba-hamba yang saling cinta dan sayang satu sama lain sepenuhnya didasarkan pada cintanya Kepada Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Apalagi yang dialami oleh Bu Tappa dan Abu Bakar itu berada dalam jalur nasab karomah Imam Ahmad Thahir Lappeo.

Alkisah berlangsung fragmen yang dialami oleh Nabi Musa As dengan “asisten’ beliau:

فَلَمَّا بَلَغَا مَجۡمَعَ بَيۡنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِي ٱلۡبَحۡرِ سَرَبٗا

Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.”

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَىٰهُ ءَاتِنَا غَدَآءَنَا لَقَدۡ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبٗا

Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”

قَالَ أَرَءَيۡتَ إِذۡ أَوَيۡنَآ إِلَى ٱلصَّخۡرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ ٱلۡحُوتَ
وَمَآ أَنسَىٰنِيهُ إِلَّا ٱلشَّيۡطَٰنُ أَنۡ أَذۡكُرَهُۥۚ وَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِي ٱلۡبَحۡرِ عَجَبٗا

Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”

Peristiwa yang semacam ikan yang hidup kembali di suatu koordinat, bahkan bisa bergerak melompat dari toples ke air laut, bisa sangat mungkin terjadi dalam bentuk lain atau subyek-obyek yang berbeda. Mukjizat Nabi Musa seperti itu bisa sangat mungkin kita temukan atau kita alami di dalam kehidupan konkret kita sekarang, meskipun kadar atau kualitasnya mungkin lebih rendah.

Terserah-serah Allah akan menjadikannya berlangsung padamu atau padaku. Sebab yang berlangsung pada Nabi Musa itu pun pemegang “copyright”nya adalah Allah sendiri, bukan Nabi Musa. Saya melihat, menemukan atau mengalami ratusan bahkan ribuan peristiwa semacam itu, yang terkait dengan saya atau tidak. Tetapi kita semua harus memastikan bahwa itu semua adalah karya Allah Swt, dan sama sekali bukan kemampuan, kekuatan atau kuasa kita dan siapapun selain Allah. Maka kita dibekali kalimat yang sederhana namun amat kuat makna faktualnya:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ

Tidak ada kuasa, tidak pula kekuatan, kecuali berasal atau pada genggaman Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”

Lainnya

Maiyah untuk Pembebasan

Perubahan sosial dan budaya menuju keadilan, kesejahteraan, kesetaraan dan kemakmuran bangsa, bisa dimulai dari penggalangan jamaah.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo
Exit mobile version