Crossed The Line
Pertengahan Mei, 2018. Ruang tunggu studio Metro TV Surabaya. Ruang tunggu ini diperuntukkan bagi narasumber atau sumber berita yang akan shooting di Metro TV. Baik yang tayang langsung maupun siaran tunda.
Siang itu, saya bersama Mas Aminullah menemani Mas Sabrang, menunggu waktu talkshow mengenai aplikasi yang diinisiasinya, Opinium. Sebelum kami datang, di ruang tunggu juga telah ada narasumber lain yang juga sedang menunggu. Mereka adalah siswa-siswa SD Muhammadiyah Pucang, Surabaya. Mereka diundang oleh Metro TV atas prestasinya menjadi juara pertama sebuah kompetisi robotik di Singapura. Ketika Mas Sabrang datang, host Metro TV saat itu, Mbak Herma, memperkenalkan Mas Sabrang kepada adik-adik siswa SD ini. Tentu sebagaimana yang jamak diketahui banyak orang, diperkenalkan sebagai anak band, Letto. Singkat cerita, ketika tahu bahwa adik-adik ini datang terkait dengan robotik, topik pembicaraan gayeng Mas Sabrang dengan adik-adik ini adalah mengenai robotik. Dan sangat teknis. Sejak modelling, assembling, maupun programming. Kalimat-kalimat teknis dan sedikit coding dengan Arduino mendominasi pembicaraan di ruang tunggu tersebut. Tidak lama memang, karena sudah harus masuk ruang makeup. Mungkin sekitar 15 menit. 15 menit yang memaksa host Metro TV dan guru pendamping adik-adik ini sedikit mendekonstruksi pemahamannya tentang “siapa” Noe, alias Sabrang, yang sudah “terlanjur” diatributasi sebagai artis.
Fragmen diatas adalah salah satu dari beberapa peristiwa serupa dalam kesempatan-kesempatan yang lain di Surabaya. Misalnya di Grahadi, ruang rektor Universitas Airlangga, dan di aula universitas yang sama di depan hadirin para akademisi. Mas Sabrang dengan percaya diri menjelaskan bagaimana teori perpindahan panas (heat transfer theory) yang nota bene adalah bidang fisika, kaitannya dengan proses kurasi sebuah informasi. Konteks saat itu juga adalah tentang Opinium. Mas Sabrang seperti “menemukan” tempatnya saat itu. Dengan dialog dan diskusi yang akademis, beliau sangat menikmatinya. Demikian juga dengan peserta acara itu. Dalam salah satu dialog, seorang doktor ilmu sosial yang sekarang Dekan FISIP Unair, mengatakan bahwa seandainya Mas Sabrang adalah mahasiswanya, dialog singkat pagi itu sudah cukup untuk meluluskannya dengan predikat cum laude. Sangat mungkin ungkapan itu adalah sebuah joke, tapi ijinkan saya menginterpretasikannya sebagai sebuah acknowledgement atas performance Mas Sabrang dalam forum tersebut.
Bukan hanya itu. Jauh sebelum saya beroleh anugerah berkomunikasi intens dengan Mas Sabrang, seorang kenalan orang Batak yang menangis dan tak mampu berdiri ketika ke Candi Borobudur pertama kali karena ketakjubannya melihat Borobudur sebagai sebuah struktur yang sangat matematis, menyebut Mas Noe ini sebagai seorang scientist ilmu (matematika) murni hanya dari sebuah diskusi di koridor menuju Balairung UGM suatu waktu. Dan sayangnya, mengutip teman Batak ini, orang seperti Mas Noe tidak punya tempat di negeri ini.
***
Beberapa hal diatas memperkuat apa yang dituliskan Mas Ronny dalam tulisan Mas Sabrang dan “Social Systems”. Dan kalau menarik busur panah kejadian-kejadian lebih kuat lagi, kita akan menemukan bagaimana “pembacaan” Mas Sabrang atas fenomena sistem sosial yang sedang berjalan. Akan kemana arahnya, bagaimana percepatannya ataupun bagaimana “iklim” di dalam atmosfirnya. Lebih khusus lagi, dalam kaitannya dengan era informasi digital saat ini. Beberapa jagongan dengannya 2-3 tahun yang lalu mengenai hal tersebut di kemudian hari bisa saya saksikan dalam sebuah film dokumenter di Netflix, Social Dilemma. Sedikit tambahan, sebuah jagongan rame-rame dengan Mas Sabrang pada tema informasi, media dan jurnalisme sempat saya tuliskan berurutan di sini 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.
Dari tulisan Mas Ronny tersebut juga kita juga bisa membaca satu hal, bahwa apa yang dilakukan Mas Sabrang dengan padatan Symbolic saat ini adalah sebuah terminal dari perjalanan sangat panjang dan intens. Mungkin sejak berpuluh tahun yang lalu. Dan menakjubkannya adalah bahwa pilihan sadar sang Pendekar Terang Benderang ini adalah apa yang pernah disebutkan Simbah sendiri, rakaat panjang. Sangat panjang, bahkan. Apa yang ditanam Mas Sabrang kecil kemungkinan bisa “dipanen” dalam waktu dekat. Juga mustahil mendapatkan spotlight di panggung perubahan. Saya curiga, logikanya yang dingin adalah sebuah ungkapan rasa pedulinya pada masa depan yang lebih beradab bagi generasi-generasi selanjutnya. Mas Sabrang, pada pilihan-pilihannya mengelola kasunyatan yang semakin terlihat selama pandemi ini adalah sebuah pilihan crossed the line yang sekaligus menjadi sebuah point of no return. Mukti utowo mati.
Diperkenankan Tuhan menjalani sebuah mimpi satu dekade lalu, dua hal yang saya tidak pernah berhasil dan terus mencoba menyelaraskan diri dengan Mas Sabrang: ketekunan dan determinasi. Semoga tidak kehabisan waktu.
***
Balkon sebuah hotel kecil di seputaran stasiun Kota Sidoarjo. Mas Sabrang baru bangun dari tidur siang ketika saya bersama Adhon dan Very menemuinya. Mas Sabrang bercerita bahwa ia baru saja bermimpi didatangi seorang sepuh kecil bertubuh kurus dalam mimpinya. “Dan beliau sepertinya adalah orang sekitar sini,” tambahnya saat itu. Sebelum kami bertiga pulang, saya menunjukkan sebuah foto di layar Blackberry kepadanya. Mas Sabrang membenarkan bahwa foto itu sama dengan orang yang mendatanginya dalam mimpinya.
Ada satu hutang saya dan Adhon kepada Mas Sabrang. Dalam perjalanan ke Sumenep, di dekat pertigaan di Tana Mera, Bangkalan, Mas Sabrang mengungkap keinginannya silaturahmi ke Ra Lilur. Yang saat itu tidak memungkinkan karena waktu yang mepet, dan mencoba mencari waktu yang lain. Hutang yang sudah pasti tidak akan bisa terbayar, karena beberapa saat setelahnya Ra Lilur kembali pulang.
Dan Ra Lilur sudah pasti bercengkerama dengan kekasih Allah yang lain, Mbah Ud Pagerwojo. Mbah Ud, yang fotonya di layar Blackberry saya dibenarkan Mas Sabrang. Dengan tawaddhu’dan husnudhzdhzan kepada Allah, semoga itu sebuah pertanda dimana Mas Sabrang juga ditemani “beliau-beliau” dalam perjalanannya, sebagai sebuah isyarat perkenan Tuhan. BismiLlah.