CakNun.com

Covid-19, Genom, dan Leluhur Kita

(Tulisan ini dibikin atas desakan dan ayoman Mbah Nun)
dr. Rendra Bramanthi, Sp.MK (K)
Waktu baca ± 3 menit
Image by Colin Behrens from Pixabay

Pandemi yang disebabkan virus Corona (Covid-19) dengan berbagai “anak turun”-nya telah menjadikan kita terpaksa melihat siapa sebenarnya yang “kecil”. Sehingga segala definisi dan teori tentang virus tersebut sejauh-jauhnya masih berujung di kesimpulan “bisa jadi”. Sebagaimana demikian yang dikatakan oleh para fisikawan quantum. Hal itu mengingat atau berlandaskan ukuran virus tersebut. Dengan berbagai ratusan bahkan ribuan kemungkinan “quantum” yang mempengaruhi pola “hidup”-nya. Ini jika kita berpikir virus tersebut makhluk hidup.

Jika kita bicara tentang awal mula kehidupan di planet Bumi, memang tidak ada catatan fosil yang lengkap tentang hal tersebut. Namun Gusti Allah telah menghamparkan fakta kehidupan yang dalam perjalanan sejarahnya, manusia mengenalinya sebagai Genom. Semacam “buku besar” yang dalam genetika dan biologi molekular modern, adalah keseluruhan informasi genetik yang dimiliki suatu sel atau organisme, atau khususnya keseluruhan asam nukleat yang memuat informasi tersebut.

Dari membaca “buku” tersebut kita bisa mengetahui asal-usul gen dalam sel apapun di tubuh kita yang membentuk organ dari gabungan organ tersebut sehingga mewujud sebagai makhluk Hidup (manusia). Kita adalah makhluk hidup yang tersusun atas 100 triliun sel, yang membentuk jaringan dan kemudian organ.

Dalam tiap sel manusia Gusti Allah menitipkan sepasang genom (kecuali pada sel darah) dan sel telur serta sperma (yang masing-masing hanya memiliki satu genom), dan dalam genom tersebut DNA kita disimpan. Di dalam DNA tersebut Gusti Allah menyimpan segala triliunan informasi baik cetak biru tentang manusia maunpun lain-lainnya seperti yang sering kita lihat dalam film-film science fiction. Mungkin dalam Bahasa Agama itu disebut “qadla dan qadar”.

Betapa kebanyakan manusia tidak mengenali dirinya sendiri. Sampai sejauh ini ummat manusia menyangka bahwa informasi kehidupan hanya tersimpan oleh memori janin, budaya dan sejarah. Sementara, menurut Mas Sabrang MDP, ada memori elemental, memori atomic, memori evolutionary, memori genetic, memori karmic, memori inarticulate, memori articulate, dan memori conscious.

Di sini yang kita sebut adalah triliunan informasi yang terdapat dalam DNA. Namun dalam perjalanannya agar itu semua bisa dibaca, dan selanjutnya dikembangkan atau diperbanyak, rangkaian DNA memerlukan hadirnya RNA (yang ternyata juga terdapat dalam sel-sel kita). RNA berfungsi sebagai semacam penyimpan informasi. Sebagai perantara antara DNA dan protein dalam proses ekspresi genetik karena berlaku untuk organisme hidup.

Di situ ada indikasi kenapa dalam kenyataan hidupnya manusia memiliki kecenderungan besar untuk serakah. Dari tingkat Gen saja sudah “serakah “ di mana makhluk hidup tingkat rendah hanya memilih satu, sebagai RNA atau DNA saja, dan tanpa hadirnya RNA tersebut tidak akan bisa terjadi perbanyakan DNA yang artinya juga tidak terjadi perkembangbiakan sel yang artinya tidak terbentuknya suatu organisme (termasuk manusia).

Dari cerita di atas bisa diambil kebenaran sederhana (sementara) bahwa RNA harus ada dulu sebelum DNA (persis pertanyaan telur atau ayam yang duluan ada). Begitu juga dengan makhluk hidup yang ber-“genre” RNA adalah makhluk hidup (kalau dianggap hidup) atau fragmen-fragmen RNA-lah yang ada dulu di bumi ini sebelum makhluk-makhluk DNA. Seperti kita tahu bersama bahwa virus Covid-19 adalah makhluk RNA.

Seakan-akan karena RNA adalah pengolah protein atas bahan-bahan DNA, maka seakan-akan RNA adalah benih qadariyah dari penciptaan manusia. RNA dan DNA seakan-akan merupakan dinamika “khilafah” antara hati dan pikiran manusia. Manusia modern beranggapan bahwa hati dan otak, kemauan dan daya intelek, berposisi polarisasional. Maka lahir dari dunia medis ada otak kanan dan otak kiri. RNA dan DNA tidak dipahami sebagai satu kesatuan yang berbagi kerja. RNA makronya adalah “amr” atau “irodah”, atau semacam kemauan yang DNA menjadi pekerjanya sekaligus menerima efeknya.

Kalau skala makro kerja RNA-DNA ummat manusia adalah Ngelmu Katon, materialisme, kapitalisme dan industri hedonisme yang kasat mata, maka “min haitsu la yahtasib” dari qadla qadar Allah terhadap RNA adalah makhluk tidak kasat mata seperti Covid-19. Yang menyiksa bangunan-bangunan besar DNA penduduk dunia yang merupakan hasil dari yang mereka kerjakan sendiri.

Dengan membaca buku besar genom tersebut “kebenaran sederhana” yang bisa diambil salah satunya adalah: bahwa pada dasarnya dalam kehidupan ada satu peran penting RNA, senyawa kimia paling awal di planet ini, serta kenyataan bahwa makhluk RNA merupakan nenek moyang (leluhur) makhluk hidup DNA. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw, “faman kana hijratuhu ilad dunya, fa nala ma hajara ilaih”. “barang siapa berhijrah kepada dunia, maka ia akan mendapatkan apa yang ia hijrahkan sendiri”. Pemahaman modern semrawut pemahamannya antara “primer-sekuner” atau “direktur-karyawan”, antara pikiran dan hati, antara intelek dan emosi. Secara rancu DNA dan RNA aaling mempekerjakan suatu teknologi perilaku dan peredaban, yang ternyata menghijrahkan ummat manusia menuju situasi-situasi “ multivirus” yang mengakibatkan keadaan yang sekarang sedang merundung dan menyiksa mereka.

Bukankah hal ini yang dimaksudkan dan sering disampaikan Cak Nun secara tersirat maupun tersurat, secara substsnsial maupun secara simbolik, dalam banyak forum-forum Maiyahan.

Semoga tulisan belum matang ini bermanfaat untuk bangsa, masyarakat,dan khususnya Jamaah Maiyah. Salam hormat kagem Cak Nun dan keluarga, sedulur-sedulut KiaiKanjeng dan sedulur-sedulur Maiyah di seluruh Indonesia.

Lainnya

Exit mobile version