Ciumlah Tangan Indonesia
Selama Teater Dinasti aktif, 1976-1983, tidak pernah mementaskan produk-produk dari luar negeri. Tidak berarti Dinasti tidak menghargai Shakespeare, Sopochles, Goethe, Bertold Brecht, Leo Tolstoy, atau siapapun. Menulis naskah sendiri dengan bahan Indonesia sendiri itu dilakukan oleh Dinasti tanpa mengkritik atau menegasikan kelompok-kelompok teater lain yang melakukan hal yang sebaliknya. Dinasti juga bukan “membenci produk asing”, melainkan sekadar merasa bersalah kepada sejarah kebudayaan Indonesia sendiri kalau tidak menggali naskah-naskahnya dari nenek moyang kita sendiri. Ya minimal 50-50%. Yang domestik menghormati kebudayaan otentik kita sendiri, yang naskah mancanegara perlu untuk belajar modern.
Itu juga tidak berarti mentang-mentang mau otentik dan orisinal maka kita shalat lima waktu pakai Bahasa Jawa atau Indonesia. Kami ngikut saja sama Allah. Kita dikasih diri ini, dianugerahi tanah air yang subur, kehidupan yang nyaman. Kita tidak bisa bangun tidur sendiri, tidak bisa mengalirkan darah sendiri, tidak bisa mendetakkan jantung sendiri. Sekadar disuruh balas budi dengan shalat berbahasa Arab mosok ndak mau.
Dalam hal berkesenian teater, kalau sampai lebih menjunjung naskah-naskah asing, Dinasti rasanya menghina sejarahnya sendiri. Meskipun teater modern Indonesia adalah kontinuasi dari khasanah-khasanah dari Barat, rasanya kita tidak percaya diri kalau muatan-muatan yang dieksplorasi tidak digali dari negeri sendiri.
Sampai hari ini saya dan teman-teman Dipo, Dinasti, Perdikan selalu mengucapkan dalam hati: Jangan sakiti hati Indonesia.
Apalagi di era milenial sekarang ini. Caranya, supaya tidak menyakiti hati Ibu Pertiwi, yang paling mudah adalah: jangan mengkritik Indonesia, terutama Presiden dan Pemerintahnya. Jangan maido Indonesia. Apalagi para pejabatnya beserta semua pekerjanya, yang resmi maupun tak resmi, yang kelihatan maupun yang maya.
Jangan mengemukakan bahwa Indonesia dan Pemerintahnya bersalah dalam hal apapun. Jangan sok pinter memberi peringatan, nasihat, saran atau apapun. Nanti para pengkritik akan mendapat jawaban: “Kalau omonganmu itu benar, maka kamu yang dipilih oleh rakyat menjadi Presiden dan Menteri. Buktinya kamu tidak menjadi apa-apa”.
Jadi, Let it be, kata The Beattles 1964. Pokoknya jangan sentuh. Jangan senggol. Apalagi mengingatkan atau mengkritik. Harus kau pastikan bahwa Indonesia selalu benar. Kitalah yang belum tentu benar. Jadi kalau Indonesia menyakiti hati kita, pahamilah itu karena dia yang benar dan kita yang salah. Maka kamu harus siap disakiti oleh Indonesia, tapi jangan sampai kita yang menyakiti Indonesia.
Demikianlah tetesan intisari keadaan Indonesia yang kualami terutama tahun-tahun terakhir ini.
Jamaah Maiyah sudah terbiasa “Sinau Bareng” mengambil jarak dalam ruang dan pada waktu . Tujuan utamanya adalah supaya menemukan kembali rasa syukur sebagai manusia dan bangsa Indonesia. Rasa syukur yang seharusnya melimpah-limpah karena rahmat keistimewaan dari-Nya kepada Indonesia.
Aku mengajak anak-anak cucu-cucuku Jamaah Maiyah untuk berhijrah dari rasa sakit ke quwwah. Dari kekecewaan ke kearifan. Dari amarah ke hikmah. Menemukan keluasan dalam kesempitan. Menggali kedalaman pada kedangkalan. Menemukan wewangian di balik kebusukan. Menerbitkan kelahiran di ujung kebosanan. Menggali sedalam-dalamnya dan melebarkan seluas-luasnya padang sabana rasa syukur atas rahmat Allah yang tiada bandingannya kepada Indonesia.
فَٱسۡتَجَابَ لَهُمۡ رَبُّهُمۡ أَنِّي لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٖ مِّنكُم
مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰۖ بَعۡضُكُم مِّنۢ بَعۡضٖۖ
فَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي
وَقَٰتَلُواْ وَقُتِلُواْ لَأُكَفِّرَنَّ عَنۡهُمۡ سَئَِّاتِهِمۡ وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
ثَوَابٗا مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلثَّوَابِ
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”.
Kalian anak-anakku di Maiyah dan aku saling berperan dan bermanfaat di antara kita. Bahkan kita teguhkan konsep Allah sendiri: kita adalah “Al-Mutahabbina Fillah”. Himpunan hamba-hamba yang sama-sama mencintai Allah dan Rasulullah. Indonesia pun sudah terbukti sangat besar peranannya atas perkembangan kita. Dengan logika linier atau terbalik atau lipatan.
Tetapi jangan lupa sehingga “GR”. Kalian dan aku bukan orang yang berperan apalagi berjasa di dan terhadap Indonesia. Saya pribadi tidak punya kapasitas dan kualitas seperti para pemimpin turun-temurun seperti yang pernah saya tuturkan, tetapi sebagai rakyat kecil dan warganegara awam biasa, kita juga berupaya jangan sampai hanya akan menjadi warganegara yang mubadzir. Menjadi bagian dari penduduk Indonesia yang sia-sia hidupnya:
حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ
“Maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
أُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ
“Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugI.”
Lebih mengerikan lagi kalau rekam jejak saya ternyata adalah:
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيۡسَ لَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ
وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَٰطِلٞ مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”
Memang memalukan kalau dalam kehidupan ini kalian dan aku berposisi lak-lak undi alias anak bawang. Meskipun dari sisi lain, posisi itu bisa malah longgar dan aman. Kelihatannya terlibat jumpritan, tapi tidak terikat kewajiban aturan jumpritan. Seakan-akan berperan dalam kehidupan Negara, padahal sebenarnya tidak berfungsi apa-apa. Tapi dari sudut lain, bisa malah luas dan lapang ruang kreatif kita. Sehingga omong apapun, tidak pernah benar-benar dipercaya.
Andaikan aku berbicara macam-macam yang kuketahui tentang Bung Karno, Pak Harto, Mega, Sby hingga yang sekarang, dengan bahan-bahan yang belum diketahui oleh rakyat Indonesia, serta dengan cara pandang yang belum pernah dipakai oleh para pakar. Itu tak akan ada manfaatnya. Malah bisa menjadi sumber mudlarat dan mafsadah. Toh aku hanya lak-lak undi. Anak bawang. Andaikan saya mengungkapkan paradoks antara teks Proklamasi 1945 dimana alinea kedua membatalkan alinea pertama, umpamanya, toh saya hanya lak-lak undi.
Ketika sehabis demontrasi di Sampang Madura saya datangkan 6.000 rakyat dan Basrah (perkumpulan Kiai-Kiai Madura) untuk memprotes Pemerintah yang membredel Majalah Tempo, saya dikejar-kejar oleh rombongan Tentara dan Polisi. Saya diboncengkan oleh mobilnya sahabat tercinta saya Mas Yan Haryono Sidoarjo, main kucing-kucingan seperti Tom and Jerry dengan TNI dan Polri. Tetapi akhirnya setelah melewati perbatasan antara Kabupaten Sampang masuk ke Kabupaten Bangkalan, mereka tidak mengejar lagi. Karena yuridiksi teritorial urusan para pengejar saya adalah Sampang. Begitu saya masuk Bangkalan, lega hati mereka dan merasa bebas karena tidak harus berurusan lagi dengan seorang anak bawang alias lak-lak undi. Mungkin pasukan itu lantas nyeletuk: “Mosok kita tantara gagah-gagah begini diperintah mengurusi anak bawang”.
Mungkin Allah menganugerahimu fadhilah. Sehingga engkau berprestasi minimal di kampung atau desamu. Entah dalam wujud apapun, kreativitas, ibtikar, fenomena, inovasi, tadjid. Di bidang-bidang ilmu pengetahuan, teknologi, manajemen sosial, kebudayaan dan kerohanian. Tingkat lokal, regional, nasional atau berskala dunia. Bisa jadi. Insyaallah. Dan aku mendoakanmu.
Tetapi kau tak perlu berharap bahwa masyarakat akan menghargai fadhilahmu. Tak usah menyangka bahwa Pemerintah dan pengurus-pengurus Negara, sampai kaum Ilmuwan pun, akan memberimu pengakuan dan penghormatan. Bahkan kau siap legowo dan ikhlas ketika ternyata istrimu sendiri, anak-anak dan keluargamu pun tidak menikmati atau apalagi membanggakannya.
Allah yang menganugerahkan fadhilah itu kepadamu. Jadi batasilah skala gairah dan kesadaranmu bahwa segala hasil fadhilah itu adalah urusan pribadimu dengan Tuhan. Allah mengapresiasi ketekunan dan kerja kerasmu dengan akurat, adil, dan sepadan, tanpa kau memintanya. Allah mensorgai setiap amal baikmu. Allah menyediakan balasan baik atas setiap tetes keringatmu. Allah menghitung setiap detail dari sekejapan ngantukmu di sela kerja kerasmu. Setiap debu kelelahanmu dan setiap zarrah perjuanganmu.
Itulah sebabnya sejak balita awal hidupmu dulu engkau sangat sering mendengar dan menerima ucapan “Lillahi Ta’ala” dari kedua orang tuamu.
Gajah mati meninggalkan gading. Macan mati meninggalkan belang. Mungkin aku hanya cebong mati gagal menjadi percil. Atau aku hanya kadal mati tergeletak di gurun. Tetapi saya ingin mati dengan Allah menyebut saya, meskipun hanya sederajat dengan seekor nyamuk.
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَسۡتَحۡيِۦٓ أَن يَضۡرِبَ مَثَلٗا مَّا بَعُوضَةٗ فَمَا فَوۡقَهَاۚ
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.”
Tetapi bagaimanapun Indonesia adalah orangtua kita. Ibu Pertiwi Indonesia yang membesarkan kita, memberi makan dan menghidupi kita. Cintailah Indonesia, lembutilah Indonesia. Jangan mengkritik Indonesia, supaya tidak sakit hatinya. Jangan berpendapat tidak sama dengan para penguasa Indonesia. Nanti kau bisa di-bully oleh buzzer-buzzernya, di-trolly oleh penyembah-penyembahnya, direkayasa, dimanipulasi, difitnah, dihancurkan reputasimu, dibunuh karaktermu, dan bisa jadi kau ditangkap dan diperkarakan oleh hukumnya.
Jadi cintailah Ibu Pertiwi. Kasihilah tanah air Nusantara. Ciumlah tangan Indonesia.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ
إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ
وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.“