Cita-Cita Anak Balita dan Menetralisasi Rasa Kekecewaan
Jika kita masih ingat, semasa kecil, kita seringkali diberi pertanyaan oleh orangtua di sekitar kita tentang apa profesi yang kita cita-citakan ketika kita sudah dewasa. Membikin masa kecil kita disibukan dengan menimang pilihan antara polisi, dokter, pilot, dan sebagainnya. Bukan sesuatu yang menjadi masalah memang. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, pengulangan pertanyaan tentang cita-cita tersebut meninggalkan tinggalan di alam bawah sadar kita. Tinggalan itu yang nantinya berkembang menjadi suatu sikap dan kepribadian yang berkelindan dengan keseharian kita.
Berawal dari repetisi pertanyaan cita-cita tersebut, kita jadi terbiasa untuk membuat keinginan-keinginan baru pada setiap hal yang kita jumpai. Dan merasa apapun yang ada di waktu yang akan datang dapat kita tentukan dengan kemauan pribadi kita.
Bagi sekalangan pihak, kebiasaan tersebut menjadi hal yang lumrah-lumrah saja untuk dilakukan dan tidak berefek negatif apapun. Namun jika kita tarik dalam konstelasi ideologi “orang Islam”, kebiasaan tersebut secara halus melupakan kemutlakan kehendak yang dimiliki Allah Swt. Dan secara halus juga melupakan kodrat kita sebagai hamba Allah Swt yang tidak memiliki kuasa apapun di hadapan Allah Swt.
Di dalam perihal yang lain, kebiasaan menentukan keinginan pada setiap hal itulah yang menjadi penyebab datangnya kekecewaan. Karena kita selalu beranggapan bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan kehendak kita. Dan sudah kita pahami sendiri bahwa kekecewaan tersebut memiliki turunan pada hal-hal problematis lainnya.
Kekecewaan tentu lekat maknanya dengan ketidakmampuan menerima keadaan. Dalam Islam sendiri sebenarnya sudah dibekali “alat” untuk mengolah kekecewaan tersebut. Sedari kecil, kita sudah diajarkan bersyukur terhadap apapun yang kita alami. Namun semakin lumrahnya ucapan “Alhamdulillah” di telinga kita, tidak membuat orang-orang selesai dengan “kekecewaannya”. Semakin kesini ucapan “Alhamdulillah” sudah semakin kehilangan rasa maknawinya. Hari ini, orang-orang menggunakan ucapan Alhamdulillah sebatas untuk mensyukuri hal-hal yang sesuai dengan keinginan pribadi mereka. Dan kadang nihil juga terhadap pemaknaan rasa syukurnya. Padahal, di setiap hal yang kita tidak inginkan sekalipun, kita juga selayaknya tetap menyandarkan pujian pada Allah Swt karena memilihkan keterjadian hal tersebut pada diri kita — walaupun pada saat itu kita belum memahami sisi baiknya untuk diri kita.
Kemampuan untuk mensyukuri dan menerima hal-hal yang tidak kita harapkan, menurut saya menjadi suatu “karomah” tersendiri di masa kini. Sebagaimana dengan karomah-karomah yang lainnya, kita diberi kelebihan yang tidak semua orang dapat memilikinya. Dengan hal tersebut, kita menjadi memiliki “ruang yang lebih luas” dibandingkan orang lain hanya dengan mengubah cara pandang kita terhadap keterjadian. Kita bisa lebih tenang, dan merasa aman dalam menerima takdir apapun karena memahami konsep “Alhamdulillah”.
Dalam ucapan Alhamdulillah, terkandung segala pujian kita sebagai makhluk kepada Allah Swt. Segala pujian kita curahkan kehadirat Allah Swt atas segala keputusan-Nya yang terjadi pada diri kita. Atas sehat, sakit, rezeki, musibah, senang, susah yang Allah Swt anugerahkan pada masing-masing kita. Kita bersyukur atas limpahan nikmat yang sepertinya sangat tidak sepadan banyaknya dengan kelakuan kita. Dan juga telah diberikan cobaan dan ujian yang masih mampu untuk kita lewati.
Dunia yang semakin cepat dan sering melupakan jeda terkadang membuat kita tak acuh terhadap cuilan-cuilan yang sebenarnya penting untuk kita pelajari. Hal-hal sepele masa kecil seperti pertanyaan cita-cita dan pembiasaan untuk bersyukur ternyata sangat relevan untuk masalah kita hari-hari ini.