CakNun.com

Circularitas Innaalillaah

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit
Image by Bessi from Pixabay

Setelah shalat Maghrib, setiap hari Sabtu malam Ahad, anak-anak di kampung saya berkumpul di teras rumah. Jenjang pendidikan mereka beragam, mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah lanjutan. Inisiatif berkumpul ini spontan. Acaranya pun sederhana: dibaan, sholawatan, lalu ngobrol bareng.

Yang diobrolkan tema sehari-hari yang dialami anak-anak. Misalnya, bagaimana menyikapi game online yang bukan saja merampas waktu, tetapi merenggut hampir semua kesempatan bersosialisasi secara manusiawi antar teman. Bahkan perilaku yang nekat meminta (paksa) uang untuk membeli topup game online menjadi kebiasaan yang “lumrah” di kalangan mereka yang kecanduan.

Kita tidak bisa mengandalkan institusi pendidikan formal seperti sekolah untuk jangankan mengatasi akibat negatif game online. Mengentaskan pendidikan dari lingkaran setan atas rendahnya kompetensi guru, misalnya, regulasi dan kebijakan pendidikan malah terjebak pada dilema “E, Dayohe Teka….”

Dari kegiatan rutin Sabtu malam Ahad terungkap problematik pendidikan yang pelik. Satu di antaranya adalah anak-anak gagap menyampaikan isi pikiran. Ada yang malu-malu, tidak percaya diri, atau khawatir ditertawakan teman.

Benang merah dari problem pendidikan itu di antaranya adalah nalar atau logika yang tidak jalan. Ada mental block yang mengakibatkan kekacauan nalar. Anak-anak itu tertekan psikisnya, terpenjara intelektualnya, terhijab rohaninya, meskipun mereka tampak baik-baik saja justru karena nilai berhitung mereka dapat angka 9 atau 10.

Buah pendidikan kita adalah lulusan yang ditandai oleh kemampuan berpikir disconnection, linier, enggan berbagi (silos), partial, analysis, isolation. “Penyakit” ini bisa disebabkan oleh salah satu atau keseluruhan di antara enam itu. Orang yang cara berpikirnya linier hampir dipastikan akan mengalami disconnection, enggan berbagi (silos), partial, analysis, isolation.

Bagaimana menyembuhkannya? Seperti formula “Tombo Ati” ada lima, kita bisa memasukinya melalui salah satu pintu. Silakan masuk pintu, misalnya, “Wong kang saleh kumpulana”, akan mengantarkan kita berjumpa dengan empat fakta berikutnya.

Demikian pula melatih cara berpikr melingkar (circular) sebagai antitesis dari linier akan membawa kita pada keterkaitan (interconnectedness), mau terbuka dan berbagi, utuh (wholes), perpaduan (synthesis), hubungan (relationship).

Kita mengalami bagaimana Maiyah sebagai Majelis Ilmu menawarkan cara berpikir yang melingkar, menemukan keterkaitan antara satu atau beberapa unsur dengan unsur lain yang menurut pandangan linier materialisme disikapi tidak sebagai hubungan, hingga kita pun terlatih menerapkan cara berpikir siklikal, sintesis, interconnectedness.

Kalau dalam wacana cara berpikir Barat enam hal yang saya sebutkan di atas dikenal sebagai system thinking. Di Maiyah fondasinya jauh lebih mengakar (ashluhaa tsaabitun) dan cabang-cabangnya menjulang ke langit (far’uhaa fissamaa’) karena “system thinking”-nya adalah “pohon tauhid”. Circularitas-nya tidak sebatas dan bertemu pada lingkaran dimensi horizontal antar unsur kehidupan dunia. Cirularitas yang berlaku di Maiyah adalah circularitas innaa lillaahi wa innnaa ilaihi rajiun, yang memuat dimensi atas bawah, hulu hilir, vertikal horizontal, dunia akhirat, Khaliq makhluq.

Oleh kesadaran yang dinaungi pohon tauhid, apa yang tidak interconnectedness? Apa yang tidak saling terkait? Rumput dengan perahu Nabi Nuh? Game online dengan Kapak Ibrahim? Wedang jahe dengan malaikat Raqib Atid? Atau adakah pengajian yang menampung jamaahnya menjelaskan cara nggrenda yang benar kemudian ditemukan pula interconnectedness-nya dengan penghikmahan yang bisa dipetik oleh siapa saja yang menghendakinya?

Adakah relathionships yang keindahannya sebanding dengan spirit Al-Mutahabbuuna fillah, persaudaraan abadi yang khaalidiina fiihaa abadaa? Bukan sekadar bersaudara karena menghasilkan keuntungan materi, janji promosi jabatan, investasi sosial-agama menjelang Pilkada, lalu tidak bersaudara, tidak setia, tidak ngajeni, habis manis sepah dibuang karena tidak ada keuntungan pribadi, keuntungan lembaga, keuntungan organisasi yang bisa dihisap.

Pada konteks kesadaran tauhid, yaqin, haqqul yaqin, Maiyah adalah bangunan peradaban, diakui atau tidak, diapresiasi atau disepelekan, dijunjung atau dicampakkan, meskipun atas semua perlakuan itu pasti berlaku hukum Allah: faman ya’mal mistqaala dzarratin khairan yarah, wa man ya’mal mistqaala dzarratin syarran yarah, ketika Maiyah menjadi cahaya bagi senjakala peradaban masa kini. Padahal yang saya tulis ini baru setetes dari sudut pandang saya yang sempit tentang samudra Maiyah.

Maka, kepada anak-anak yang berkumpul setiap hari Sabtu malam Ahad di teras rumah, dibuka lebar-lebar pintu pengayoman sambil latihan bersama berpikir circular, interconnectedness, synthesis, relationship, seraya memupuk kembali “pohon tauhid”, sesuai taraf kemampuan usia mereka.

Rutinan malam Ahad bersama anak-anak kampung sama sekali tidak besar dan sangat tidak mentereng; kecil dan sederhana memang.

Ikhtiar kecil yang terselip di antara gegap gempita labelling pendidikan serba Islam itu semoga menjadi jariyah — yang berkat Kasih Sayang-Nya — Allah mengampuni dosa-dosa saya karena pada rentang waktu tertentu pernah terlibat secara intens mengonsep sekaligus membranding pendidikan yang kontra produktif terhadap kesuburan tanduran “pohon tauhid” masa depan anak-anak.

Lainnya

Topik