CakNun.com

Cakra Manggilingan

Triyono Guntur
Waktu baca ± 6 menit
Photo by Nick Fewings on Unsplash

Cakra manggilingan adalah ilmu Jawa yang mempelajari siklus hidup manusia. Cakra bisa diartikan seperti roda atau cakram, sedangkan manggilingan mengandung arti yang berputar. Artinya siklus hidup manusia memang seperti roda yang berputar, kadang ada di atas, kadang ada di bawah. Kadang bahagia, kadang menderita, kadang punya uang banyak, kadang tidak punya apa-apa, dan beribu contoh lainnya.

Hidup manusia tidak bisa lurus-lurus saja. Ibarat sebuah jalan ia juga ada belokan, tanjakan, dan turunan. Seakan memang sudah sunnatullah bahwa kehidupan manusia mengandung unsur dualitas seperti yang disebutkan di atas. Hidup manusia banyak sekali pasang surutnya. Ada pergantian siang-malam-nya sendiri. Maka dari itu, perlu kiranya sikap mental dan kuda-kuda dalam memanajemeni peristiwa demi peristiwa yang saat ini kita alami — atau nanti yang akan terjadi. Pelajaran dari kisah-kisah masa lalu dapat menjadi rujukan. Baik dari pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain. Dan dalam perkara ini sudah diperingatkan berkali-kali. Mengapa kamu tidak melakukan tadabbur (merenung secara mendalam)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran dari kaum terdahulu? Mengapa kamu tidak memikirkan hari depan akan seperti apa?

Bukankah selalu ada perulangan waktu dalam siklus-siklus peradaban manusia? Misalnya siklus 7 tahunan, 50 tahunan, atau 100 tahunan. Dalam siklus tersebut seperti mengulang kejadian-kejadian yang pernah terjadi di masa lampau. Mulai dari bencana alam, wabah penyakit, perubahan kebudayaan, dan kecenderungan-kecenderungan manusia. Kebudayaan, teknologi, kecanggihan ilmu pengetahuan memang meningkat, tapi yang kita hadapi bukankah tetap manusia juga? Mungkin hal-hal tadi akan mempengaruhi sosiologi masyarakat tapi tetap saja yang jadi subjek perubahan adalah manusianya sendiri. Manusia adalah man behind the gun dalam proses sejarah. Meskipun kita juga tidak bisa menafikan faktor-faktor dari the invisible hand (Tuhan). Maka menemukan metode untuk memahami kecenderungan-kecenderungan manusia sangat penting guna mengetahui kecendrungan zaman.

Ada tiga periode masa yang kita ketahui: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Orang yang menguasai ilmu cakra manggilingan bisa mengatur rencana hidup masa kini berbekal dari pengalaman masa lalu dan nanti akan terus dikembangkan guna menghadapi tantangan dan perubahan di masa depan. Pemetaan ini membantunya menjalani kehidupan dengan efektif dan efisien. Ia tidak mudah patah arang apabila rencana yang telah disusun tiba-tiba berubah atau bahkan tidak terlaksana. Ia meyakini bahwa semuanya berada dalam ketentuan Tuhan. Kalau meminjam terminologi dalam ilmu kalam, kita bukannya orang yang berpaham Jabbariyah — paham yang berpasrah terhadap segala sesuatu yang menyangkut kehidupan kita, tapi kita juga bukan orang yang berpaham Qadariyah — yaitu paham yang meyakini bahwa segala sesuatu dalam kehidupan tergantung usaha kita untuk merubahnya. Barangkali yang lebih pas dan sesuai adalah kita ini berpaham Asy’ariah, kita tidak dianjurkan untuk berpangku tangan dalam menyikapi nasib kita di dunia ini. Kita diwajibkan untuk berusaha. Namun yang perlu diperhatikan — kita memang bisa berusaha tapi yakinlah usaha kita itu bukan penyebab rencana atau tujuan kita terlaksana — yang mewujudkan semua semata-mata adalah Tuhan. Juga diterangkan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang mengubahnya. Tugas manusia adalah dalam ranah ikhtiar (berusaha semaksimal mungkin), masalah hasil berada dalam wewenang Tuhan. Mau mewujudkan keinginan kita cepat atau lambat, atau bahkan tidak sama sekali.

Waktu itu Ajaib

Kalau berbicara tentang waktu ada berbagai macam tesis. Contohnya saja apa benar yang dikatakan masa depan itu ada? Ada yang mengatakan bahwa masa depan itu tidak pernah ada. Karena kita belum pernah sampai padanya. Hanya ada masa lalu dan masa kini yang sudah benar-benar kita lalui dan jalani. Masa depan adalah suatu masa yang imajiner. Ia ada (terkatakan) tapi tidak pernah kita jalani. Memang ada orang yang sudah pernah meloncati waktu sebelum waktu itu terhitung? Gamblangnya apakah ada orang yang berada di luar kerangka waktu? Maka waktu pun sebenarnya hal yang ajaib. Ia juga kadang bersifat psikologis. Saat kita banyak aktivitas waktu berjalan dengan cepat tapi kalau kita satu hari saja tidak ngapa-ngapain rasanya waktu berjalan lebih lama. Ada lagi, jika kamu bepergian ke suatu tempat pertama kali. Waktu yang dibutuhkan saat berangkat terasa lebih lama daripada saat pulang. Kalau kata orang Jawa karena saat berangkat kamu ditanyai dulu oleh pohon-pohon di sepanjang perjalanan sedangkan saat pulang langsung saja, kecuali kalau mengambil jalan yang berbeda. Ada-ada saja alasannya. Orang Jawa memang penuh dengan hal-hal takhayul seperti ini (guyon, ojo nesu!).

Belum lagi pembahasan dibawa ke tingkat yang lebih filosofis. Apakah waktu itu bermula atau tidak bermula. Kalau waktu tidak bermula berarti ada sesuatu yang menyaingi atau menyamai Sang Pencipta — dan itu jelas tidak mungkin. Tapi jika waktu itu bermula berarti ada masa kosong sebelum adanya waktu. Dan untuk menjadi ada waktu perlu waktu juga. Dari yang semula tidak ada waktu menjadi ada waktu juga butuh waktu. Dan di situlah paradoks tentang kebermulaan waktu yang menjadi perdebatan filosofis tentang waktu yang membingungkan. Sudahlah jangan terlalu pusing memikirkan persoalan ini, biar para filosof yang berkutat dengannya. Kita cukup fokus cari nafkah yang halal buat keluarga (hehehe).

Bayangkan saja barang sejenak bisa lepas dari cengkeraman waktu. Akan seperti apa jalannya kehidupan ini. Apa mungkin kita akan mematung, freeze, atau akan hancur? Dalam dunia fisika relativistik, Albert Einstein menjelaskan adanya dilatasi waktu. Waktu yang bisa mengkerut akibat adanya lengkungan ruang. Jika kita bergerak dalam kecepatan cahaya, waktu akan melambat. Bahkan ini menjadi sebuah hipotesis anekdotal. Jika ada dua saudara kembar yang satu tinggal di bumi dan yang satu lagi melakukan perjalanan ke ruang angkasa, ke planet Jupiter misalnya. Maka setelah pulang ke bumi, umurnya akan jauh lebih muda beberapa tahun dibandingkan saudaranya yang tetap tinggal di bumi. Hal ini terkenal dengan nama paradoks kembar. Waktu akan melambat jika kita bergerak mendekati kecepatan cahaya. Karena yang menjadi acuan waktu kita di bumi adalah perputaran bumi terhadap matahari. Maka jika kita bisa lebih cepat dari waktu edar bumi terhadap matahari umur kita akan jauh lebih muda. Akibat adanya lengkungan massa maka waktu juga berbeda-beda tiap planet.

Waktu Dalam Infinte Game Theory

Konsep waktu ini selain diambilkan contoh dalam dunia sains — biar lebih jelas akan dihubungkan dengan konsep game theory. Ada istilah finite game dan infinite game (Simon Sinek). Ada permainan yang aturan, jumlah pemain, dan batas waktunya jelas. Ada juga sebuah permainan yang aturannya berubah-ubah menyesuaikan konteks zaman, batas waktunya juga tidak terhingga. Sehingga tidak ada namanya pemenang. Dalam infinite game waktu menjadi horizon yang tak terhingga yang menantang manusia untuk bergelut dengannya. Misalnya saja apa yang dikatakan orang sukses dalam kehidupan? Apakah yang punya kekayaan melimpah, semua keinginannya bisa terpenuhi? Semua itu hanya indikator sukses, tapi yang dikatakan sukses sama sekali tidak bisa dijelaskan. Karena ini menyangkut mental dan bagaimana seseorang berpikir. Pada kenyataannya bisa jadi ada orang kaya yang “miskin”, ada juga orang miskin yang “kaya”. Sedemikian banyak parameter untuk mengukur kesuksesan.

Keinginan untuk selalu mencari kebaruan-kebaruan secara metodologis barangkali bisa menjelaskan tentang etos infinite game. Maka hidupnya sangat deterministik, ingin mencapai sebuah level hidup yang bukan hanya mapan secara ekonomi tapi juga kedalaman spiritual. Seorang yang paham tentang infinite game bisa menghitung bahwa hidup bukan hanya hari ini saja tapi juga ada hari esok bahkan juga ada yang namanya akhirat.

Maka Nabi Muhammad pernah bersabda perihal waktu: “ingat lima perkara sebelum lima perkara”, yakni: (1) pergunakan masa mudamu sebelum tiba masa tuamu, (2) pergunakan waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) pergunakan waktu kayamu sebelum tiba waktu miskinmu, (4) pergunakan waktu luangmu sebelum tiba waktu sempitmu, dan (5) pergunakan waktu hidupmu sebelum tiba waktu matimu. Dialektikanlah kesadaran hidupmu agar tidak terlalu jauh dari fitrah manusia.

Jika ada sesuatu di dunia yang sangat letal, tentu jawabannya adalah waktu. Waktu sangat kokoh, ia tetap “diam” di tengah perubahan zaman. Zaman boleh berubah tapi waktu selalu hadir membungkus zaman tersebut. Karena waktu adalah perubahan itu sendiri. Karena dari zaman Nabi Adam sampai sekarang tidak pernah waktu berjalan mundur. Ia menjadi saksi dari setiap perjalanan hidup manusia. Dari sejak kecil sampai akhirnya meninggal. Bagaimana seorang kiai yang taat beribadah, punya santri banyak di akhir hayat tergelincir berbuat maksiat karena tergoda oleh perempuan. Bisa dibayangkan apa kisah selanjutnya. Semua amal baiknya selama ini disapu banjir kesalahan di ujung hidupnya. Sampai akhirnya kiai tersebut mengalami su’ul khotimah. Ujian perempuan memang berat dan akan menjadi pintu bagi dosa-dosa yang lainnya. Pantas saja dalam Alquran sudah diwanti-wanti jangan kau dekati zina. Bahkan mendekat saja ke perilaku yang mengundang syahwat pun dilarang. Apalagi sampai benar-benar melakukan zina. Ayat tersebut diturunkan karena paham akan psikologi manusia — yang begitu rentan akan godaan perempuan. Lain kisah dengan seorang pelacur yang karena ada sebudi kebaikan dengan mengambilkan minum anjing yang kehausan- sampai akhirnya ia mendapati husnul khotimah. Begitu tidak pastinya akhir kehidupan manusia.

Itulah sebabnya tatkala aku melihat keburukan aku tidak berani menilai ataupun tidak berhak menghakimi orang lain. Karena yang lebih penting bagaimana akhir hidupnya kelak. Terlebih lagi masalah keimanan adalah hal privat di mana si empunya sendiri (jika memang ia benar-benar beriman) dan Tuhan yang tahu. Oleh sebab itu aku selalu takut membicarakan yang namanya masalah keimanan, itu wilayah privasi masing-masing orang dengan Tuhan. Sebab persoalan hidayah ada di tangan Tuhan. “Barangsiapa diberi petunjuk oleh Tuhan maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh Tuhan maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk”.

Penutup

Masalah waktu dan membahasnya memberikan pemahaman ternyata waktu juga hal yang ajaib. Dari hal waktu bersifat psikologis, relativistik, dan juga waktu yang abadi. Waktu selalu menjadi teman perjalanan insan manusia. Menggulirkan putaran nasib setiap insan dalam pergulatan dan peristiwa. Pada akhirnya manusia akan kalah melawan waktu (dalam kehidupan dunia) namun tidak untuk kerangka akhirat karena manusia adalah makhluk “abadi”.

Kisah-kisah dari orang-orang masa lalu harusnya menjadi bahan permenungan bagi kita yang hidup sesudahnya. Bagaimana Tuhan membolak-balikkan hati manusia. Orang yang baik di akhir hayatnya berubah menjadi orang yang buruk, sementara ada orang yang buruk di akhir hayat menjadi orang yang baik. Itulah sebabnya kita dianjurkan untuk selalu minta diberikan taufik dan hidayah dalam menempuh jalan yang lurus. Keimanan memang sesuatu yang sangat rahasia. Maka Biarkanlah Tuhan yang menilai kehidupan manusia. Kita, sesama manusia sama sekali tidak punya hak untuk menilai. Bukankah kita sama-sama peserta yang ikut tes ujian.

Lainnya

Exit mobile version