CakNun.com

Cak Nun Terus Mencoba Budaya Tanding

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 5 menit
Tuna Karya, Jilbab and Cow-boy Hat: Youth in Suharto’s Indonesia as Reflected in the Works of Remy Sylado and Emha Ainun Nadjib (2006)

Pemakaian jilbab yang tengah mengarusutama hari ini memperlihatkan suatu tanda. Dua dasawarsa belakangan jilbab dibebani makna sebagai identitas kemuslimahan seseorang. Kualitas keislaman seseorang sekilas direpresentasikan olehnya. Tak berjilbab, dengan kata lain, dianggap bukan bagian dari umat Islam.

Industri fesyen melihat kecenderungan demikian sebagai pangsa pasar menggiurkan. Mode jilbab diproduksi secara massal karena permintaan konsumen semakin melonjak. Iklan turut mengambil bagian dengan memfigurkan perempuan muslimah yang diklaim ideal, shalehah, serta inspiratif. Kontes jilbab lewat wacana “putri muslimah” diselenggarakan marak di setiap wilayah. Mereka bukan hanya merayakan identitas kemuslimahan, melainkan juga bagian inheren dari apa yang disebut sebagai industri mode pakaian.

Kecenderungan seremonial semacam itu melupakan momentum sejarah tiga dekade lebih sebelumnya. Pemakaian jilbab direpresi oleh kekuasaan, identitas keislaman utamanya di ruang publik dilucuti. Pada konteks itulah gerakan Lautan Jilbab yang disodorkan Cak Nun menjadi signifikan. Gerakan ini melawan kesewenangan penguasa yang secara simbolis diartikulasikan melalui pertunjukan teatrikal. Lautan Jilbab yang semula berumah di dalam sajak kemudian dipentaskan kolosal.

Sejarah mencatat puluhan ribu orang mengerubungi tempat pementasan. Di balik angka sebanyak itu sesungguhnya opini, kegelisahan, dan kegeraman berfokus pada satu titik. Mereka berkerumun dengan dipertautkan oleh spirit perlawanan. Suatu resistensi yang cenderung mengarah secara kultural, alih-alih politik praktis lewat skema kepartaian. Meskipun demikian, gerakan Lautan Jilbab dapat dikatakan sebagai gerakan kultural yang berkesadaran politis. Politik perlawanan terhadap pelarangan jilbab.

Savitri Scherer menulis pengamatan tersebut dalam artikel ilmiahnya bertajuk Tuna Karya, Jilbab and Cow-boy Hat: Youth in Suharto’s Indonesia as Reflected in the Works of Remy Sylado and Emha Ainun Nadjib (2006). Savitri menilai Cak Nun merupakan figur yang menyadari betul keanekaragaman audiens di Indonesia. Itulah sebabnya, gerakan Lautan Jilbab menggunakan sejumlah medium perlawanan yang jamak orang akan merasa tertarik. Setidaknya kegelisahan mereka termediatisasi ke dalam ruang kultural tertentu.

Kesadaran akan masyarakat yang multi “etnis” itulah yang Cak Nun pakai dalam langgam kesenian maupun kesastraannya. Pertama, gerakan Lautan Jilbab menyinergikan anasir puisi dan teater. Penggabungan itu memiliki riwayat yang relatif panjang karena telah dimulai semenjak pertengahan 70-an. Kedua, puisi dan teater yang dipakai sebagai medium “budaya tanding” Cak Nun diperkuat oleh retorikanya yang mengagumkan. Gaya bicara Cak Nun bukan sekadar bernas dan deklamatif, melainkan juga kritis serta reflektif.

Langgam itu dimungkinkan karena pertama dan terutama Cak Nun muda adalah seorang penulis puisi yang amat produktif. Kepenyairan Cak Nun tak bersifat eksklusif dalam pengertian bersajak “anggur dan rembulan” sebagaimana kritik Rendra kepada penyair salon. Cak Nun tak ternah tidak berada di dalam situasi komunalitas. Inilah yang menambah modal sosial Cak Nun dalam diskursus kesastraan Yogyakarta era 70-an dan 80-an.

Sekalipun latar belakang Cak Nun yang sempat mengenyam bangku pesantren dan jamak mewacanakan tema keislaman, idiosinkrasi karya-karyanya tidak lantas dikategorikan sebagai sastra pesantren ataupun sastra sufistik. Karya-karyanya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, namun keduanya tidak berdiri sendiri, tetapi saling sinambung sekaligus campuran. Karya-karya Cak Nun karenanya merupakan bagian dari sastra Indonesia.

Ada satu pendapat yang menarik dari paparan Savitri. Di dalam karya maupun artikulasi estetiknya terkandung anasir Islam dan Jawa. Dua unsur tersebut diwakilkan oleh pemilihan nama KiaiKanjeng. Terlepas sejarah penamaannya yang antara lain merupakan keberlanjutan dari teater Pak Kanjeng, tafsiran Savitri menarik disinggung sekilas. Kiai adalah “the honorific title for a santri religious teacher or preacher, kanjeng is a term of address reserved traditionally for the top male mobility in Javanese society” (lihat, hlm. 201).

Selanjutnya, Savitri menambahkan, “However by the 1970s the term kanjeng was pejorative when used by the youth to refer to an older person but not from the highest rank in the priyayi hierarchy.” Di samping penyebutan “Kanjeng” cenderung inheren dalam historisitas yang spesifik, sehingga melahirkan makna peyoratif, kata tersebut lekat akan nuansa feodalisme. Namun, persoalannya kemudian, KiaiKanjeng tak memproyeksikan kesenian Jawa dalam pengertian “pakem” tapi “carangan” melalui komposisi gamelan yang kontras berbeda dengan pertunjukan wayang.

Apa makna gamelan KiaiKanjeng yang bersifat carangan di awal 90-an? Banyak publikasi penelitian yang bersifat kritis terhadap konsepsi maupun konstruksi kebudayaan Jawa yang dipakai sebagai basis kekuatan kultural rezim. Tidak ada tahun tanpa perayaan wayang, baik diselenggarakan di kementerian maupun di kelurahan. Selebrasi wayang yang dinilai sebagai “budaya tinggi” ini memperkuat kecenderungan kultural yang kemudian dipakemkan. Pada aras itulah KiaiKanjeng mengartikulasikan kecenderungan “carangan” di tengah pembangunan kebudayaan “pakem” di Indonesia.

Esensialisasi atas kebudayaan Jawa tersebut dibarengi dengan pengeksklusian terhadap seni yang apolitis. Dengan kata lain, kebudayaan dikondisikan sedemikian rupa agar turut serta membangun bangsa. Menjadi semacam agenda pencerdasan kehidupan bangsa. Kecenderungan ini hampir serupa seperti masa Soekarno. Kebudayaan tidak boleh kontra-revolusi. Sebaliknya, pada masa Soeharto kebudayaan harus memuat agenda pembangunan.

Tuna Karya, Jilbab and Cow-boy Hat: Youth in Suharto’s Indonesia as Reflected in the Works of Remy Sylado and Emha Ainun Nadjib (2006)

KiaiKanjeng menawarkan kesenian yang berkesadaran politis. Artinya, ia tak boleh hanya berhenti pada hiburan atau tontonan. Kesenian yang ditampilkan KiaiKanjeng, kendati juga menyinergikan unsur kultural apa pun, juga mengajak audiens untuk kritis terhadap kekuasaan. Kritisisme yang mewujud ini bukan sekadar terlihat dari komposisi gamelan, melainkan juga tema-tema tertentu yang diusung bersama Cak Nun semenjak era 90-an.

Sandaran “carangan” yang dipakai KiaiKanjeng di satu pihak secara simbolis berseberangan dengan kesenian “pakem” lain yang waktu itu dirayakan besar-besaran. Namun, di pihak lain KiaiKanjeng yang menyodorkan alternatif bentuk kesenian semacam itu bukan berarti tanpa konsekuensi. Savitri mencatat bagaimana Subagio Sastrowardoyo mengkritik penggunaan gamelan yang tak sesuai pakem sebagai bentuk pertunjukan kultural “pop”. Pandangan Subagio ini didasarkan pula oleh kritiknya terhadap pembacaan puisi dengan iringan gamelan: alih-alih menunjukkan acara “sastra yang serius” tapi malah memperlihatkan pertunjukan populer.

Komentar Subagio mewakili betapa masih umumnya pandangan seseorang terhadap kesenian maupun kesastraan secara dikotomis. Pandangan yang lazimnya terjadi di era manakala polarisasi antara kebudayaan tinggi dan rendah masih bercokol kuat. Bahkan kecenderungan demikian masih mengakik sampai sekarang. Cak Nun dan KiaiKanjeng sepertinya hendak melampaui bentuk artistik.

Ketimbang berjibaku pada bentuk atau format kesenian, hal penting lain bagi KiaiKanjeng adalah memosisikan kesenian sebagai medium yang mampu menjangkau audiens seluas mungkin. Walaupun, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, format kesenian yang dipilih KiaiKanjeng berani dengan sifat kecarangannya agar nilai yang disampaikan dapat berterima semua kalangan, khususnya segmen audiens di akar rumput. Artikulasi kultural semacam inilah yang melatarbelakangi gerakan Lautan Jilbab.

Gerakan yang sekilas bernafaskan Islam ini pada awal perjalanan tak sepenuhnya diterima kelompok muslim sendiri. Seperti dicatat Savitri, “However in recommending the jilbab Emha was not accepted as a cultural guru by the mainstream Muslim community. In 1989 Emha was accused by Muhammadiyah, a modernist Islamic youth organisation, of being a heretic” (hlm. 203). Muhammadiyah menganggap jalan inkonvensional Cak Nun sebagai akar permasalahan. Organisasi terbesar di Indonesia ini menilai pemakaian istilah “Cahaya Maha Cahaya” dalam salah satu karyanya dianggap berpotensi “mempromosikan” dualitas ketuhanan.

Cak Nun praktis menuai larangan ataupun kritikan. Setelah didukung antara lain Umar Kayam dan Nurcholish Madjid, larangan itu segera dibatalkan, namun segera mendapatkan pelarangan lain. Bukan dari kalangan umat Islam, melainkan pemerintah daerah Jawa Tengah. Pentas Pak Kanjeng dicekal di beberapa tempat karena mengandung kritikan pedas terhadap rezim. Dinamika ini berlangsung sampai beberapa tahun menjelang pertengahan 90-an.

Di luar peristiwa penerimaan maupun pencekalan yang diterima Cak Nun, rentetan itu bermakna bahwa apa yang ia tandaskan dalam kesenian serta kesastraannya adalah upaya budaya tanding. Upaya ini dilakukan dengan berbagai cara tapi kesenian dan kesastraan tetap menjadi medium perlawanan. Budaya tanding tentu menuai risiko serta konsekuensi logis tertentu. Namun, risiko dan konsekuensi yang diterima Cak Nun, menurut istilah Savitri, diupayakan dalam rangka “…align Indonesian youth so they can work together in harmony” (hlm. 209).

Exit mobile version