Cak Nun, Syaikh Kamba, dan Ibnu Arabi
Sekitar tahun 2003 atau 2004, tak lama setelah Cak Nun dan KiaiKanjeng kembali dari Mesir, di malam Mocopat Syafaat hadirlah seorang pria tampan, berambut nyaris putih, dan wajahnya nampak teduh. Pria setengah baya itu duduk di panggung, di samping Cak Nun. Setelah diperkenalkan oleh Cak Nun, tahulah kita semua bahwa pria itu bernama Muhammad Nursamad Kamba, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di Kairo, Mesir yang lahir di Pinrang, Sulawesi Selatan. Dan — masih dalam perkenalan itu — Beliau disebut sebagai mursyid salah satu tarekat sufi, di Mesir. Karena itu, Beliau kemudian dipanggil Syaikh. Lengkapnya, Syaikh Nursamad Kamba.
Setelah Cak Nun menyampaikan beberapa hal, pada akhirnya, tiba giliran Syaikh Kamba yang berbicara. Sejak mula-mula, cara bicara Syaikh Kamba sangat hati-hati, alurnya terkesan lambat, disertai akurasi pemilihan kata yang tinggi, dan isi materi pembicaraannya padat serta intens. Mendengar uraian Syaikh Kamba, kadangkala akan membuat dada terasa sesak. Bahkan mual. Karena intensitas isinya yang berat, merangkum banyak pengetahuan dan: imaji.
Hal itu menandakan bahwa yang bersangkutan memiliki banyak pertimbangan sudut pandang, pernah dan terus mengarungi keluasan wawasan, serta menyelami kedalaman ilmu. Sehingga, ketika menyampaikan sesuatu, maknanya menjadi jelas, bersih, dan presisi. Demikian pula, ketika Beliau menyampaikan satu “rahasia” tentang Cak Nun. Kalimat Beliau saat itu lebih kurang seperti ini, “(Awalnya), Saya curiga, Cak Nun ini adalah murid dari Ibnu Arabi.”
Mungkin saja, akan banyak orang yang mendadak terbelalak, tak percaya. Atau sebaliknya, terpana. Bagaimana bisa, Cak Nun menjadi murid dari seorang yang dianggap Guru Besar Ruhani yang telah meninggal lebih dari 700 tahun sebelumnya? Statemen Syaikh Kamba itu akan dengan mudah dituding sebagai pernyataan yang anti-rasional. Bahkan, anti-intelektual.
Tapi, bukankah yang menyatakan itu seorang Doktor dalam bidang filsafat Islam. Lulusan Al Azhar asy syarif. Yang telah belajar di sana selama 14 tahun. Fakta tersebut tentu saja membuktikan bahwa Syaikh Kamba telah lolos dalam menjelajahi labirin metodologi. Sehingga, pernyataan Syaikh Kamba yang demikian tidak bisa dianggap sebagai kaleng-kaleng belaka.
Mungkin, kita harus merujuk pada kenyataan bahwa setuju atau tidak setuju, begitulah dunia metafisika dikonstruksikan. Pertemuan-pertemuan dan kehadiran tidak harus berwujud dalam bentuk materi yang kasat mata. Tapi, bisa terjadi dalam berbagai cara yang — menurut metodologi ilmu yang menuntut pembuktian faktual — tidak akan pernah dipercaya.
Ibnu Arabi — atau disebut dengan Muhyidin Ibnu Arabi, menghidupkan agama — adalah seorang Guru Ruhani yang dianggap salah satu yang terbesar dalam sejarah Islam. Sehingga, dijuluki Syaikh al Akbar. Ibnu Arabi lahir di Murcia, yang tim sepakbolanya hanya sesekali saja mampir ngombe sejenak di Liga Primera itu. Tapi tumbuh besar di Sevilla. Keduanya di wilayah Andalusia — sekarang wilayah otonomi di Spanyol Selatan — tahun 1165. Ibnu Arabi dianggap sebagai seorang yang menghidupkan kembali kehidupan Islam yang kala itu cenderung kaku dan kering.
Kendati, sebagian ahli berpendapat bahwa gagasan-gagasan Ibnu Arabi –paling tidak sebagian atau doktrin utamanya- dipengaruhi oleh konsep gnostik dan Manikea. Ibnu Arabi -yang hidup tak lama setelah keberhasilan Al Ghazali memberikan daya hidup pada ortodoksi sekaligus pada sufisme- mengkristalkan semangat intuisi mistik, tempat persembunyian terbaik dari kritik kaum ortodoks, yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Bahkan, Ibn ‘Arabi mengklaim diri sebagai “wali terakhir”.
Di sisi lain, Ibnu Arabi disebut-sebut memiliki pemahaman Islam yang komprehensif, dari yang literal hingga maknanya yang paling dalam. Bukan hanya pemahaman dari bahasa yang maknanya dibatasi oleh kesepakatan budaya. Tapi juga pemahaman maknawi yang diperoleh, atau diberikan oleh Allah melalui tadabbur. Kiranya, dipilih oleh Ibnu Arabi sebagai murid -kalau benar- tentu sebuah pengalaman yang tidak banyak orang akan mendapatkannya.
Tapi, benarkah Cak Nun itu “murid ruhani” Ibnu Arabi? Jika benar, bagaimana proses itu bisa terjadi? Jika tidak benar, mengapa Syaikh Kamba sampai menduga hal itu terjadi? Kita bisa melacak seperti apa pemikiran dan penghayatan Ibnu Arabi dalam ber-Islam. Setidaknya, nyicil melalui 3 pintu saja. Bagaimana pandangan Ibnu Arabi tentang penciptaan, tentang hubungan manusia dan Allah, serta bagaimana alam semesta multi-jagad raya ini dikelola.
Penciptaan Terus-Menerus
Salah satu teori ilmu yang mempelajari alam semesta menyatakan bahwa jagad raya ini, yang terdiri atas kumpulan sak embuh galaksi, tidak hanya terdiri atas satu jagad raya. Tapi, ada kemungkinan multi-jagad raya atau sak embuh jagad raya. Yang terus mengembang, berekspansi, sampai batas yang tak terhingga. Teori ini “seolah” — sekali lagi “hanya seolah” karena Tuhan tidak membutuhkan konfirmasi-mengkonfirmasi pernyataan bahwa Tuhan tidak terbatas. Sebab, jika multi-jagad raya stagnan dalam keadaan status quo sejak diciptakan mula-mula, maka itu sama artinya membuat batas atas potensi kekuasaan ruang dan waktu Tuhan. Padahal, kekuasaan Tuhan tidak berbatas ruang dan waktu. Tak terhingga.
Ibnu Arabi berpandangan bahwa alam semesta ini, diciptakan oleh Allah mula-mula adalah Nur Muhammad (Cahaya Muhammad) dari Cahaya-Nya Sendiri. Cahaya Muhammad dianggap sebagai benih alam semesta yang kemudian ditumbuhkan oleh Allah menjadi alam semesta yang tak terkira ini. Lengkap dengan segala isinya. Lengkap pula dengan segala potensinya. Baik itu potensi positif maupun potensi negatif. Dari dan karena Cahaya Pertama inilah juga, kelak Allah menciptakan manusia.
Pandangan inilah yang disebut sebagai pengaruh atau rembesan dari gnostik yang berkembang di dunia Kristen dan Manikea. Gnostik merupakan satu aliran yang menentang doktrin kekristenan. Gnostik meyakini bahwa pengetahuan-lah (gnosis) sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Ada aroma bahwa kekristenan berdiri pada titik anti-pengetahuan di sana. Sedangkan Manikea — yang berkembang dari Persia — pernah menjadi “agama” yang diterima luas di muka bumi dengan doktrin penciptaan dunia cahaya dan dunia kegelapan.
Ibnu ‘Arabi juga menyatakan bahwa Allah tidak pernah berhenti menciptakan (create). Hal ini berarti bahwa setiap saat, setiap seper sekian miliar detik, “Allah selalu dalam kesibukan” untuk terus-menerus menciptakan (re-create) alam semesta ini. Karena itu, tidak pernah ada kondisi yang sama. Karena setiap sepersekian miliar detik selalu terjadi perubahan. Benih (di re-create) menumbuh, buah (di re-create) mematang, kita (di re-create) menua. Dunia yang di re-create tidak sama dengan sepersekian miliar detik sebelumnya. Kita tidak pernah sama dengan sepersekian miliar detik yang lalu. Bumi selalu berputar. Alam semesta terus-menerus bergerak meluas, sampai entah. Tidak ada status quo. Karena waktu terus berjalan. Bagi Ibnu Arabi, perubahan adalah landasan realitas.
Lebih jauh, Ibnu Arabi berpandangan bahwa alam semesta ini timbul tenggelam, ber-ayun, antara eksis dan non-eksis: ada-kemudian tiada-kemudian ada-kemudian tiada-kemudian ada, dst. Karena, satu-satunya yang eksis, satu-satunya yang Ada, hanyalah Allah. Sementara alam semesta ini hanyalah pengungkapan, perwujudan, tajjali, ranah-domain dari kualitas-kualitas Allah.
Hubungan Tuhan dan Jagad Raya
Bagi Ibnu Arabi, keterkaitan dengan Tuhan adalah aspek yang paling esensial dari semua realitas kehidupan. Di zaman ini, kita menerjemahkan realitas kehidupan itu sebagai kehidupan manusia, kehidupan binatang, tumbuhan, virus, bakteri, aliran darah, oksigen, helium, bebatuan, gelombang cahaya, medan elektromagnet, meteor, planet, tata surya, galaksi, kumpulan galaksi, efek Casimir, cermin diri kita di banyak jagad raya yang lain, proton, pergerakan elektron, quark, jin, syetan, pikiran, khayalan, mimpi, kekuatan imajinasi, dst.
Realitas kehidupan yang kita tak pernah tahu batasnya itu, menurut Ibnu Arabi adalah manifestasi, atau tajjali, atau pengungkapan dari Nama-nama Allah yang sebagian diperkenalkan kepada manusian melalui Al-Qur’an. Dari nama-nama yang diperkenalkan itu, yang 99 jumlahnya, disebut dengan Asmaul Husna. Sebutan atau nama yang Indah, yang mencerminkan kualitas ke-Tuhan-an. Beberapa diantaranya adalah Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyanyang, dan Maha Pengampun.
Kualitas ke-Tuhan-an ini, menurut Ibnu Arabi, memerlukan wilayah atau ranah, untuk diimplementasikan. Allah menciptakan alam semesta ini sebagai ranah untuk mewujudkan kualitas ke-Tuhan-an itu. Bagaimana Allah akan menunjukkan Kekuasaan-Nya kalau tidak menciptakan alam semesta berserta isinya, lengkap dengan kebaikan dan “kejahatannya”. Dari isi alam semesta yang beranekaragam itu, Allah mengungkapkan bahwa Dia Maha Berkuasa, Maha Penyiksa, tapi bersama itu juga Maha Pengampun, Maha Welas Asih dan Maha Menyanyangi. Ibaratnya, kejahatan, korupsi, kemunafikan, dibiarkan ada oleh Allah untuk mengungkapkan bahwa Allah memiliki potensi kualitas Maha menyiksa, tapi bersama itu juga Maha Mengampuni.
Alam semesta dibangun dengan desain yang seimbang, untuk memungkinkan potensi-potensi yang menjadi esensi nama-nama Tuhan itu bisa mewujud. Pada titik inilah, ketika manusia memiliki sensitivitas untuk “melihat hadirnya” Allah dalam setiap hal yang dia pandang, setiap kondisi yang dia rasakan, dan dalam peristiwa-peristiwa yang dia alami, maka dia melihat “hadir”nya Allah. Sebab, pada dasarnya, setiap peristiwa di dunia ini, bahkan hingga sehelai daun yang jatuh, tidak lain adalah tajjali, pengungkapan diri Allah yang nyata bagi orang-orang yang menyadari. Allah hadir “bersama” setiap sesuatu.
Pengetahuan dan Pengalaman
Praktik-praktik ke-Islam-an yang kita jalani hari ini, diakui atau ditolak, adalah produk dari perjalanan sejarah. Dalam perjalanan sejarah itu, berkelindan antara pengalaman, pengetahuan, kekuasaan, kepentingan, juga kondisi sosial-antropologis.
Sepeninggal Baginda Nabi, ilmu tentang keIslaman mulai dibangun dan dirumuskan. Mula-mula adalah untuk menjawab bagaimana melakukan praktik-praktik Islam sepeninggal Rasulullah. Kemudian berkembang menjadi cabang-cabang ilmu keIslaman yang lain. Unsur primer ilmu pengetahuan adalah logika, rasionalitas.
Sementara, karakter utama ilmu adalah mengambil jarak. Agar apa yang dirumuskan menjadi objektif. Jalan yang ditempuh disediakan peta dan panduan. Sehingga, bisa dilihat, dipraktikkan, dan hasilnya dinikmati secara relatif sama oleh pelakunya.
Sementara di sisi lain mata uang itu adalah pengalaman: yang hadir, dialami, langsung, dan tidak berjarak. Karena dialami langsung, maka sifatnya personal. Kualitatif. Setiap pelaku bisa menikmati hasil yang berbeda. Jalan untuk mencapainya bersifat eksperimen.
Sufisme termasuk kelompok yang kedua. Kaum sufi membangun pemahaman, dan praktik-praktik ritual yang berbeda dari kaum ortodoks yang ketat dalam menjalankan praktik-praktik ibadah mahdhoh. Karena itu, sufisme awal dianggap sebagai bukan bagian dari Islam. Karena ortodoksi Islam dibangun melalui ilmu-ilmu pengetahuan, yang dimasa-masa awal Rosulullah wafat, juga masih belum menemukan bentuknya. Kendati dalam perjalanannya, ortodoksi Islam dirasakan kian kering spiritualitas. Karena itu, sufisme kemudian mendapat dukungan luas. Karena menawarkan konsep yang lebih “basah” dibandingkan dengan ortodoksi Islam yang dibangun tidak dengan “kehadiran” pengalaman.
Sampai pada sekian ratus tahun kemudian, ketika Al Ghazali dianggap berhasil merumuskan formula yang tidak hanya menyalakan spiritualitas pada ortodoksi Islam, tapi juga sekaligus menghidupkan ritual-ritual ortodoksi Islam dalam dunia sufisme. Kendati, rumusan Al Ghazali itu juga tak sepenuhnya diterima oleh sebagian kelompok Islam. Tetap ada pertentangan pemikiran, konsep-konsep ke-Tuhan-an, Penciptaan, Kehidupan di dunia dan kehidupan di akherat. Sejak awal Islam, hingga hari ini.
Maiyah
Cak Nun, mendapatkan didikan Islam dasar ketika berada di tengah-tengah keluarganya di Mentoro, pedalaman Jombang. Namun, sebagian kalangan menganggap itu tidak cukup untuk meletakkan Cak Nun pada posisi ulama atau intelektual muslim. Pengalamannya yang mampir ngombe di Gontor juga dinilai tidak memadai untuk menjadikan Cak Nun sebagai rujukan ilmu. Lebih jauh, sebagian kalangan juga menyatakan bahwa Cak Nun tidak menguasai buku-buku babon karya ulama dan intelektual Islam terdahulu. Anggaplah demikian.
Tapi, rupanya, Allah juga bebas dari batasan yang dibuat oleh manusia bahwa Allah memberikan (menitipkan) ilmu harus melalui pendidikan atau pembelajaran yang membutuhkan metode, tempat, dan waktu tertentu. Allah memiliki kemerdekaan untuk menitipkan ilmu kepada hamba yang Dia Kehendaki hanya dengan “Kun. Fayakun” saja. Sebab, Allah menyatakan Sendiri bahwa Allah Maha Pengasih, yang mengajarkan (menanamkan) Al-Qur’an (baik yang tertulis di mushaf, ditanam di dalam hati maupun yang tergelar di alam semesta). Allah yang menciptakan manusia. Dan mengajarnya pandai (berpikir, merenung) berbicara.
Karena ilmu dan pengetahuan juga adalah pengungkapan, tajjali dari kualitas Allah. Baik pengetahuan yang kasat mata maupun pengetahuan yang ghaib. Dan kualitas Allah bisa hadir, kapan saja dimana saja, sepanjang diKehendaki-Nya. Maka, Allah juga dengan mudahnya menanamkan ilmu dalam hati makhluk yang dikehendaki-Nya. Karena itu, alangkah baiknya jika manusia berendah hati. Membebaskan dirinya dari menerapkan batas-batas atas Allah dengan kedangkalan akalnya.
Sebab, pada titik sebaliknya, tidak ada satu hal pun di dunia ini yang bisa hidup mandiri karena hal ini menyiratkan kemerdekaan dari Tuhan yang tak terbatas, quod est absurdum.
Jika menyimak pemikiran-pemikiran Ibnu Arabi yang telah diuraikanb di atas, kita akan menemukan bahwa dalam banyak kesempatan, Cak Nun juga menyampaikan konsep yang relatif serupa dengan pandangan-pandangan Ibnu Arabi. Tapi, benarkah Cak Nun adalah murid Ibnu Arabi? Dalam kesempatan itu, Syaikh Kamba selanjutnya mengutarakan,”Lantas, saya tanya kepada Cak Nun, apakah antum sudah membaca Futuhut al Makkiyah?” — Salah satu karya paling popular Ibnu Arabi — “Jawaban Cak Nun diluar dugaan saya. Karena Beliau malah balik bertanya: Apa itu?” Ternyata, Cak Nun bahkan tidak mengetahuinya.
Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dan tidak ada yang tidak mungkin bagiNya. Maka, hal paling aman yang bisa kita lakukan adalah berlindung dibalik jubahNya. Dengan cara terus-menerus mengingatNya. Dan bagi kita — kaum kaleng Khong Guan isi Rengginang ini — cara paling mungkin untuk mengingat Allah ketika berdiri, pada waktu duduk, dan ketika berbaring setelah menyelesaikan salat –mungkin- adalah dengan menyadari sepenuhnya bahwa manusia — kita — senantiasa berada dalam keadaan “bersama” Allah. Ber”maiyah” dengan Allah. Karena “kita” hanyalah sekelumit dari tajjali Allah.
Sugeng Ambal Warso Cak Nun.