Bioremediasi Terhadap Alam Kesadaran Masyarakat
Sabtu malam (24/7) Padhangmbulan kembali diselenggarakan secara terbatas — bernuansa kekeluargaan, setelah bulan sebelumnya libur karena angka persebaran Covid-19 di Jawa Timur meningkat.
Padhangmbulan bulan ini memilih tetap melaksanakan rutinan terbatas di teras Ndalem Kasepuhan karena menurut Lik Ham mengawali majelis, Padhangmbulan setia kepada kebaikan, niat Padhangmbulan mendoakan kebaikan umat manusia, dan terakhir Padhangmbulan lebih tua dari Negara Indonesia karena Padhangmbulan meneruskan jariyah Ibu Chalimah dan Ayah Muhammad.
Kita peduli dengan keadaan, kita peduli dengan situasi dan kita peduli pada nasib, maka pada malam itu, Lik Ham mengajak seluruh jamaah yang hadir untuk mengoptimalkan pertemuan dengan temenan berdoa kepada Allah.
“Meskipun kita yang berkumpul sedikit, mari kita optimalkan pertemuan kita malam ini supaya tidak sia-sia dengan mendoakan para Marja’, Umat Islam, Jamaah Maiyah dan seluruh umat manusia. Semoga Allah ridla dan mengijabahi doa kita untuk membukakan jalan terang bagi kita semua”, ajak Lik Ham
Jadi inti Padhangmbulan bulan ini adalah berdoa, tidak ada fokus tema bahasan. Diawali pembacaan tahlil dan wirid Maiyah oleh Cak Huda dan diteruskan bershalawat yang diiringi oleh teman-teman Lemut Samudro.
Mbak Yuli memimpin shalawat dengan Hasbunallah, Maulan Siwallah, dipuncaki Maula Ya Sholli Wa Sallim, “Maula ya sholli wasallim daiman Abadan, A’la habibika khoiril kholqi kullihimi. Ya Robbibil mustofa balighmaqo shidana, Waghfirlana mamadho ya wasi’al karomi, Ya Robbibil mustofa balighmaqo shidana, Waghfirlana mamadho ya wasi’al karomi. Huwal Habibuladzii Turzaa syafa’atuhu Likulli haulin minal Ahwali muqtahimi”. Pada suasana khusyu’ terdengar Mbak Yuli dan beberapa jamaah bershalawat sambil menitikkan air mata ketidakberdayaan dan bersungguh-sungguh memohon kebaikan, dlosor di hadapan Allah.
Merespons Tajuk “Saya Berhenti Maiyahan”
Setelah dipuncaki bershalawat Maula Ya Sholli Wa Sallim, majelis dilanjutkan dengan merespons tulisan Tajuk “Saya Berhenti Maiyahan”. Cak Huda Paseban memoderatori majelis dengan meminta respons jamaah atas Tajuk tersebut.
Meneruskan apa yang disampaikan Cak Huda, Cak Dil yang turut membersamai malam itu ingin mendengarkan apa yang ada dipikiran kita setelah membaca Tajuk. Merespons tulisan Tajuk, yang ada di pikiran Fajar Bagus dari Surabaya setelah membacanya adalah dia ingin membuktikan bahwa dirinya bukan bagian dari generasi uget-uget, gathul maupun kawul kobong. Bagus berikhtiar menertibkan dan mengingatkan kepada pemilik akun media sosial “tuhan-tuhan kerdil” yang kontennya bermuatan manipulasi, eksploitasi dan adu domba terhadap Mbah Nun dan Maiyah. Meskipun menurut Bagus hal itu tak semudah yang dibayangkan, sebab setiap hari akan selalu bertambah upload-an konten yang bermuatan manipulasi, eksploitasi, dan adu domba.
Menurut Bagus yang terpenting adalah tak pernah berhenti berjuang dan nyaur utang atas apa yang diberikan Mbah Nun, meskipun mustahil akan lunas. Bagus menganalogikan perjuangannya seperti seekor semut yang membawa setetes air untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim, meskipun mustahil yang terpenting semut ingin membuktikan bahwa dirinya berpihak pada kebenaran.
Cak Huda menambahkan bahwa sebagian besar pelaku “tuhan-tuhan kerdil” media sosial yang setiap kontennya berisi manipulasi, eksploitasi dan adu domba itu berasal dari Jamaah Maiyah sendiri. Cak Huda mempertanyakan apakah kita tak pernah membaca, tidak tahu atau sengaja tak mau tahu keluh kesah Mbah Nun atas perlakuan “tuhan-tuhan kecil” media sosial terhadap beliau. Atau memang menurut Cak Huda, “tuhan-tuhan kerdil” itu sengaja melakukan itu demi uang, keberlangsungan hidup, sehingga meninggalkan pertimbangan nilai Maiyah yang didapat selama ini.
Masukan-masukan yang disampaikan jamaah menjadi titik tolak pembahasan malam itu yang berfokus pada Tajuk. Tulisan Tajuk itu menurut Cak Dil, kalau dilihat dari perspektif yang luas merupakan bagian dari kondisi kita yang secara umum dalam kondisi yang membingungkan. Kondisi yang membuat orang bingung, apa yang sebenarnya sedang terjadi, kondisi yang tidak bisa dirumuskan. Misalnya tentang banyak cerita tentang PPKM, aparat dan masyarakat itu bagian dari mereka yang sebenarnya bingung.
Begitu juga kondisi yang dialami oleh Mbah Nun, menjadi bagian dari kondisi bingung itu. Cak Dil menyampaikan koreksi yang sebenarnya kepada masyarakat umum, tetapi bisa juga kepada kita, Jamaah Maiyah. Misalnya dalam Tajuk ada istilah uget-uget, gathul, dan kawul kobong. Cak Dil hanya mengoreksi pada istilah ikan gathul. Keberadaan ikan gathul itu sebenarnya menjadi indikator dari kondisi sungai yang masih jernih. Kondisi sungai yang masih belum beracun indikatornya adalah hidupnya ikan gathul di sungai tersebut. Gathul itu indikator alami, sama halnya dengan capung atau gantrung yang merupakan indikator dari kondisi alam yang masih segar, tidak banyak racun.
Jadi harus kita cari apa maksud Mbah Nun yang mengistilahkan gathul yang sebenarnya menjadi indikator terhadap keseimbangan alam. Padahal kondisi saat ini seperti media sosial sudah tercemar semua, penuh racun.
Residu, Detoksifikasi, dan Bioremediasi
Ada tiga hal yang akan Cak Dil ceritakan sebagai frame kita di dalam melihat kondisi kita saat ini, yang akan nyambung dengan Mbah Nun, maiyahan, dan dengan apa yang kita lakukan saat ini.
Pertama, residu kalau secara umum itu sampah. Misalnya pabrik yang menghasilkan limbah dari proses industri yang kemudian dianggap tidak ada gunanya disingkirkan. Menjadi residu, mengganggu keseimbangan alam. Yang namanya sampah jika dibiarkan akan mengganggu keseimbangan alam. Misalnya biasanya kita nongkrong, berhubung banyak sampah sehingga dikerumuni lalat, maka tempat itu sudah tidak nyaman untuk kita tempati nongkrong.
“Yang namanya residu itu sesuatu yang tidak terurai, tidak menjadi bagian dari keseimbangan alam. Residu bisa terjadi di dalam kondisi tubuh kita. Misalnya jika ada orang sakit jantung, itu mengkonsumsi makanan-makanan yang mengendap, tidak bisa diurai oleh tubuh menjadi residu, sehingga menghambat aliran darah yang ke jantung, maka berakibat sakit jantung. Sekian banyak penyakit terjadi karena banyak residu di dalam tubuh, yang berasal dari sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dan tidak mampu diurai oleh tubuh, berarti tidak selesai”, ujar Cak Dil
Misalnya ada himbauan kalau makan mie sebaiknya empat hari sekali. Memberi rentang waktu tubuh untuk mengurai endapan zat pengawet mie yang kita makan. Karena endapan zat pengawet dari mie itu sulit diurai oleh tubuh, maka butuh waktu untuk mengurainya. Sehingga tidak mengganggu metabolisme, keseimbangan hidup tubuh kita.
Dan residu ini tidak hanya menyangkut makanan, termasuk alam kesadaran dan pikiran kita. Banyak informasi yang masuk dalam pikiran kita yang tidak bisa kita urai, akhirnya menumpuk. Kebingungan yang kita alami sekarang ini berasal dari informasi yang tidak bisa kita urai. Misalnya informasi tentang Covid-19 ini tidak ada yang bisa mengupas tuntas. Antara dokter saling berdebat dalam perbedaan pendapat.
Kedua, detoksifikasi itu sebagaimana yang sering kita dengar adalah melunturkan racun. Jadi ada cara-cara untuk melunturkan racun di dalam tubuh. Karena kita sadar bahwa di setiap tubuh itu ada banyak residu, maka diperlukan pengobatan yang disebut detoksifikasi. Sayuran juga ada yang mampu melakukan detoksifikasi. Misalnya seledri itu punya kemampuan melunturkan racun di dalam tubuh.
Ketiga, bioremediasi adalah suatu proses di alam, di mana racun yang ada di tanah, misalnya, mampu diurai. Misalnya pada kasus petani. Pada petani yang sudah mengusahakan memakai pupuk organik untuk mencegah racun ada di dalam tanah, tetapi hasil panennya kok tidak optimal. Hal itu bisa terjadi dari proses pengairan sawah yang airnya mengandung racun, tercampur limbah deterjen. Sehingga ketika digunakan untuk mengairi sawah hasilnya juga tidak sebagaimana yang kita harapkan, walaupun kita sudah menggunakan pupuk organik.
Ada salah satu cara di mana Allah menyediakan ribuan jenis mikroba — yang tidak bisa kita lihat tetapi sudah ditemukan oleh para ilmuwan, yang puluhan hingga ratusan dari ribuan jenis mikroba itu punya kemampuan mengurai racun.
Mengurai menurut Cak Dil itu ada dua macam: menyingkirkan atau membuat struktur racun itu berubah sehingga tidak menjadi racun lagi. Maka dari itu ada istilah bioremediasi dan biotransformasi. Bioremediasi itu membuat sesuatu yang tidak terurai menjadi racun dibuat netral, menjadi tidak efektif.
Bioremediasi Terhadap Alam Kesadaran Masyarakat
“Proses-proses yang dilakukan Padhangmbulan, Maiyah, dan Mbah Nun itu sesungguhnya berfungsi menjadi bioremediasi terhadap alam kesadaran masyarakat,” tegas Cak Dil.
Misalnya setelah mendengarkan Mbah Nun merekonstruksikan fakta, kita menemukan kata kunci hidup dan jawaban-jawaban untuk mengurai permasalahan hidup yang selama ini menjadi racun pikiran, sehingga sadar bahwa apa yang dilakukan beliau itu sebagai bioremediasi terhadap alam kesadaran kita. Itu artinya sesuatu yang sebelumnya menumpuk di pikiran kita terurai.
Salah satu fungsi Padhangmbulan dan Maiyah adalah mengurai racun permasalahan yang tak bisa diurai oleh masyarakat.
Misalnya ketika kita bershalawat bareng-bareng dengan menikmatinya itu merupakan proses detoksifikasi yang luar biasa. Ketegangan atau sesuatu yang membuat kita bingung dan sesak pikiran menjadi luntur karena kita bershalawat bareng. Bershalawat juga bisa menjadi racun jika kita tidak ikhlas melakukan dan hanya banter-banteran suara.
Terurainya racun ketegangan, kebingungan atau yang membuat sesak pikiran kita karena bershalawat bersama dan merasakan kenikmatannya, menjadikan tingkat kepasrahan kita meningkat dan hubungan kita dengan Allah semakin dekat.
Makanya kita harus memperbanyak shalawat yang istilahnya shalawat majelis. shalawat bareng-bareng yang saling menjaga irama, nada, sehingga kita menemukan kenikmatan di dalam bershalawat majelis.
Maiyahan hanya shalawatan, tidak berdiskusi sebenarnya tidak masalah. Sebab shalawatan itu sudah akan mengurai dan memecahkan kebingungan-kebingungan kita. Daripada berdiskusi membuat kita tambah bingung.
“Saya ingin menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Padhangmbulan, Maiyah, dan Mbah Nun adalah mengurai kebuntuan-kebuntuan yang dialami masyarakat. Meskipun tidak pernah selesai, tetapi paling tidak — daripada tidak menemukan jalan keluar, mengurai kebuntuan cukup lumayan bisa menjawab permasalahan hidup masyarakat,” pungkas Cak Dil yang membersamai Padhangmbulan malam itu.
Surabaya, 25 Juli 2021.