Bersatu dalam Ilmu
Sekolah sederhana ini setiap hari seperti menggelar orkestra. Betapa tidak, dengan sekat antarkelas dari gedeg bambu atau triplek, maka suara yang muncul antarkelas bisa saling menyeberangi. Saling menerobos masuk. Suara dari kelas yang agak jauh saja bisa terdengar di kelas lain.
Untungnya para guru dan murid sudah mampu melakukan manajemen telinga dan pikiran sehingga godaan apapun yang masuk ke dalam kelas berasal dari kelas lain tidak menggoyahkan “iman” dan konsentrasi dalam memberikan dan menerima pelajaran.
Bayangkan, pada saat kelas satu sedang diajari tembang Dandanggula oleh Pak Guru dari Sanden Bantul tiba-tiba dari kelas sebelah terdengar derap para murid memukul meja sambil menghafal tasrifan lalu di kelas yang lain sedang ada praktik penulisan pantun jenaka dan setiap murid harus membaca karya pantun ini di depan kelas sebentar-sebentar ada anak bertepuk tangan.
Belum lagi jika ada kelas yang sedang diajar sejarah Perang Diponegoro, guru sejarah yang kreatif menggambarkan suasana perang itu memenuhi papan tulis. Guru itu dengan suaranya yang keras menjadi narator. Perang perjuangan melawan penjajah ini seperti pindah ke dalam kelas. Belum lagi kalau ada kelas yang sedang mendapat pelajaran Pramuka yang penuh tepuk tangan dan nyanyi-nyanyi itu. Seluruh sekolah gaduh tapi indah. Terpaksa seorang guru gambar atau bahasa Inggris melucu agar muridnya tidak hanyut oleh suara-suara dari kelas lain.
Hanya satu hal yang membuat seluruh pertahanan panca indera murid jebol. Yaitu ketika rumah-rumah yang sangat dekat barat dan timur gedung sekolah ini mulai memasak. Bau bumbu yang digoreng, bumbu ikan asin goreng membuat hidung para murid mengembang dan dari perut terdengar suara keroncong merdu. Apalagi kalau di sudut sekolah, di dapur warung sekolah, Mbok Bon menggoreng lombok yang bau dan asapnya membuat orang bersin.
Kalau bau-bau masakan dari dapur tetangga sudah menyerbu masuk kelas, Pak Guru atau Bu Guru tanggap. Sudah waktunya istirahat siang. Sebagian murid menyerbu warung, sebagian keluar kelas, lewat pintu gerbang mereka berdiri di pinggir jalan melihat kendaraan lewat, atau bergegas menuju sungai melihat orang mengayuh putaran untuk menghaluskan butiran kedelai menjadi tepung basah untuk dibuat tahu. Ada yang melihat perajin perak mengukir lempeng perak.
Suasana orkestra dengan urutan sajian yang berbeda ini mewarnai sekolah ini setiap hari. Saya dan teman menikmati dan tidak pernah memprotes gangguan suara dari kelas lain dan serbuan bau masakan dari tetangga sekolah. Ini semua sampai saya dan teman-teman lulus sekolah dan menyelenggarakan malam perpisahan dengan mementaskan grup orkes Melayu yang waktu itu popularitasnya belum dikalahkan oleh musik dangdut.
Karena ini sekolah guru agama maka alumni kebanyakan menjadi guru agama. Ada yang bertugas menjadi guru agama dan Pramuka di Lampung, Lombok, Sukoharjo, Surabaya, dan banyak yang bertugas menjadi guru agama dan muballigh di desa-desa di Yogyakarta. Kebanyakan dari lulusan sekolah ini memang menjadi guru agama dan merangkap muballigh di desa-desa. Ada yang meneruskan kuliah dan menjadi guru sekolah menengah.
Sedangkan saya sendiri yang punya kelebihan sekaligus kelemahan kalau ngomong cepatnya melebihi pesawat Superjet, memilih menjadi wartawan yang menulis sastra dan aktif di penerbitan.
Selama belajar enam tahun di sekolah guru agama ini saya tertarik pada tiga kelompok ilmu yang menjadi bekal penting bagi seorang guru agama. Pertama tentu kelompok ilmu agama yang terdiri dari hadits dan ilmu hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih, tarikh, dilengkapi dengan ilmu alat bahasa Arab yang terdiri nahwu, sharaf, imla’, muthola’ah, khat, mahfudlot, balaghoh dan ilmu alat bahasa Inggris, bahasa Jawa, bahasa dan sastra Indonesia. Semuanya menyenangkan karena gurunya asyik.
Kedua, kelompok ilmu pendidikan yang terdiri dari sejarah pendidikan dunia, didaktik, metodik, ilmu jiwa biasa, ilmu jiwa anak-anak, ilmu jiwa pendidikan, dan dilengkapi dengan pendidikan kepanduan, ilmu musik, dan ilmu menggambar. Ketiga, kelompok ilmu aljabar, Ilmu ukur, Ilmu hayat, ilmu alam, dan ilmu berhitung. Lalu ada pelajaran pendidikan jasmani, jurnalistik (ekskul), keorganisasian siswa dan muaranya adalah ilmu merencanakan pelajaran dari praktik mengajar.
Di antara tiga kelompok ilmu saya cukup menyukai ilmu bahasa yang kemudian fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Arab misalnya, saya sampai bisa mengingat sepanjang hidup gurunya. Misalnya Pak Kasiban yang dengan suara serak-serak basah mengajarkan bahasa Arab kadang diselingi humor. Untuk melengkapi pelajaran bahasa Arab, di luar sekolah saya belajar kepada Ayah kitab Al-Ajrumiyah karangan ulama kelahiran Fez Maroko, di tempat Pakde saya belajar kitab Imriti karya ulama dari Mesir. Saya tidak sempat menghafal kitab Alfiyah Ibnu Malik Al-Andalusi.