Berkah Allah Buat Para Penggiat Online
Saya pernah cerita tentang Wali Tiban, di tahun 1963-an. Teman Menturo saya Nuriman sakit di perjalanan di sekitar Kedungpapar menuju Betek. Jangan keliru nDiwek-nya Asmuni. Ditampung orang di rumah dekat ia jatuh sakit. Kemudian dalam waktu beberapa menit ia diambil oleh santrinya Kiai Sahlan, padahal jarak tempat Pesantrennya lebih 40 km. Beberapa hari kemudian Nuriman dikembalikan ke Menturo sebagai Nuriman yang baru. Yang alim, pandai, dan hapal Al-Qur`an sampai tingkat yang mengerikan. Bukan lagi Nuriman teman saya di Langgar, sawah, gardu, dan lapangan.
Dubes kita di Australia tinggal sendiri di rumah dinasnya di Canberra. Tapi hampir tiap malam “istri”nya datang, membuatkannya minum dan makan, padahal ia sedang di Jakarta. Cak Puji sering ke Jerman, Turki, dan Belanda untuk urusan bisnis. Tapi seringkali ketika ia pergi, ia juga ada di kantornya. Dan tentu saja itu mengerikan bagi karyawan-karyawannya.
Seorang anak Menturo diajak ke Malang oleh Bapak Ibunya. Di daerah hutan Songgoriti, si anak pengin kencing. Turun dari mobil, berjalan beberapa puluh meter mencari tempat yang sepi. Kemudian meneruskan perjalanan ke Malang. Tinggal selama 3 hari di sana. Lantas pulang ke Jombang dan di lokasi yang sama ia minta turun untuk kencing lagi. Tapi lama tidak kembali. Bapak Ibunya panik mencari ke tempat sampai jauh di perkampungan. Anaknya ketemu sedang ditampung di Kantor Polsek. Polisi marah kepada kedua orang tuanya kenapa anak ini tidak diambil sampai tiga hari. Ternyata yang kemarin ikut ke Malang sampai 3 hari itu bukan anaknya.
Guk Dimun lari tunggang langgang karena dijumpai hantu berbadan dan kepala tapi tanpa wajah. Alias muka rata. “Guk” itu panggilan semacam “Cak” atau “Mas” di masyarakat Menturo. Sekitar 200 meter kemudian ada tukang bakso. Dengan gemetar ia bercerita tentang muka rata. Pak penjual bakso menolak ke Guk Dimun dan bertanya: “Muka rata bagaimana?”. Ternyata bermuka rata juga.
Tetapi hantu yang mungkin lebih mengerikan adalah yang “membo-membo” atau tampil sebagai dirimu sendiri. Kamu ketemu kamu. Kamu disapa dan diajak omong-omong oleh “kamu” sendiri.
Hantu jenis yang terakhir inilah yang di era digital ini sangat sering saya jumpai. Tiap hari saya menemukan wajah saya tompal-tampil terus di Youtube. Tiap hari muncul tambahan rata-rata antara 15 hingga 25 penampakan hantu saya di Youtube. Saya tidak tahu siapa yang mengunggah. Kecuali yang official Progress Kadipiro. Saya tergolong gagap teknologi dan relatif buta dunia maya. Bagaimana kok ada orang-orang hebat dan canggih bisa menghadirkan hantu saya di Youtube.
Jelas sayalah beserta istri, anak-anak dan keluarga yang paling merasakan akibat-akibat dari para pengunggah fitnah dan penyebar hantu Youtube itu. Saya sangat kagum bahwa mereka benar-benar punya keberanian dan gagah perkasa dalam melakukan kedhaliman dan perusakan. Andaikan pun outputnya positif atau bermanfaat, tetap juga kasusnya nyolong. Kaidah ushul fiqh-nya tetap: “Yaduru ma’a nyolongihi”.
Citra karakter saya menjadi ceriwis, rewel campur narsistik. Maunya tampiiil terus. Untung Markesot tidak kenal Youtube. Hidupnya ndhepis bendino di barongan bambu pojok tenggara Manturo. Kalau dia tahu, pasti nyengèngès dia: “Markenun iku kok nyocoooooot ae gak lèrèn-lèrèn. Gak blangkemen ta cangkemé…”
Bagaimana ini ummat manusia? Sudah pinternya kayak gini. Sudah abad 21. Sudah menginjak bulan. Sudah mencapai ilmu demikian luasnya dan berprestasi bikin segala macam teknologi. Kenapa tidak bisa mengatur undang-undang hak cipta dan hak siar? Bagaimana bisa saya omong sama tetangga disiarkan ke seluruh dunia? Kenapa saya ngobrol di gardu dispeakerkan ke seantero bumi? Kok saya menjawab obrolan di warung diumumkan ke seluruh alam semesta? Kok undang-undang di antara manusia tidak mampu menjaga manusia? Padahal kebudayaan Barat sejak dulu pamer-pamer soal “privacy”? Sekarang orang kentut saja diperdengarkan ke jagat raya? Apa gunanya Negara kalau tidak mampu melindungi warganya? Apa gunanya ilmu kalau tidak bermanfaat untuk menjaga keselamatan manusia?
Saya dikasih tahu bahwa para pengunggah itu ada yang hajatnya mencari nafkah untuk keluarganya. Ada yang untuk menyerang suatu kelompok politik, yang kemudian digayung-sambuti oleh ratusan atau ribuan kelompok yang sama kepentingannya. Ada yang memang berniat mengadu domba, menyebarkan fitnah untuk membenturkan. Dengan cara menghilangkan atau menggeser substansinya. Memotong-motong untuk kepentingan serangan atau adu domba. Menyambungkan editan konten dengan konten subjek lain yang sebenarnya tidak terkait peristiwanya. Memanfaatkan pergeseran konteks dan nuansa konten karena ruang sosial dan waktu pengungkapannya berbeda. Serta berbagai jenis dan racikan fitnah yang bermacam-macam.
Tapi bisa jadi para pengunggah itu adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan dan imannya tebal, taqwanya tinggi dan ibadahnya rajin. Sehingga mereka yakin mereka dan keluarganya pasti selamat dan bahkan mungkin malah dapat berkah sebagai hasil dari tindakannya mencuri, mengklaim, mengatasnamakan, memanipulasi, dan mengeksploitasi.
Para pendekar online itu pasti sangat terpelajar dan sangat mengerti nilai-nilai, tata ruang, dan peta waktunya. Sehingga mengerti pula anomali-anomali. Mereka sadar bahwa menipulasi, fitnah, dan adu domba itu kejahatan besar, tetapi mereka yakin itu tidak berlaku asalkan sasarannya adalah saya. Kedhaliman itu haram, kecuali kepada saya. Kedhaliman kepada saya hukumnya halal. Sebab mereka yakin bahwa saya pasti memaafkan. Menurut pola pikir mereka ini, andaikan saya ini Tuhan, pasti tidak akan bikin neraka. Hanya sorga yang saya siapkan untuk semua hamba-hamba saya.
Mungkin sedemikian dekatnya Tuhan dengan para penggiat media-media online itu, sehingga mereka berani berpendapat kedhaliman dan perusakan yang mereka lakukan malah mendapat berkah dan pahala dari Allah. Kejahatan yang mereka lakukan tidak akan mengakibatkan “kuwalat”, “karma” atau “intiqam” kepadanya dan keluarganya. Dan mereka memang punya “reasoning” atau “hujjah” untuk itu.
Tentu saja itu membuat saya cemburu dan kecil hati. Sebab saya sendiri meskipun selalu berusaha rajin mendekat ke Tuhan, tapi Allah sendiri belum tentu dekat ke saya. Atau Allah belum tentu ridla saya dekati. Bahkan saya sering cemas bahwa firman-Nya dalam hadits qudsy berikut ini tidak berlaku buat saya, tapi malah berlaku untuk para penggiat dan pengunggah fitnah kepada saya di media online:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي
فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ
ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا
وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
Bersabda Rasulullah saw: “Telah berfirman Allah Subhanahu wa ta’ala, “Aku adalah sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku, dan jika hamba-Ku mengingat-Ku dalam sendirian, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku sendiri, dan jika dia mengingat-Ku di dalam sebuah kelompok/jama’ah, (maka) Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari kelompok tersebut, dan jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya satu depa, dan jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku mendatanginya dengan berjalan cepat”.
Tetapi sangka baik saya kepada Allah membuat saya pusing tujuh keliling untuk menemukan pemaknaan bahwa seluruh fitnah online itu pada hakikatnya adalah rezeki Allah kepada saya.
Rizqun atau rizqi atau rezeki itu ada tiga. Rezeki vertikal. Rezeki Vertikal-horisontal. Dan rezeki horisontal.
Rezeki jenis ketiga adalah rezeki transaksional. Kita menyodorkan sejumlah uang, orang menyampaikan barang. Transaksi yang dipertukarkan dengan uang itu bisa juga tenaga, waktu, dan jasa. Pada rezeki jenis kedua, diterima oleh manusia tidak sepenuhnya merupakan hasil transaksi administratif. Kebaikan perilaku seseorang, kemurahan hatinya, keikhlasannya melakukan sesuatu yang justru tidak transaksional-horisontal, bisa malah mengantarkan rezeki tak terduga kepadanya. Jadi kalau rezeki jenis ketiga berlangsung linier horisontal, yang kedua bisa berbentuk putaran, lipatan, atau multi-dialektika.
Rezeki paling utama adalah jenis yang pertama. Yakni yang berupa kehidupan ini sendiri, alam semesta dan makhluk-makhluk termasuk manusia. Manusia tidak pernah membayar apa-apa untuk memperoleh udara, tanah dan air, tata surya dan galaksi-galaksi. Manusia tidak pernah bertransaksi dengan bentuk yang sejak awal diproses kesepakatannya, untuk memperoleh jatah hidup sejauh usianya. Untuk mendapatkan anak, cucu, pun bapak, kakek, dan semua keluarganya.
Memang Allah sendiri menggunakan idiom transaksi sebagaimana yang dikenal oleh perekonomian manusia.
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشۡتَرَوُاْ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا بِٱلۡأٓخِرَةِۖ
فَلَا يُخَفَّفُ عَنۡهُمُ ٱلۡعَذَابُ وَلَا هُمۡ يُنصَرُونَ
“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”
Mainstream kehidupan manusia di dunia ini membeli dunia dengan uang akhirat. Ideologi kapitalisme, apalagi yang liberal, adalah kerelaan manusia untuk tidak berhitung nasib di akhirat asalkan mendapatkan kelimpahan kekayaan dunia. Manusia legowo untuk masuk neraka. Sehingga manusia sanggup dengan tenang, bahkan merancangnya secara ilmiah dan rasional, dalam skala kecil, menengah, atau nasional bahkan global — melakukan segala hal yang menghalanginya mencapai kesejahteraan akhirat, misalnya mencuri, korupsi, menindas, menipu, berbohong, menista, memanipulasi atau memunafiki berbagai hal.