CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (18)

Berjaga di Tengah Situasi Krisis

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 13 menit

Begitu bertemu dengan perwira yang memanggil kami untuk klarifikasi berita sensitif itu, Pak Moehadi Sofyan langsung dengan ramah menyampaikan salam dalam bahasa Madura. Perwira itu kaget sebentar lalu menyambut salam ini dalam bahasa Madura.Pak Moehadi Sofyan dengan ramah dan tenang menanyakan alamat tempat kelahiran perwira itu sambil menyebut nama nama tokoh masyarakat di kota kelahiran perwira itu. “Saya dulu sekolah di situ pak,” kata perwira itu sambil menyebut tahun ketika belajarnya.

“Tahun itu saya sudah bertugas dan dikirim ke kota lain,” kata Pak Moehadi Sofyan.

Pertemuan itu jadi cair. Bukan lagi interogasi atau pemeriksaan dan dimintai keterangan, tetapi malah lebih mirip reuni. Tahu Pak Moehadi Sofyan pernah mengajar di sekolah menengahnya, perwira itu jadi ramah dan hormat kepada Pak Moehadi Sofyan. Urusan berita sensitif itu selesai, hanyut dalam suasana ramah tamah . Saya yang sejak dari rumah naik mobil kantor berdebar kencang dada saya dan khusyuk membaca doa khusus untuk keluar dari situasi krisis menjadi lega.

Pemilu paling berkesan dan “mengerikan” adalah Pemilu di zaman Orde Baru. Pemilu di zaman demokrasi sungguhan di tahun 1955 kemudian demokrasi di-cut oleh Dekrit Presiden 1959, lalu demokrasi mati karena tidak ada pemilu karena anggota parlemen (DPRGR dan MPRS) ditunjuk dan diangkat oleh pemerintah. Pemusatan kekuasaan berada di tangan Presiden, apalagi setelah Bung Hatta mengundurkan diri sebagai kritik terhadap perilaku politik Bung Karno yang dianggap tidak demokratis.

Bung Hatta kemudian menulis esai panjang di majalah Panji Masyarakat yang kemudian dibukukan dengan judul Demokrasi Kita. Isinya mengkritik habis-habisan konsep dan praktik demokrasi terpimpin tanpa pemilu ini, yang kemudian berujung pada tragedi politik tahun 1965.

Pemilu di tahun 1955 boleh disebut Pemilu yang paling ramah terhadap warga negara. Demokratis dan banyak lucunya. Saya waktu itu berumur satu tahun dan diajak Ayah naik sepeda, didudukkan pada kursi rotan mini yang diikat pada stang dan bagian depan sepeda, untuk mendatangi kampanye politik semua partai. Waktu itu suasana kampanye demikian damai, begitu cerita Ayah yang dibenarkan semua Paman dan orang sebaya Ayah yang saya wawancarai.

Bayangkan, kampanye partai peserta pemilu yang jumlahnya banyak banget sampai ada partai gambar bis segala dilakukan terbuka dan sungguh terbuka. Siapa saja boleh hadir. Untuk Yogyakarta, tempat favoritnya adalah Alun-alun Selatan. Tidak ada Satgas partai berseragam militer. Tidak ada pawai kendaraan. Bahkan yang hadir di tempat kampanye tidak berseragam atau memakai tanda tertentu. Gambar partai hanya ada dan ditempelkan di pintu rumah. Atau ada orang iseng menaaikkan layang-layang bergambar partai, memancing pendukung partai lain membuat dan menaikkan layang-layang di langit.

Kampanye dilakukan di langit, meriah, dan terbuka. Layang-layang Itu kemudian bertarung. Pendukung partai yang layang-layangnya menang bersorak-sorak dan pendukung partai yang layang-layangnya kalah hanya bisa grundelan atau memaki secukupnya. Karena yang hadir di tempat kampanye tanpa tanda, apalagi seragam, maka mereka datang dan pulang tanpa gangguan, damai-damai saja. Karena saat kampanye berlangsung kita tidak tahu yang ada di samping kita itu pendukung partai mana, kecuali ketika ada reaksi spontan terhadap juru kampanye yang sedang berpidato.

Ayah bercerita bagaimana para juru kampanye yang mendapat giliran naik panggung lebih akhir mendapat keuntungan karena dia bisa membalas ejekan juru kampanye partai lain pada hari sebelumnya. Saling ejek-mengejek dilakukan dengan bahasa dan cara jenaka. Kadang pakai kata-kata tajam tetapi terukur. Hadirin bersorak-sorai. Saya waktu itu suka bertepuk tangan walau tidak tahu apa yang ditepuktangani. Yang penting ikut tepuk tangan dan berteriak senang.

Kampanye dan pemilu seindah, sejujur, dan seasyik tahun 1955 tidak mungkin terulang kembali di Republik ini. Sebab, pemilu dan kampanye tahun-tahun berikutnya suasana dan manajemen pemilunya sudah sangat berbeda.

Kalau dalam pemilu yang demokratis, jujur, adil, dan terbuka di tahun 1855 partai Islam menang, kalau digabung suaranya menang mutlak maka pada pemilu berikutnya, di zaman Orde Baru dan di zaman Pasca Orde Baru (Post Orde Baru) partai Islam sudah dikunci, terkunci atau mengunci diri pada kuota minoritas yang didiktekan entah oleh siapa. Dan kuota partai Islam makin kecil sementara partai bukan Islam kuotanya makin besar sehingga bisa mencalonkan sendiri calon pilkada dan calon presiden.

Untuk memaksa berlakunya kuota suara partai Islam yang harus minoritas maka tentu dilakukan conditioning tertentu. Antara lain lewat drama politik, pembuatan skenario politik yang kadang atau malah selalu mengandung political trap. Sebagai wartawan saya merasakan itu walaupun harus diakui sulit membuktikannya. Jadi hanya merasakan secara subjektif dan sulit membuktikan secara objektif. Njur piye dab apike? Hati hati, selalu terjaga, dan berjaga kesadarannya disertai dengan mematuhi tabu-tabu pemberitaan atau sensor halus dan sensor kasar pihak tertentu. Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa koran dibredel.

Inilah arti penting memahami dan mentadabburi surat Al-‘Ashr. Kalau ditafsirkan secara kontekstual dengan situasi genting dalam perpolitikan nasional di era Orde Baru dan era Pasca Orde Baru maka terjemahan yang sudah diberi makna kontekstual dari surat Al-‘Ashr adalah sebagai berikut (mungkin saja tafsir kontekstual saya ini salah tapi mungkin pula benar. Jadi tafsir ini berlaku relatif sebagaimana tafsir, tidak berlaku mutlak): Demi waktu (yang penuh tipu daya). Sesungguhnya manusia (yang alpa, terlena, tidak terjaga, berjaga, dan siaga) selalu dalam kerugian (karena menjadi korban tipu daya itu). Kecuali mereka yang beriman (yang selalu menjaga dan mengamankan kebenaran) dan beramal shaleh (amal positif, damai, produktif dengan kebaikan dan keindahan perilaku) dan selalu memberikan nasihat (memberi warta atau mewartakan) kebenaran (bersama) dan (dipandu) kesabaran.

Saya pernah mempraktekkan ini secara nyata dan Alhamdulillah selamat dari himpitan situasi genting saat ada musim kampanye di sebuah pemilu. Sepulang rapat Muhammadiyah saya masuk dalam situasi rumit. Waktu itu ada kampung yang diplot dan diskenariokan secara intelijen sebagai kampung yang ditargetkan mendapatkan serangan balasan massa kelompok politik tertentu. Sekaligus kamuflase untuk menangkap orang pendukung partai Islam yang sudah ditarget.

Skenario politik dan jebakan politik itu berjalan sebagian dengan narasi sebagai berikut: ada rombongan peserta kampanye dari kelompok politik lewat di dekat kampung itu, tiba tiba-tiba diserang oleh massa tidak dikenal sebagai provokasi. Dikambinghitamkan penyerang ini adalah pemuda kampung itu yang pendukung fanatik partai Islam. Pengkambinghitaman pemuda kampung ini sesungguhnya gagal total karena hampir semua anak muda kampung ini sedang pergi ke suatu tempat di Jawa Tengah untuk kulakan kambing kurban. Data ini yang tidak diketahui oleh Intel atau pihak tertentu yang membuat skenario penyerangan kampung dan skenario penangkapan pendukung partai militan yang ditarget.

Nah, cerita berlanjut. Serangan provokasi oleh massa gelap (oleh orang kampung kemudian diidentifikasi sebagai kelompok sikatan) ini menyebabkan rombongan kampanye kelompok politik itu berhenti lalu menyerang kampung ini didukung oleh serbuan pasukan resmi.

Ternyata orang kampung sudah punya SOP untuk mempertahankan diri, bahkan punya semacam kode etik perlawanan fisik. Pertama, jika kampung diserang maka ada regu khusus anak muda mengenakan helm. Mereka bergerak cepat keliling kampung membawa tongkat panjang memukul pecah semua lampu di lorong dan dekat rumah.

Akibatnya, dalam waktu tidak sampai sepuluh menit seluruh kampung gelap gulita. Warga kampung bersembunyi di tempat tertentu, aman, dan menerapkan kata sandi untuk berkomunikasi sesama warga. Mereka juga menerapkan kode etik perlawanan unik. Kode etik perlawanan ini diajarkan oleh warga kampung yang waktu muda pernah menjadi sukarelawan membebaskan Irian Barat. Kode etik perlawanan ini berbunyi sederhana: jika yang masuk kategori adalah pasukan resmi dibiarkan masuk dan tidak dilawan. Sebab kalau melawan bisa diartikan melawan negara dan berarti konflik vertikal. Akan tetapi kalau yang menyerbu kampung sama sama orang sipil, kelompok politik lain partai maka warga kampung berhak melakukan perlawanan setimpal. Dengan menerapkan kata sandi dalam berkomunikasi maka warga kampung mudah membedakan mana kawan dan mana lawan.

Karena kampung gelap total, semua lampu penerang lorong kampung dan luar rumah telah dipecahkan oleh regu pemecah lampu, maka Satgas atau massa kampanye kelompok politik yang mendapat serangan buatan ini tidak berani masuk kampung. Yang berani masuk kampung sampai ke depan rumah adalah pasukan resmi yang kemudian melakukan salah tangkap. Ada penjual buah sedang memasak ditangkap. Ada pendatang yang bekerja mengemasi barang dagangan ditangkap. Dan ….. Saya yang sedang bertamu ke tempat mertua ditodong pasukan baret hijau dengan senjata api hanya gara-gara saya mengenakan jaket mertua. Saya berteriak kepada istri agar lapor ke LBH. Mendengar teriakan saya meminta istri lapor ke LBH, rupanya tentara itu gentar dan menyerahkan saya ke polisi. Saya lihat mobil patroli polisi semua Polsek ada berjaga-jaga. Saya memilih mobil polisi berkode KG artinya mobil patroli milik Polsek Kotagede.

Saya bertanya kepada salah seorang petugas apa benar dia dari Polsek Kotagede? Dia menjawab benar. Lalu dengan gaya meyakinkan model cah teater saya bilang bahwa saya Cah Kotagede, Muhammadiyah banget. Lalu saya tunjukkan bukti. Saya mengeluarkan kartu anggota Muhammadiyah yang ditandatangani Pak Amien Rais. Polisi itu memeriksa kartu anggota Muhammadiyah dan membaca siapa yang bertanda tangan di situ. Sepertinya berpikir serius lalu berbicara dengan komandan dan komandan dia bilang kalau nanti urusannya diselesaikan di Polres saja. Sebab saya tadi datang ke depan Bioskop Permata kan bersama tentara baret hijau. Saya dipersilakan naik mobil patroli bersama dengan korban salah tangkap warga kampung yang selama hidup tidak ada urusan dengan politik.

Ketika di Polres, saya temui petugas di belakang meja yang sedang membuat daftar siapa-siapa yang ditangkap oleh skenario buatan adanya penyerangan terhadap peserta kampanye kelompok politik itu. Dengan tenang saya keluarkan kartu wartawan saya dan saya bilang, “Pak, saya wartawan lho. Ini buktinya.”

Petugas kaget, gugup lalu menemui atasannya yang kemudian menelepon ketua PWI, kalau tidak salah Mas Oka Kusumayudha. Dari hasil klarifikasi ini dia yakin kalau saya wartawan beneran.

Suasana kantor Polres Kota Yogyakarta malam itu ramai sekali. Pimpinan partai datang dikawal Satgas partai berbadan tegap. Dia menuntut semua korban salah tangkap dibebaskan. Pimpinan partai diminta menunggu hasil proses verbal.

Kartu pers dikembalikan dan saya diperiksa oleh petugas yang ternyata orang tuanya aktivis Muhammadiyah dan berlangganan majalah Suara Muhammadiyah. Saya pun menanyakan kepada dia bahwa saya diperiksa sebagai apa? Dijawab sebagai saksi. Oke, kalau sebagai saksi saya bersedia menjawab. Kalau bukan sebagai saksi saya akan minta bantuan pembela dari LBH untuk menemani pemeriksaan. Petugas yang Cah Muhammadiyah ini memperlihatkan hasil pengetikan sementara kertas pemeriksaan. Betul, ada kata saksi di situ.

Lalu saya diminta menceritakan kronologi peristiwa sore menjelang Maghrib sampai malam itu. Dimulai saya pulang rapat di kantor Muhammadiyah melihat ada ramai-ramai, malam yang gelap gulita karena semua lampu di kampung mati dipecahkan oleh regu anak muda tim pemecah lampu yang saya tidak tahu orangnya. Saya ceritakan pula karena malam itu udara dingin saya meminjam jaket hitam milik mertua lalu saya nonton televisi sambil minum teh. Tiba tiba muncul tentara berbaret hijau memerintahkan saya mengikuti dia sambil menodongkan senjata api.

Saya bangkit mengikuti perintahnya sambil di dalam hati marah. Saya ini anak tentara Pak, ini kok malah ditodong oleh tentara. Mendengar itu petugas cepat-cepat menyelesaikan laporannya lalu saya diminta menunggu di suatu ruangan dengan para pimpinan partai Islam. Mereka menyalami saya dan meyakinkan saya kalau korban salah tangkap akan bebas malam itu. Pimpinan partai ini amat tegas kalau bicara. Dia bilang kalau korban salah tangkap tidak dibebaskan anak buahnya akan menggegerkan kota ini. “Semua sudah siap?” Tanya dia pada orang yang mengawalnya. Semua menjawab siap.

“Kang, ingat dengan surat Wal ‘ashri Kang. Untuk memperjuangkan kebenaran kita harus sabar,” kataku.

“Hiya, kita ini sudah sabar. Sabar yang dicampur tegas. Baru efektif,” jawab pimpinan partai yang di IPM dulu sangat senior saya. Saya baru masuk jadi pengurus tingkat kecamatan dan untuk pertama kali ikut Muktamar IPM di Muallimin, dia sudah ketua umum pusat IPM. Saya kemudian tahu kalau dia masih ada jalur keluarga, dari jaringan keluarga Karangkajen.

Betul. Malam itu semua korban salah tangkap dibebaskan. Petugas yang tadi membaca kartu pers saya berbisik bahwa bukan pihaknya lho yang merancang peristiwa ini. Saya mengangguk dan maklum.

Dari peristiwa salah tangkap ini kemudian organisasi resmi wartawan membagi rompi untuk identifikasi wartawan kalau meliput pemilu dan saya jadi memahami anatomi kekerasan atau kekisruhan dan bentrokan buatan yang menjadi acara rutin setiap ada pemilu. Ketika suatu hari saya saya konfirmasi dengan Mas Dar atau Darmanto Yatman, dia membenarkan dengan mengatakan ada data tentang itu di Jawa Tengah.

Setelah peristiwa ini, saya juga bisa membaca surat Al-‘Ashr dengan cara berbeda. Berbeda dengan ketika masih sekolah di SD Muhammadiyah yang ketika akan pulang kami selalu membaca surat ini dengan suara gemuruh sambil memukul-mukul meja karena gembira. Lalu kami keluar kelas sambil berlari menerobos jalan kampung menuju rumah.

Yogyakarta, 12-16 Juli 2021.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik