“Berita Acara” dari Tuhan
Di Langgar Etan Menturo, siapa saja anak baru yang datang ikut mengaji (dan terus tidur dan semalaman di Musholla itu) akan mengalami “perpeloncoan”. Panitia plonconya terutama para Senior, Guk Sot alias Markesot, Guk Dul, Guk Maskan dll. Tapi bisa juga sesama Yunior.
Yang diujikan tidak main-main. Ialah dinilai sikapnya, responsnya, terutama berani atau takutnya kepada Setan. Caranya, anak itu harus melepas baju, kaos, celana, dan semuanya. Tinggal sarung saja. Kemudian ia harus berjongkok. Salah seorang pemelonco memegang pucuk sarungnya. Seperti kurungan kain yang menutupinya. Kemudian sambil si terpelonco berjongkok meringkuk di dalam kain, Senior memerintahkannya untuk menirukan semacam mantra. Itu wasilah atau prosedur atau aji-aji agar Setan datang.
“Antar kakasaaam
Abu kaukummmmm
Montér séséééh……..!”
Jangan tanya apa artinya. Mantra kok diminta artinya. Berarti belum pernah punya referensi tentang Kredo Sutardji Calzoum Bachri. Membebaskan kata dari makna. Kalau Goenawan Muhammad: Membebaskan kata dari pesan. Entah pesan arti, pesan moral atau apapun. Pokoknya kata jangan dibebani apa-apa kecuali kata itu sendiri. Adapun bunyi mantra di Langgar Etan untuk memanggil Setan itu mirip-mirip yang di lakon Alibaba dalam pentas-pentas Ludruk.
Kalau ada gejala puting beliung, anak-anak kecil Menturo meneriakkan mantra juga, tapi agak lebih puitis:
“Angin gedhe muliho
Angin cilik tekoo
Ombak-ombak kali segoro
Iblis minggat rejeki teko”
Begitu selesai si terpelonco menirukan mantra, si Senior seketika mencabut pucuk sarung itu, kemudian ia berlari menjauh, sementara semua yang menyaksikan tertawa terbahak-bahak.
Sebab di terpelonco tinggal sendirian dalam keadaan telanjang. Kalau sampai dia bertanya “Mana setannya?”
Yang lain menjawab “Yo dapurmu iku”.
Biasanya si korban langsung mengerti, merasakan, dan memahami bahwa ia “dikerjain”. Diplekotho. Kemudian biasanya ia juga langsung berlari mencari tempat yang tertutup sambil menutupi bagian auratnya. Setelah itu pelan-pelan ia berjuang untuk memperoleh kembali sarungnya.
Sejak kecil saya dilatih untuk berjuang. Saya tidak mau ditelanjangi oleh Belanda, oleh globalisasi, oleh langkah negara dan pemerintah yang mengaku sedang menyelenggarakan pembangunan, padahal faktanya perusakan dan penghancuran.
Kita harus rebut kembali sarung martabat itu. Dan para pejuang Indonesia membuktikannya bahkan dengan radikal perjuangan mereka untuk merebut kembali sarung kemerdekaan mereka dari Belanda. Sayangnya setelah itu sampai terutama dua dekade terakhir ini sarung nasional Negara dan Bangsa kita malah kita cabut sendiri. Dan bangsa kita berjongkok, meringkuk, dalam keadaan aurat tidak tertutup. Kehilangan harga diri dan kehormatan sebagai manusia dan bangsa.
Sekarang kita bahkan punya alat baru yang namanya Internet, Dunia Maya, Media Sosial dengan banyak Aplikasi-aplikasi yang kita gunakan secara sangat efektif dan radikal untuk saling plorot-plorotan sarung dan kathok, untuk saling memperhinakan dan menyesatkan.
Indonesia, yang penduduknya mayoritas Kaum Muslimin, justru menjadi percontohan teladan bagi suksesnya Iblis.
قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّهُمۡ أَجۡمَعِينَ
Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya”.
Kita punya kata-kata mutiara “Hidup ini tidak semudah membalik telapak tangan”. “Life is not not as easy as turning your palm”. Itu sudah tidak berlaku sejak kita memasuki “Cyberspace”. Dengan percepatan luar biasa lalu lintas informasi dan komunikasi, sambil jongkok buang air besar di Jumbleng, kita bisa pegang handphone dan klik-klik menulis penghinaan kepada siapa saja yang kita mau”. Bisa sebarkan fitnah, hoax, berita palsu, informasi bohong, penistaan, penghancuran karakter, share hasil pencurian konten, atau apa saja dengan mudah dan hanya butuh waktu beberapa detik.
أَلَمۡ تَرَ أَنَّآ أَرۡسَلۡنَا ٱلشَّيَٰطِينَ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ تَؤُزُّهُمۡ أَزّٗا
“Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasut mereka berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh?”
Kalau belajar dari perpeloncoan di Langgar Etan Menturo tadi, sejak kecil anak-anak sudah tahu bahwa kalau mau mencari Setan jangan melongok-longok ke sana kemari. Setan bersemayam di dalam dirimu masing-masing.
Setan bukan memedi, bukan hantu, gendruwo, thothok kerot, wewegombel, mukarata, kakitiga, kemamang atau banaspati. Setan bukan seonggok benda, bukan sesosok jasad. Setan itu energi liar di dalam jiwamu. Setan itu jutaan bakteri negatif yang mengaliri darahmu. Setan itu percik-percik tidak kasat mata yang membercaki jantung dan paru-parumu. Setan itu software di dalam hatimu. Setan itu aplikasi-aplikasi di dalam mesin kehendak dan nafsumu.
Kenapa sih manusia modern tidak mau meriset ini? Kenapa para pakar ilmu modern tidak mau memahami ini? Kenapa para ahli modern tidak mau mengakui esensi dan substansi kemakhlukan Setan ini?
Kalau Setan itu berupa monster dengan wajah menakutkan, ayo silakan temui aku. Kalau Syaithan itu menjelma jadi raksasa mengerikan, sini aku tadahi dengan dada telanjangku. Bahkan kalau Iblis dan Dajjal hadir secara fisik, ayo kéné tubrukan ta gepuk-gepukan karo aku.
Tapi masalahnya Iblis, Dajjal, Setan sudah berhasil mengelabui pengetahuan manusia. Sudah lama sukses memperdaya ilmu manusia. Bahkan semakin lama semakin berkuasa merekrut manusia-manusia dalam jumlah yang semakin besar untuk dipekerjakan menjadi karyawan dan buruh-buruh mereka. Bahkan kaum cerdik pandai mempersembahkan kepada Iblis Dajjal Setan peralatan yang tercanggih yang mampu menghasilkan lipatan percepatan dan efektivisasi informasi dan komunikasi. Dan sekian ratus juta manusia dengan sukarela menyerahkan diri untuk gugur gunung membangun peradaban Iblis, Dajjal, dan Setan.
Semua informasi dari Allah Swt langsung tentang dahsyatnya neraka tidak pernah benar-benar membuat manusia takut. Ada ratusan ayat-ayat Allah yang menggambarkan betepa mengerikannya neraka, tetapi itu tidak membuat manusia mengurangi kedhaliman dan kemaksiatannya. Baik maksiat teologis, maksiat moral maupun maksiat intelektual atau pemikiran. Dan itu semua justru semakin merajalela di Peradaban Millenial sekarang ini.
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيم
وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
“Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang diusir.”
“Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.”
Semua orang beragama mempercayai adanya Neraka. Bahkan hampir semua manusia juga percaya dan sadar akan adanya Neraka. Tetapi di bawah sadarnya, mungkin mereka sendiri tidak tahu, bahwa diam-diam mereka menganggap Neraka itu khayal, mitologi, halusinasi alias omong kosong. Sebab praktik hidup manusia di dunia tidak mencerminkan kenyataan bahwa mereka benar-benar menyadari akan adanya Neraka. Kalau mau manusia berubah, Neraka harus hadir sekarang, di depan mata kepala mereka semua. Atau sekarang mereka dicemplungkan ke dalam Neraka. Misalnya diwakili bencana alam macam-macam dan besar-besaran. Baru akan muncul kesadaran dan kepercayaan yang sungguh-sungguh.
Kalau saya berterus terang, saya mengenali di kedalaman lubuk jiwa manusia terdapat semacam “chip” yang diinstallkan oleh Iblis yang membuat manusia diam-diam tidak peraya kepada Allah, tidak mengakui bahwa Allah Maha Kuasa, dan secara sembrono berlaku seakan-akan manusialah yang paling berkuasa. Tetapi kalau ada yang mewancarainya atau melakukan penelitian, kesadaran manusia tidak akan mengakuinya. Sebagaimana mereka juga diam-diam membantah “berita acara” Allah berikut ini:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ
قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ
Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami Bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap keesaan Tuhan”.
Manusia membantahnya dengan berbagai cara. Lho kapan saya janji? Mana buktinya? Siapa saksinya? Mana fakta hukumnya, rekaman atau catatan berita acara tertulis yang ditandatangani bersama? Seakan-akan itu kasus hukum yang menyangkut seorang Pencopet di Pasar Bringhardjo.
Kreativitas ilmu dan eksplorasi pengetahuan peradaban modern sangat maju dan canggih. Tetapi tidak mengarah ke “Sulbi Adam” itu.