CakNun.com

Berakrab terhadap Al-Qur’an

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 6 menit
Foto: Adin

Kasus pelembagaan Jawa yang diperlihatkan melalui proyek Javanologi di abad lalu turut menginspirasi pelembagaan tafsir di Indonesia. Kecenderungan demikian akhirnya memunculkan kedudukan hierarkis: tafsir menempati posisi atas karena keilmiahannya, sedangkan tadabbur ditempatkan bawah lantaran status keinformalannya.

Apalagi posisi tadabbur berdekatan dengan “perenungan pribadi atas Al-Qur’an” yang keluarannya berupa manfaat bagi individu seseorang. Dengan kata lain, tafsiran berpretensi mengarah kepada kebenaran, sementara tadabbur berdampak kemanfaatan—sekurang-kurangnya untuk orang itu sendiri. Kebenaran biasanya lekat akan metodologi ilmiah dan sejarah tafsir memang berurusan dengan ‘Ulumul Qur’an yang kelak dikembangkan pada ranah ragam serta standar ilmiah (Badrudin, 2020: 02).

Penghadiran Al-Qur’an dan tafsirannya di Indonesia merupakan proyek kelembagaan Menteri Agama pada tahun 1972 (Kementerian Agama RI, 2010: xxiii). Pada titimangsa itu pemerintah membentuk tim penyusun yang dinamai sebagai Dewan Penyelenggara Penafsir Al-Qur’an. Pimpinannya adalah Profesor R.H.A. Soenarjo, S.H. (lihat keputusan Menteri Agama No. 90 Tahun 1972). Setahun setelahnya, tim itu disempurnakan dengan pergantian ketua tim bernama Prof. H.A. Ghani, dan terus mengalami penyempurnaan di masa Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML pada tahun 1980.

Tafsir Al-Qur’an versi Kementerian Agama dikerjakan bertahap. Ia tak langsung utuh 30 juz. Pada tahun 1975 menghasilkan jilid satu yang memuat juz 1 sampai 3. Tahun-tahun berikutnya menyusul jilid-jilid lain yang dicetak dengan kualitas serta format sederhana. Tahun 1990 versi terjemahan tersebut diperbaiki, tetapi lebih memfokuskan pada aspek kebahasaan hasil tafsirannya.

Pendek kata, tahun 2007 tafsir Al-Qur’an terselesaikan. Memuat pembahasan juz 1 sampai 30. Namun, hasilnya diterbitkan bertahap. Terdapat lima tahap sebagai berikut. Pertama, tahun 2004 menerbitkan juz 1 sampai 6. Kedua, tahun 2005 juz 7 sampai 12. Ketiga, tahun 2006 juz 13 sampai 18. Keempat, tahun 2007 juz 19 sampai 24. Kelima, tahun 2008 juz 25 sampai 30. Setiap cetakan kemudian disosialisasikan supaya gayung bersambut terhadap masukan masyarakat. Masukan itu guna disempurnakan di kemudian hari.

Tadabbur Maiyah Padhangmbulan

Paparan terakhir di atas memperlihatkan betapa tafsiran Al-Qur’an benar-benar melembaga di Kementerian Agama. Ia menjadi semacam kerja produksi pengetahuan “resmi” skala nasional yang terus dilakukan selama 36 tahun, terhitung sejak 1972 sampai 2008. Wacana ‘Ulumul Qur’an sebagai subjek kajian di belakang kerja-kerja penafsiran melandasi proses keseluruhan.

Kecenderungan ini secara implisit mengandung metodologi yang ketat terhadap pendekatan Al-Qur’an. Diskursus pengkajian Al-Qur’an karenanya sukar dilepaskan dari kerja akademik, bahkan disokong melalui mekanisme birokratis pemerintahan Indonesia. Posisi tadabbur di satu pihak memang tergeser secara sistematis dan kedudukan tafsiran di pihak lain menjadi dominan.

Dalam ungkapan lain, “pengakraban” Al-Qur’an sejauh ini ditempuh melalui prosedur ilmiah yang ketat dan dengan sendirinya ia justru membuat jarak bagi masyarakat umum. Padahal, masyarakat Indonesia itu heterogen yang tentu bukan sekadar didominasi oleh kalangan akademisi. Produksi tafsiran kenyataannya lebih cocok bagi kalangan sekolahan semacam itu. Mendudukkan tafsiran lebih dari segalanya lambat-laun justru memberikan jarak terhadap masyarakat umum.

Tidak akan bermasalah bila tafsiran dan tadabbur menempati posisi setara. Paling tidak sejarah pelembagaan tafsiran berlaku demokratis serta tetap mengakomodir ruang-ruang tadabbur bagi masyarakatnya. Namun, jauh panggang dari api, sejarah pelembagaan tafsiran menempati posisi mapan di Indonesia, sedangkan hampir kurang memberikan ruang memadai bagi tadabbur.

Pernyataan di atas tidak berarti produk tafsiran kurang penting. Tentu ia penting sebagai bagian dari diskursus produksi pengetahuan. Akan tetapi, dominasinya seolah-olah menenggelamkan tradisi tadabbur yang pada dasarnya merupakan “kajian imaniah amaliah” (lihat, Tadabbur Maiyah Padhangmbulan: 7). Lebih lanjut, pentingnya tradisi ini dalam subbagian “Mengapa Tadabbur” dijelaskan Ahmad Fuad Effendy (Cak Fuad) sebagai berikut:

Yang diperlukan bukan pemahaman Al-Qur’an secara meluas atau mendalam, tapi cukup memahami makna ayat secara umum kemudian melakukan perenungan, penghayatan, lalu mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, pilihan ayat-ayatnya pun disesuaikan dengan kebutuhan untuk pembangunan jiwa dan kehidupan.

Tadabbur sebagai perenungan, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an memberikan wilayah “imaniah amaliah” lebih utama daripada tafsiran yang mengutamakan disiplin akademik. Sebagaimana pertanyaan awal di tulisan ini “mengapa kita berjarak terhadap Al-Qur’an” karena itu terjawab dengan kehadiran laku tadabbur. Ia bertujuan kontekstual dan berdampak kemanfaatan bagi individu. Sesuatu yang mungkin kurang terengkuh ketika berjibaku pada produk tafsiran Al-Qur’an.

Sekalipun begitu, seperti ditandaskan Cak Nun dalam subbagian “Al-Qur’an Kitab Utama Umat Manusia” (lihat, hlm. 10), kegiatan tafsir maupun tadabbur tak boleh dipisahkan karena keduanya “sama-sama penting dalam posisinya masing-masing serta dalam harmoni dan keseimbanganantara keduanya.”

Upaya mengakrabkan Al-Qur’an kepada masyarakat, dengan demikian, dapat secara efektif melalui pergumulan tekstual maupun kontekstual yang disajikan dalam Mushaf Al-Qur’an: Tadabbur Maiyah Padangmbulan (2021). Kitab ini mengisi kekosongan produksi pengetahuan berupa tradisi (ber-)tadabbur di Indonesia yang belakangan semakin lenyap di balik mengemukanya aneka ragam produksi tafsiran.

Tadabbur mengajak setiap orang tanpa pandang latar belakang sosial, ekonomi, maupun budaya untuk lebih berakrab sekaligus berkhidmat kepada Al-Qur’an.

Exit mobile version