Belajar Tumbuh dengan Baik dan Selamat di Hadapan Allah
Mbah Nun melanjutkan pertanyaannya, akibat pandemi ini apa yang berubah di dalam dirimu? Yang dimaksud berubah adalah kalau dulu kita kepengin begini, sekarang kepengin begitu. Apakah nafsu manusia berubah selama pandemi? Pamrih-pamrih di dalam diri manusia ada yang berubah atau tidak selama pandemi ini? Buktinya yang kepengin korupsi tetap korupsi, yang haus jabatan tetap mengejar jabatan. Jadi apa yang berubah selama pandemi ini? Yang terpenting itu kita mengetahui diri kita sendiri. Misalnya kalau kita berasal dari Sidoarjo, menjadi mahasiswa, orang Islam, dst. Kita ya anak Sidoarjo, kita ya mahasiswa, kita ya orang Islam, dst. Jadi, menurut Mbah Nun, kita harus mengambil jarak dari diri yang bermacam-macam. Karena kita sebagai mahasiswa ‘kan beda dari kita sebagai laki-laki.
Jadi, pengambil jarak adalah kita mengerti proporsi. Kalau urusan kita di dunia hanya mencari makan, maka kita sama dengan kambing. Baru ketika kita kuliah atau sekolah, kita berbeda dengan hewan — yang hidup hanya kepengin makan. Maka orang hidup harus bisa menata dirinya dan mengambil jarak dari diri ‘a’ dan diri ‘b’, misalnya.
Menemukan Beda Antara Diri Sebagai Gender dan Diri Sebagai Manusia
Kalau di Maiyah kesadaran mengambil jarak dengan dirinya sendiri misalnya kita ini misalnya terdiri dari makhluk (materi), materi yang tumbuh (tumbuh-tumbuhan), terus kita tidak hanya tumbuh tapi juga bisa bergerak, selanjutnya kita tidak hanya bergerak saja tetapi juga berpikir. Jadi manusia itu, menurut Mbah Nun adalah materi yang berkelengkapan. Berkelengkapannya macam-macam itu maka disebut manusia. Kalau manusia cita-citanya itu tidak dengan hikmah dan kelengkapan kemanusiaannya, maka dia tidak lulus sebagai manusia.
Mbah Nun menegaskan kembali bedanya kita sebagai laki-laki atau perempuan dengan kita sebagai manusia. Kalau kita sebagai laki-laki urusannya melihat orang lain hanya pada perempuan atau laki-lakinya, sedangkan kalau kita sebagai manusia sudah tidak ada laki-laki atau perempuan, karena yang kita lihat manusianya.
Jadi, menurut Mbah Nun, selama ini ada rebut masalah gender itu karena kesadaran kita belum manusia, masing memandang orang sebagai laki-laki atau perempuan. Misalnya di Maiyahan kenapa kok antara laki-laki dan perempuan tidak disekat? Menurut Mbah Nun, karena di Maiyah sudah tidak ada laki-laki atau perempuan, yang ada adalah manusia, muslim dan bertuhan. Bahwa kita laki-laki atau perempuan itu urusan kita masing-masing. Jadi kita mau sebagai manusia, laki-laki atau perempuan itu ada di kesadaran kita.
“kita harus bisa mengambil jarak dari positioning bermacam-macam diri kita itu supaya kita tidak ngawur.”. Tegas Mbah Nun
Termasuk urusan Covid-19 ini, menurut Mbah Nun, menguji kemampuan kita untuk menentukan jarak dan memahami jarak-jarak di dalam diri kita masing-masing. Mbah Nun mengungkapkan bahwa tiga bulan yang lalu menurut dokter beliau difatwa terkena Covid-19. Mbah Nun akhirnya disuruh vaksin, dan beliau mengiyakan, manut. Karena menurut Mbah Nun, meskipun beliau tidak disuruh vaksin, beliau sudah melakukan vaksin sendiri. Cara vaksin Mbah Nun tidak sebagaimana orang lain. Buktinya, menurut Mbah Nun, selama ini beliau tidak terkontaminasi kapitalisme dan tidak terkena virus politik. Mbah Nun seharusnya dulu bisa menjadi presiden tapi beliau memilih tidak melakukannya karena beliau tidak mau terpapar virus kapitalisme dan politik.
Imuntropologi
Pada pertemuan siang itu, Mbah Nun punya istilah menarik perihal imunitas. Istilah Imuntropologi, menurut Mbah Nun adalah imunitas berdasarkan peta antropologi umat manusia. Maksudnya misalnya di Malaysia dengan penduduk berkisar 30 juta tingkat keterpaparannya sangat tinggi dibanding penduduk Indonesia yang berkisar 300 juta orang. Tapi kalau melihat prosentase di Malaysia dengan Indonesia jauh. Menurut pengamatan Mbah Nun orang Indonesia terlihat agak bandel dibanding Malaysia. Yang menakutkan masyarakat selama ini ‘kan isu dan berita mengenai Covid-19.
Pertanyaan berikutnya, adakah penelitian atau ide untuk melihat imunitas antropologis pada sekelompok manusia yang berbeda dengan sekelompok manusia lain? Karena kalau melihat cara penanganan pemerintah terhadap Covid-19 ini dan dengan kondisi masyarakat yang bandel, Indonesia sudah jebol tingkat keterpaparannya. Surabaya sekarang sudah level satu, sedangkan Yogyakarta masih level 3. Padahal kalau dilihat penduduk Surabaya lebih bandel dari Yogyakarta.
Maksud Mbah Nun adakah penelitian untuk melihat imunitas antropologis itu? Karena hal ini tidak hanya menyangkut soal penyakit, karena di wilayah apapun lainnya di dalam kehidupan manusia itu ada, kalau dulu Mbah Nun mengistilahkan etnotalentologi. Etnotalentologi itu maksudnya ikan sama burung itu ‘kan beda. Kalau ikan jangan kepengin terbang, begitu juga kalau burung jangan kepengin berenang. Berarti kalau orang Malaysia, China, Korea, Indonesia maupun Amerika itu ‘kan makhluknya berbeda-beda secara antropologis. Misalnya kalau orang Indonesia itu tingkat ketahanannya luar biasa. Pada masa pandemi ini orang Indonesia tenang-tenang saja, seolah-olah tidak ada masalah ekonomi. Padahal secara teoritis dalam keadaan seperti ini seharusnya meningkat pesat tingkat kriminalitas. Tapi di Indonesia itu tidak terjadi.
Jadi kelihatannya ada kondisi khusus pada orang Indonesia secara fisik, juga kalau diteliti mental orang Indonesia berbeda dengan orang Korea. Sederhananya orang Surabaya dengan orang Yogyakarta mentalitasnya ‘kan berbeda. Perbedaan soal antropologi itu tidak hanya soal kesehatan fisik, tetapi juga soal mental, budaya, spiritual, dst.
Kemantapan Al-Qur’an dan hadiah Maiyah
Menyambung apa yang beberapa bulan lalu Mbah Nun dan Mbah Fuad lakukan mengenai penerbitan Mushaf Tadabbur Maiyah Padhangmbulan. Pada siang itu, Mbah Nun menegaskan bahwa selama ini sekolah Mbah Nun hanya Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an itu tidak ada ragu-ragu, pasti mantap, pasti benar, tidak ada stres, tidak ada paranoid, bahkan Al-Qur’an itu sebagai penawar atau syifa’.
Jadi menurut Mbah Nun, Al-Qur’an itu zona paling nyaman. Bahkan menurut Mbah Nun, karena beliau sangat menghormati Al-Qur’an, maka Allah menghadiahkan Maiyah. Maiyah itu bukan hadiah Tuhan untuk Indonesia, Maiyah itu hadiah Tuhan lewat Mbah Nun untuk siapa saja manusia yang mau menerimanya.
Maiyah itu bukan parpol, bukan ormas dan bukan sesuatu yang pernah ada. Gampangnya, yang pernah ada itu bukan Maiyah. Definisi sederhana Maiyah itu pokoknya bukan seperti yang sudah ada.
“Jadi kalau Indonesia mau melakukan apa-apa jangan bertanya ke Maiyah. Karena Maiyah tidak punya tugas di Indonesia.”, tegas Mbah Nun.
Maiyah itu hanya untuk manusia yang mau sinau dan ingin membangun dirinya masing-masing. Bahwa nanti di antara kita ada kerja sama, koalisi, persatuan jaringan, ya Alhamdulillah. Tetapi, menurut Mbah Nun, nanti berakibat untuk Indonesia ya tidak masalah, yang penting tidak niat mengubah Indonesia. Niat Maiyah pokoknya memperbaiki manusia. Maka Mbah Nun melakukan perbaikan manusia itu sampai Padhangmbulan berusia 29 tahun, Bangbang Wetan 15 tahun, dan simpul lain yang sudah puluhan tahun.
Maiyah itu hanya ikut menemani kita tumbuh dengan baik dan selamat di hadapan Allah.