CakNun.com

Belajar Sastra Kepada Kitab Suci

Lohanna Wibbi Assiddi
Waktu baca ± 2 menit

Suatu ketika, dalam ketermenungan, saya tiba-tiba berpikir Al-Qur’an adalah sebuah kitab sastra paling besar. Paling besar di sini maksudnya adalah sebuah karya sastra di atas karya sastra kebanyakan dari sejak zaman Nabi Adam hingga ketika alam dihancurkan.

Pemikiranku bahwa Al-Qur’an adalah karya sastra akhirnya saya abadikan dalam sebuah tulisan ilmiah. Tulisan inilah yang kemudian menjadi harapan saya memperoleh gelar. Awal pemahaman Al-Qur’an adalah sastra tidak ujuk-ujuk datang.

Sastra, khususnya dalam bidang puisi, sudah saya geluti sejak lama. Struktur puisi dalam kerja kebanyakan sama dengan struktur tata bahasa Al-Qur’an. Bagi saya, Al-Qur’an sama dengan kitab sastra, diturunkan oleh Tuhan pada manusia sebagai pengingat dan petunjuk jalan.

Tapi, apakah Tuhan pantas untuk berpuisi. Perkara ini sebenarnya sangat mudah sekali. Jika Tuhan tidak pantas untuk berpuisi maka gelar ketuhanan yang disandangnya harus dihilangkan. Karena Tuhan maha segala-galanya, dan oleh sebab itu Tuhan bisa berbuat kehendaknya, tanpa dibatasi oleh aturan apapun.

Sepemahaman-ku Tuhan hanya membuat satu teks karya sastra, yakni pada teks kitab suci Al-Qur’an. Al-Qur’an jika dikaji lebih jauh maka sebenarnya adalah karya sastra yang sangat tinggi. Memadukan antara puisi, cerpen, dan juga novel. Tapi jika dilihat dalam pengertian karya sastra non-teks maka Tuhan sejak awal sudah memiliki kesenangan dalam hal sastra.

Bumi, matahari, dan segala yang ada di sampingnya. Kemudian semesta yang lebih luas, lalu semesta manusia yang lebih luas lagi. Adalah sebuah karya sastra dari Tuhan, maka dari itu semua instrumen di sekitar kita sebenarnya tertarik oleh benang merah sastra yang Tuhan ciptakan.

Merujuk kepada pengertian dari sastra, bahwa sastra adalah sebuah ekspresi dari pemikiran, ekspresi dari sebuah rasa yang diungkapkan oleh media bahasa. Media bahasa yang kami maksudkan disini jangan diartikan sebagai hanya pada bahasa seperti pemahaman sekarang ini. Bahasa dalam konteks sastra yang saya pahami adalah semua unsur yang ada di dalam alam semesta.

Kenapa bisa demikian? Jika Anda sedikit memperhatikan maka setiap  gerak alam semesta dinamakan dengan bahasa. Seorang psikolog dengan mudah menebak lawan bicaranya hanya dengan melihat gerak tubuhnya. Gerak tubuh ini sering dinamakan dengan bahasa tubuh. Kemudian dalam dunia hewan jaga begitu, hewan memiliki bahasanya sendiri-sendiri.

Jadi karena Tuhan memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap Nur Muhammad, sebagai makhluk pertama, maka Tuhan menciptakan alam semesta sebagai wujud dari ekspresi cintanya, ekspresi rasa dari Tuhan.

Dan sebagai Sastrawan maka Tuhan memiliki wewenang sungguh tinggi terhadap semua ciptaan-Nya, khususnya kepada manusia. Manusia yang dikatakan sebagai makhluk paling mulia memiliki sifat-sifat kecil dari sifat-sifat Tuhan. Maka tidak heran jika mereka bisa menjadi sastrawan, sama seperti Tuhan.

Sastrawan tentu sudah sangat dekat dengan Tuhannya, karena itulah setiap kali ada sastrawan meninggal tentu dia akan disambut dengan lantunan puisi oleh Tuhan dan para Malaikat. Begitu juga dengan Umbu Landu Paranggi, sastrawan zuhud, yang mendidik para muridnya dengan baik. Darinya muncul sastrawan-sastrawan besar.

Bagi kami anak milenial tentu tidak bisa menikmati sosok Umbu dalam berpuisi. Tapi dari murid-muridnya sosok umbu sebagai sastrawan besar terpancar cerah.

Lainnya

Topik