Belajar kepada Orang Barat
Saya banyak sekali belajar kepada Mas Ian Leonard Betts. Saya belajar kepada Pendeta Art Vilberg selama keliling 19 kota Belanda dengan KiaiKanjeng. Saya sangat banyak belajar kepada Prof. Martin Courtinbrouwer selama 2 tahun di Institute of Social Studies di The Hague Netherland. Saya belajar banyak kepada Pendeta Hoffman dari Utrecht hingga Amstelveen selama terlunta-lunta di Negeri Belanda tidak bisa pulang ke Indonesia. Secara pribadi saya banyak belajar kepada Charles McGeehan, Mark Blavatsky, Harriet Levin, Alan Feinstein, Michael Bodden, teman-teman sastrawan sedunia di Iowa, Pak Peter van Lelieveld di Utrecht fans-nya Bu Halimah Menturo, serta sangat banyak lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu.
Saya orang Timur belajar kepada orang Barat. Saya belajar bahwa selama 350 tahun bangsa Indonesia bukannya persis dijajah sebagaimana pengertian padat imperialisme dan kolonialisme yang dikenal dalam ilmu sejarah. Penjajahan yang lebih substansial, psikologis, sistemik dan struktural, justru dimulai sejak 17 Agustus 1945 meskipun malah hari itu disebut Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Saya belajar dari abad pencerahan Renaissance hingga Revolusi Perancis sampai Globalisasi hari ini tentang penjajahan cara berpikir, yang terkait dan dilandasi oleh hulu-hilir pemahaman terhadap kehidupan, kemanusiaan, dan bumi langit. Saya belajar keterjajahan fikriyah ‘aqliyah hingga ‘aqdiyah kaum muslimin sedunia yang mempelesetkan Jalan Nubuwwah yang dulu dirintis dan dibentangkan ke masa depan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sehingga sekarang ini rasanya tidak percaya-percaya amat bahwa kita ini adalah ummat Muhammad. Kita adalah anak-anak cucu manipulasi Islam, konsentrasi egosentrisme kekuasaan pasca Khulafa ar-Rasyidin.
Saya orang Timur sangat banyak belajar kepada orang Barat. Kelak menjelang tiba di “Cakrawala” Allah memaparkan “La syarqiyyah wala gharbiyyah”. Tetapi tahap pemahaman, taraf pemikiran dan praksis kebudayaan kaum muslimin dunia hari ini masih sangat jauh dari cakrawala itu. Dari posisi kaum muslimin hari ini menuju garis “Sidratul Muntaha”-nya Allah Swt, berseliweran, gaduh, dan riuh rendah makhluk-makhluk penghalang Tauhid yang semakin hari semakin banyak, ruwet dan merajalela tanpa pernah bisa diatasi. Kaum muslimin tidak bisa menembusnya. Tidak mampu mendeterminasi. Tidak sanggup membelah dan memilah. Tidak berdaya untuk mendobrak apalagi melindas. Malah banyak di antara kaum muslimin, termasuk pemimpin-pemimpinnya, yang bergabung di kegaduhan itu, di tengah-tengah lalu lintas “dholuman jahula” zaman dan sejarah. Bukan berjuang menyibaknya agar “as- shirathal mustaqim” terbentang dan kita berbaris berduyun-duyun melaksanakan “man kana yarju liqa`a Rabb”. Malah kita menjadi aktivis penghalangnya.
Saya belajar kepada Mas Ian L. Betts untuk lebih tahu dan lebih mengerti apa-apa saja yang seharusnya saya pelajari supaya tahu. Mas Ian hadir dalam hidup saya tahun 1997 di rumah kontrakan saya dengan Bu Novia di Kelapa Gading. Mas Ian adalah salah satu saksi otentik dari berbagai hal yang lahir dan dilakukan dari Kelapa Gading. Perintisan tetes-tetes atau meme-meme audio di Radio Delta, perintisan talkshow “Gardu” dan tayangan “Cermin” yang kemudian berlanjut sebagai formula tayangan audio-visual di banyak stasiun Televisi. Mas Ian mengerti banyak tentang hari-hari Reformasi yang terkait dengan Pak Harto, Prabowo, Kiflan Zein, teman-teman Hankam, pasukan-pasukan Islam yang bermarkas di Masjid Istiqlal. Bersama Cak Mustafa Akbar di Markas Hamas (Himpunan Masyarakat Shalawat), Mas Ian mempersaksikan gerakan shalawat, yang di tengah proses itu muncul Haddad Alwi, Ustadz Haidar Yahya, Habib Hood Alaydrus, sampai khazanah Guru Zaini Martapura. Juga sekian kali kehadiran KiaiKanjeng, Mini Kanjeng hingga Kanjeng Sepuh ke Jakarta dengan markas Kelapa Gading.
Suatu hari Mas Ian menyertai saya memenuhi undangan diskusi di Melbourne Australia. Mas Ian tidak hanya sigap menjadi translator saya, tapi ia juga dengan sangat progressif mengkerjasamai berbagai pihak di Melbourne untuk acara-acara lain dengan saya. Saya”belajar kepada orang Barat” tentang kesungguhan, ikhtiar kreatif, upaya-upaya menembus keadaan, membelah, mendirikan, menyelenggarakan, mempertemukan manusia-manusia dan pemikiran.
Mas Ian seperti menjalankan sifat Rasulullah “Tabligh”, mensosialisasikan nilai-nilai yang diperlukan oleh seluas dan sebanyak mungkin ummat manusia. Untuk “Tabligh” Mas Ian membangun “Amanah” kepada semua pihak yang ia berinteraksi. Dan supaya “Amanah” modal utama Mas Ian adalah “Siddiq”. Kesungguhan pikiran, hati, sikap, dan perjuangan. Andaikan tidak ada Mas Ian yang membersamai saya di Melbourne waktu itu, yang bisa saya capai dari peluang amal saleh itu mungkin paling jauh hanya seperempatnya.
Juga ketika Mas Ian bergantian dengan Sabrang menemani KiaiKanjeng berkeliling Eropa, beberapa Negara yang berakhir di Negeri Belanda. Mas Ian adalah dewan pertimbangan Maiyah di bidang hubungan-hubungan internasional dan eksplorasi nilai-nilai Maiyah untuk peradaban mondial. Mas Ian berhijrah dari London ke Jakarta. Beberapa tahun belakangan ia ditaruh oleh Perusahaannya untuk mengepalai Cabang di Bangkok Thailand. Dan tulisan ini merupakan harapan, doa, dan kerinduan karena Mas Ian sedang dalam proses untuk kembali ke Jakarta dalam waktu secepatnya.
Mas Ian Hijrah dari masa silamnya ke Islam. Dan saya seperti tidak percaya bahwa pada suatu siang di sebuah Masjid di tepi sungai yang membelah kota Bangkok, saya bertiga Mas Ian dan Bu Novia melakukan shalat jamaah dluhur. Kalau Mas Ian mengambil keputusan untuk memeluk Agama Islam, maka ia sungguh-sungguh memeluk Agama islam. Sungguh-sungguh aqidahnya, imannya, ibadah ilahiyahnya, akhlaqnya, perilaku, dan perjuangannya.
Jangan lupa Mas Ian yang mendorong proses dan diterbitkannya buku tentang saya “The Silent Pilgrimage” dengan spirit dan energi yang melebihi saya sendiri. Sebagaimana pernah saya ceritakan “Umbu”nya Amsterdam asli Amerika Serikat, Charles McGeehan, mengejar-ngejar menerjemahkan puisi-puisi saya dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris lebih dari saya sendiri menginginkannya. Mas Ian adalah salah satu “Menteri Utama” Negeri Maiyah yang saya mohonkan kepada Allah Swt agar kami dianugerahi waktu yang sepanjang-panjangnya untuk saling berinteraksi dan beramal saleh.
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم
مِّنَ ٱلنَّبِيِّۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقٗا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para Shiddiiqiin, Syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Mas Ian adalah anugerah dari Allah kepada saya dan Jamaah Maiyah semuanya. Dengan bahasa Allah Swt Mas Ian adalah “wa hasuna ula`ika rafiqa”. Ia adalah teman yang sebaik-baiknya.
Meskipun saya mengatakan “belajar kepada orang Barat”, sekarang Mas Ian sudah bukan lagi orang Barat. Juga bukan orang Timur. “La syarqiyah wala gharbiyah”. Tidak lagi Timur tidak lagi Barat.
Dulu almarhum Ustadz Yasin Hasan Abdullah Pasuruan mengungkapkan hati berangnya terhadap acuan berpikir dari seorang Muballigh kondang yang mencita-citakan kaum muslimin “yang berhati Mekkah dan berotak Jerman”. Sebanarnya tidak salah-salah amat terminologi itu, kalau diingat bahwa persepsi itu hanya melihat sepenggalan zaman modern sekarang ini. Di mana kaum muslimin sangat kagum kepada kebudayaan Barat. Kaum muslimin sangat kepencrut kepada teknologi dan kemewahan budaya Barat. Seperti digambarkan dalam sebuah film yang mengisahkan pejuang Islam Omar Mukhtar, yang sedih hatinya karena murid-muridnya di kelas langsung bubar begitu mendengar bunyi genderang dari pasukan Italia di desa mereka. Ummat Islam seakan-akan bubar ghirrah Islamnya, menjadi rendah hati mentalnya, menjadi hancur pengetahuannya tentang keindahan sejati, karena menyaksikan gemerlap kebudayaan yang datang dari dunia Barat. Padahal hanya dengan menghikmahi kebudayaan lokal Jawa saja, “Ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh”, sebenarnya kaum muslimin bisa bangkit dari mental dan budaya inferiornya.
وَإِذَا رَأَوۡاْ تِجَٰرَةً أَوۡ لَهۡوًا ٱنفَضُّوٓاْ إِلَيۡهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمٗاۚ
قُلۡ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ مِّنَ ٱللَّهۡوِ وَمِنَ ٱلتِّجَٰرَةِۚ
وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri berkhotbah. Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.
Mas Ian meneguhkan dengan berbagai pengetahuan dan ilmu bahwa Jamaah Maiyah tidak tergolong pada kaum di muka bumi yang terpesona oleh keindahan jasadiyah dunia. Jamaah Maiyah sudah diberi bukti kegembiraan dan kebahagiaan oleh Allah sehingga mereka memahami apa yang Allah firmankan: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”.
Bagi Mas Ian sendiri Barat dan Timur sudah nyawiji, sudah menyatu di dalam manusia Mas Ian. Mas Ian adalah sebenar-benarnya manusia. Sebenar-benarnya hamba Allah atau ‘Abdullah. Sebenar-benarnya Khalifatullah.