CakNun.com

Belajar Berpuasa dari Meng-ada dan Bertumbuh-nya Maiyah

Amin Ungsaka
Waktu baca ± 3 menit

Setiap makhluk memerlukan ruang dan waktu untuk meng-ada dan bertumbuh.

Pada petikan TETES Mbah Nun “Mengada dan Bertumbuh” di atas, saya mulai memahami maksud Tuhan kepada manusia dalam pentingnya berpuasa.

Mocopat Syafaat 17 September 2019.
Foto oleh Adin (Dok. Progress).

Pada kehidupan manusia modern yang dimaksud meng-ada dan bertumbuh adalah jika sudah mencapai rich dan famous. Merasa ada jika sudah kaya harta dan merasa sudah tumbuh jika sudah dikenal banyak orang. Fenonema manusia modern itu sebenarnya hal yang wajar dalam proses pencapaian nilai hidup manusia. Tetapi Islam mengajak kita tidak hanya berhenti pada pencapaian ada dan bertumbuh pada kaya dan terkenal saja.

Islam mengajak kita untuk meng-ada dan betumbuh pada stratifikasi kualitas nilai dan kesadaran peran dari makhluk, manusia, hamba Allah, dan Khalifatullah.

Puasa kali ini menyadarkan saya pada posisi meng-ada dan bertumbuh. Walaupun rasa yang paling dasar masih mengikat saya pada rasa lapar dan haus.

Posisi lapar yang mengikat saya itu mempertegas keadaan bahwa saya butuh sesuatu. Saya butuh makanan dan minum untuk terus menjaga keadaan kita sebagai makhluk dan sekaligus bertumbuh kesadaran kita — bahwa Allah tidak pernah berhenti berperan.

Dalam rentang waktu puasa, hal mendasar ada di benak saya adalah andai saja Allah selama ini berhenti berpuasa dalam sabar dan pengayoman-Nya terhadap segala kesalahan yang saya perbuat. Pasti jatah keadaan dan bertumbuh saya dari Allah diambil alih menjadi tiada. Semua yang saya perjuangkan dan saya banggakan diambil alih oleh Allah. saya menjadi tiada. Yang ada adalah meng-ada dan bertumbuh saya digenggam oleh Allah. Jadi, rich dan famous bukanlah kebenaran tunggal yang harus saya perjuangkan mati-matian.

Maiyah mengajarkan kepada saya pada cara pandang yang lebih lengkap bahwa rich dan famous bisa diterima jika ujungnya adalah manfaat. Kaya boleh asal kekayaannya digunakan untuk sedekah. Terkenal juga tidak hina, asal keterkenalan kita berasal dari hasil perjuangan kita terhadap kebermanfaatan hidup. Walaupun ujung dari semua itu tetap yang kita junjung adalah Allah dan Rasulullah.

“Maka silaturahmi yang baik antar makhluk, hubungan budaya, peta ideologi, sistem politik, institusi dari urusan mancing ikan sampai Mazhab dalam Agama maupun ideologi Negara — yang baik — adalah yang menyiapkan diri menjadi ruang dan waktu bagi tumbuh suburnya kebenaran dalam kehidupan manusia.”

Allah menawarkan kepada kita kerjasama hidup. Maiyah hadir untuk merespons tawaran kerjasama Allah. Puncak pencapaian nilainya adalah Maiyatullah dan Al-mutahabbina fillah. Sebagai makhluk kita dilatih untuk menghargai sesama makhluk.

Sebagaimana sering diulas Mbah Nun di Maiyahan bahwa kita sebenarnya makhluk bungsu dari semua yang Allah ciptakan: alam, tumbuhan, hewan, manusia, hamba Allah, khalifatullah. Sebagai manusia kita dilatih untuk berbuat baik kepada siapa saja dan ngobrol kebenaran dalam nuansa kegembiraan bukan ketegangan yang berasal dari merasa menangnya sendiri.

Sebagai hamba Allah kita terdorong untuk tekun beribadah, tidak karena paksaan. Karena Mbah Nun melatih kita untuk menemukan kenikmatan dalam berbuat baik.

Sebagai Khalifatullah kita dilatih untuk menjaga dan merawat alam, menjaga dan merawat alam batin cinta kita terhadap Allah dan makhluk-Nya, serta menjaga dan merawat Al-mutahabbina fillah dalam kehidupan sehari-hari kita. Termasuk bergantian mbayari wedang kopi dan berbagi rokok ketika cangkruk di warung kopi. Sambil mencoba menoleh ke belakang, “Andai saja kita tidak bertemu Maiyah, mau jadi apa nasib kita ke depan”.

Bersyukur Allah menghadiahkan Mbah Nun dan Maiyah untuk medan pendadaran kita. Mbah Nun sudah nebus “mas kawin” Maiyah dengan tirakat, perjuangan, dan jalan sunyi-nya. Sehingga Maiyah dengan mudahnya diterima dan berjodoh dengan siapa saja.

Kemudian Maiyah mengingatkan kita untuk sabar dalam cara berpikir, “sak madya ae”, “Tawakkal”, “kersane Gusti Allah” dan “Iman”, dan “seng penting Gusti Allah gak muring-muring”.

Maka Maiyah itu bagaikan tumbu bertemu tutup dengan puasa pada kesadaran saya bulan ini. Maiyah mengajak saya mengembarai nilai-nilai hidup yang bertemu konteksnya pada puasa kali ini. Puasa mengajarkan menahan dan kemudian Maiyah menjabarkan dengan mengajak kita meng-ada untuk mencari apa yang kita butuhkan dan bertumbuh menjadi manusia yang bermanfaat.

Melalui Maiyah kita diajak dan dilatih untuk menyelami Maiyatullah, “Setiap rasa lapar di perut kita, setiap kehausan di tenggorokan kita, setiap rasa sakit dari kesabaran siang hari kita, serta setiap hikmah dan kematangan yang lahir dari itikad kita, langsung direbut dan didekap-Nya. Allah seakan-akan sedang secara terang-terangan mengungkapkan rasa bahagianya karena kita cintai.”

Surabaya, 15 April 2021

Lainnya