Becermin kepada “Karakter Akar” Mendiang Bambang Darto
Almarhum lahir dan meninggal pada 1 Kliwon. Bagi orang Jawa, titimangsa itu membentuk karakter orangnya yang seperti akar. Tak pernah menonjolkan diri.
SastraLiman edisi bulan Juni 2021 tadi malam (06/06) membincang kepenyairan dan keaktoran almarhum Bambang Darto. Momentum diskusi itu juga sekaligus membicarakan antologi puisi teranyar mendiang yang bertajuk Bisik-Bisik yang Diperjelas terbitan Lingkaran Jogja. Cak Nun dan Hamdy Salad turut memberikan tanggapan atas karya tersebut seraya menapaktilasi perjumpaan dan kenangan bersama almarhum selama hidup.
Luwi, putri bungsu Bambang Darto, berada di balik proses penerbitan puisi ayahnya. Ia terharu dapat mengumpulkan serakan arsip yang semula sebagian besar tersimpan rapat di koper tua milik ayah. Sebagai anak paling muda, Luwi merasa terusik bila puisi itu tak terhadirkan ke sidang pembaca. Ia pun menyusun segepok puisi sang ayah dari kisaran tahun 1970 sampai 2018.
Puisi Bambang Darto pernah ikut terhimpun dalam antologi Tugu, Tonggak IV, Pesta Api, dan sejumlah surat kabar lainnya. “Papa, selesai sudah Luwi mewujudkan kumpulan puisi Papa dan ini bentuk syukur dan bakti Luwi dan anak cucu Papa,” tuturnya memberikan sambutan.
Selama aktif di dunia teater dan puisi, Bambang Darto jamak menghasilkan karya tapi tak pernah berniat untuk diterbitkan. Kecenderungan itu dipandang Budi Sardjono, selaku Pimpinan Majalah Sabana, kalau mendiang berkarakter akar atau tak mau menonjolkan diri.
“Ini sesuai tanggal lahir beliau 1 Kliwon. Meninggalnya pun 1 Kliwon. Orang Jawa bilang 1 Kliwon itu karakternya akar. Sesuai karakter beliau memang,” jelasnya. Di luar itu Bambang Darto cukup aktif menulis puisi. Bahkan tahun 1973 puisinya sudah bertengger di Basis.
Kendati proses kepenyairannya telah subur di era 70-an, Bambang Darto tak ikut rombongan Persada Studi Klub (PSK) di Malioboro. Ia lebih aktif di Teater Alam. Namun, Budi menerangkan bahwa beliau mudah bergaul dengan semua orang. Termasuk dengan penggiat PSK.
Diskusi berlanjut dengan paparan Hamdy Salad yang cenderung menengok puisi almarhum. Sejauh analisisnya, puisi Bambang Darto berada di luar kategori-kategori. “Puisinya religius juga tidak, profan juga tidak, sekuler apalagi,” terangnya.
Menurut Hamdy, mendiang acap menerapkan baris dan makna puisinya untuk melihat sekaligus menafsirkan kehidupan sehari-hari. Demikian pula keaktorannya selama ini juga tak luput untuk diterapkan. Itulah sebabnya, lanjut Hamdy, puisi Bambang Darto bukan sekadar teks tertulis, melainkan juga puitika yang diceritakan.
“Dulu yang sering diceritakan dan dibacakan kepada saya sewaktu beliau sering main ke Teater ESKA adalah puisi Laut, Tafsir-Tafsir Cahaya, dan lain sebagainya. Yang saya ingat beliau sering mengatakan, ‘Apik ora Dik?’ kepada saya,” kenang Hamdy.
Tak jarang pula manakala beliau bertanya seperti itu kepada Hamdy, kerap kali Bambang Darto meminta komentar atau kritik. Ingatan tersebut kemudian Hamdy simpulkan kalau almarhum sangat terbuka. Lalu ia menarik satu hal. “Puisinya itu sepertinya juga sebagai salah satu pintu keluar dari realitas. Dan Mas Bambang melihat puisi ke arah sana,” ujarnya.
Senada dengan pernyataan itu, Cak Nun melanjutkan betapa “Mas Bambang” — demikian beliau memanggilnya — memperlakukan puisi sebagai upaya batiniah. “Kalau kita lanjutkan, ada eskapisme dan ada transendensi. Kalau eskapisme itu tidak kerasan lalu keluar, sedangkan transendensi lebih naik level melihat realitas dari atas. Mas Bambang itu majdub,” sambung cak Nun.
Menurut analogi Cak Nun, puisi Bambang Darto bak kota dalam taman. Alasan itu diperkuat dengan aspirasi dan nuansa alam begitu kental dalam sajak-sajaknya. “Beliau menurut saya adalah seorang religius-alam. Maka puisi-puisinya sangat alamiah. Dan saya kelak ingin menulis puisi seperti Mas Bambang sebab selama ini puisi-puisi yang saya hasilkan terlampau terganggu oleh sosial, politik, dan seterusnya,” harap Cak Nun.
Meskipun begitu, Cak Nun memandang Bambang Darto lebih sebagai kakak. Pernah suatu ketika Cak Nun berpapasan dengan beliau dan spontan dipanggil, “Eh iki adikku.” Panggilan itu berlanjut sampai tahun-tahun berikutnya dengan perlakukan hangat laiknya satu keluarga.
“Mas Bambang ini saya kenal lebih dekat ketika beliau di Teater Alam, meski era Malioboro juga sudah mengenal. Orang seperti Mas Bambang itu harus kita tumbuhkan lagi, sirami lagi. Mas Bambang tidak meninggal. Mas Bambang masih ada dengan inspirasi puisi, kenangan, dan cintanya,” imbuh Cak Nun.
Tadi malam Sastra Liman juga membuka forum bagi para sahabat mendiang untuk membacakan puisi Bambang Darto. Eko Winardi, Seteng, dan para kerabat lain tak ketinggalan unjuk kemesraan sekaligus doa melalui sajak-sajak almarhum. Termasuk sejumlah seniman maupun sastrawan Yogya ikut mengerubungi Pendopo Maiyah, Kadipiro. Salah satunya Merit, sahabat mendiang ketika di Teater Alam.
“Kalau bicara Bambang Darto hampir 50 tahun lalu, tahun 1972, paling saya ingat ya ketika latihan dasar seni pemeranan dari jam 7 sampai 10 malam selama tiga bulan.
Saking banyaknya kenangan saya kepada Bambang. Wong dulu kami tiap hari ketemu. Terakhir ya tahun 2013 ketika beliau mengajak saya makan soto. Itu terakhir kalinya setelah sekian tahun tidak ketemu karena kesibukan satu sama lain,” ungkapnya.