Batu Meleleh Jadi Air
Ada baiknya kita menemukan bersama kenapa nama “Gambang Pesisiran” bukanlah sekadar nama rubrik di koran. Bukan ‘Gong’, karena gong hanya tampil sesekali. Bukan ‘saron’, karena saron cenderung berdentang. Bukan ‘kendang’, karena kendang suka membentak pada posisi frontal.
Gambang bergemeremang. Suara dan nadanya penuh dengan kerendahan hati, meskipun ia bukan sama sekali tidak ndudul sukma. la tampil konstan atau ajeg, meskipun tidak se‘abadi’ gender — karena bukankah bangsa kita agak tergolong ‘bernafas pendek’ dalam menempuh berbagai perjuangan?
Gambang bagai suara masthur, nyanyian tersembunyi di balik gemuruh atau kecipak laut. Kalau Anda bisa mendengarkan sunyi samudera, di pantai yang jauh dari kebisingan kapal dan teknologi, mungkin Anda akan menemukan swaraning asepi gambang itu.
***
Dan ‘pesisiran’, bukanlah sebuah kosa kata yang dipilih secara romantik. Semangat pesisiran adalah semangat keterbukaan, kemerdekaan ekspresi, demokrasi dan ‘ketelanjangan’. Berbeda dengan ‘pedalaman’ yang penuh keremangan. Yang ada ‘kamar gelap’ di balik kasunyatan. Yang ada ‘mondolan’ di belakang kepala. Yang ada pamrih tersembunyi di belakang ungkapan-ungkapan.
Indonesia yang kita alami hari ini adalah efek jauh dari pergeseran budaya (dan politik) pesisiran ke budaya (politik) pedalaman. Dari Demak yang going abroad thinking — melalui transformasi Pajang — ke Mataram yang tertutup dan konservatif serta penuh takhayul.
Kita yang bertempat tinggal di Semarang, Weleri, Kendal, Pekalongan, Batang, Tegal, Jepara dan lain-lain — seberapa percaya bahwa Arya Penangsang adalah pemberontak yang jahat sebagaimana sejarah versi Mataram menuturkannya? Di luar hak ‘anak nakal’ itu atas kekuasaan yang diperebutkan dengan Karebet dengan tangan panjang Jebeng Sutawijaya, apakah kita berpendapat bahwa ketidaksediaan Penangsang mengirim upeti betul-betul hanya mencerminkan sikap mbalelo? Jangan-jangan Anda adalah keturunan rakyat Jipang yang miskin, yang Penangsang tidak tega memeras sekadar untuk dipakai sebagai upeti persembahan kepada Pajang.
Saya tidak akan bersikeras bahwa memang demikianlah yang lebih benar dibanding yang selama ini dipahami oleh sejarah Indonesia.
Tapi kita setidaknya berhak bertanya satu sama lain: seberapa jauh pengetahuan dan alam sikap kesejarahan kita tidak terkondisikan oleh suatu versi sepihak selama ini?
***
Namun demi Allah, tulisan ini tak harus pararel secara pragmatis dengan kasus Arya Penangsang. Saya hanya mengambil dimensi universalnya, agar kita sebagai manusia pesisir lebih memahami dan berakar pada kepesisirannya.
Kita semua dan masing-masing adalah manusia, rakyat, anggota masyarakat dan warga negara yang memiliki seribu unsur dan lapisan, yang sebisa mungkin kita urai. Etos pesisiran adalah salah satu kemungkinan hasil penguraian itu. Kita adalah manusia pesisiran yang tidak membanggakan kepesisiran kita hanya dengan takhayul yang kita sendiri tidak memahaminya.
Maka, sebagai salah satu referensi, saya teringat akan ilmu air-nya Nabi Khidlir. Kita barangkali bisa bersama-sama menempuh suatu perjalanan panjang, suatu “gemeremang gambang” yang berjangka jauh, dimulai dengan dialog di bawah ini.
***
Jangkung: Kenapa kekuatan harus bergerak melingkar?
Kalong: Karena segala kejadian harus dikelola menjadi perimbangan.
Jangkung: Kenapa pertahanan tidak boleh membalikkan serangan?
Kalong: Karena hanya ada satu mata air segala kekuatan, dan hanya satu pula sumber ke mana segala kekuatan itu harus dikembalikan.
Jangkung: Jadi, apakah sesungguhnya yang kita perbincangkan?
Kalong: Kebenaran dan cinta.
Jangkung: Siapakah gurumu dalam hal kebenaran?
Kalong: Musa.
Jangkung: Dan dalam hal cinta?
Kalong: Isa.
Jangkung: Dari genggaman siapa kebenaran itu lahir?
Kalong: Ibrahim.
Jangkung: Dari wajah siapa cinta memancar?
Kalong: Yusuf.
Jangkung: Siapa yang menyanyikannya dengan seruling?
Kalong: Dawud.
Jangkung: Siapa menghiasinya dengan yang permata?
Kalong: Sulaiman.
Jangkung: Siapa yang mengawinkan kebenaran dengan cinta?
Kalong: Muhammad.
Jangkung: Di mana perkawinan itu berlangsung?
Kalong: Di perahu Nuh.
Jangkung: Siapa yang hadir dalam perkawinan itu?
Kalong: Angin dan matahari, logam dan cahaya, kayu dan alam semesta, dipimpin Harun dan Zakaria.
Jangkung: Siapakah wali mereka semua?
Kalong: Khidlir.
Jangkung: Kendaraan apa yang dipakai oleh Khidlir untuk mengangkut mereka menuju kerajaan Tuhan?
Kalong: Nur Muhammad.
Jangkung: Khidlir pulakah yang menjadi sais kendaraan itu?
Kalong: Ya.
Jangkung: Siapakah Khidlir?
Kalong: Kekasih Allah yang di genggamannya air membeku menjadi batu, dan yang di genggamannya pula batu meleleh menjadi air.
Jangkung: Kenapa bukan Khidlir yang membereskan Fir’aun? Kenapa harus Musa dan Harun?
Kalong: Sebab kalau matahari lebih dekat sedikit saja ke bumi, seluruh kehidupan ini batal…!
Suara Merdeka, 21 Maret 1992 – Halaman VII