CakNun.com
Kebon (195 dari 241)

Ballada Gusi Biru

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit
Dok. Progress.

Tuhan itu sungguh-sungguh menciptakan pluralitas atau keberbagai-ragaman makhluknya. Jangankan jutaan jenis tanaman dan binatang, burung, dan ikan. Sedangkan manusia saja, sebuah jenis makhluk hidup yang bukan Jin bukan Malaikat, juga sak-hohah ragam karakter dan kepribadiannya. Bahkan sudah lama ditemukan bahwa semua manusia tidak ada yang sama struktur sidik jarinya. Padahal kalau jempol kita lihat, rasanya seperti bisa dihitung. Tapi bagaimana nada yang hanya 7 dengan sela-selanya menjadi 12 bisa menjadi 1 triliun lagu yang berbeda.

Saya sudah menulis ribuan esai dan puisi, padahal di dalam pikiran dan jiwa saya tidak ada bahan apapun untuk saya olah menjadi tulisan. Juga tidak pernah membuka buku-buku apapun untuk referensi. Saya tidak kulakan bahan tulisan dari kepustakaan manapun. Seri 240 Kebon ini sekadar seri kesekian dari titipan melalui saya, yang saya hanya sakdermo menyampaikan. Tetapi bukan karya saya, apalagi milik saya, apalagi bersumber dari saya. Tuhan hanya menyuruh “Iqra`”. Bacalah. Maka saya baca kehidupan dan saya menyampaikan bacaan itu kepada siapapun yang mau menerimanya.

Di Patangpuluhan era sejak awal 1980-an hingga akhir 1990-an yang paling rajin membaca adalah sahabat kita yang Namanya brinisial RK. Pagi-pagi jam 7 dia sudah nongol di Patangpuluhan dari rumahnya di Bantul. Ia langsung membaca koran yang ada di meja tamu atau apapun saja yang tergeletak di situ dan bisa dibaca. RK membaca apa saja. Sampai iklan-iklan cilik di koran bagian belakang dibaca tuntas habis. Menjelang maghrib dia pulang ke Bantul. Kadang pamit kadang tidak, ngeloyor begitu saja. Kalau datangnya agak siang, biasanya larut malam baru balik ke Bantul.

Mudah-mudahan karena tiap hari membaca, dan Allah memfirmankan “Iqra`”, maka dia kelak masuk sorga. RK membujang sampai hari meninggalnya. Karena sangat waspada, hati-hati, perfek dan tidak mau asal comot wanita untuk dikawini. Ada aktris Dinasti lumayan cantik, tapi tidak terpilih oleh RK karena katanya gusi aktris itu berwarna biru. Ada aktris lainnya ditolak juga, karena RK sangat teliti, dan menemukan kaki bagian bawah wanita itu njebèbèh.

RK sangat cermat dan teliti terhadap segala sesuatu. Itu juga membuatnya sangat hemat. Tidak mau sembarangan membelanjakan uangnya. Dia cukup kaya. Rumahnya besar, warisan dari orang tuanya. Tinggal sendiri. Dia sangat efisien. Motor tidak boleh diboros-boroskan pemakaiannya sehingga bensin asat sia-sia. Maka kalau dia datang ke Patangpuluhan sore, dop lampu depan motornya dia copot, agar tidak ada yang meminjam motornya dan memboroskan bensin maupun keawetan mesinnya. Uangnya banyak, tetapi prinsip hematnya luar biasa. Sehingga untuk makannya sendiri saja dia sangat membatasi. Termasuk jangan ada siapa-siapa kere penghuni Patangpuluhan yang ikut makan dia ke warung. Nanti dia terpaksa mentraktir sehingga melanggar prinsip hemat gemi nastiti ngati-ati.

RK berprinsip ketat dalam memilih teman. Tidak mungkin dia mau menjadi temannya Setan. Maka dia tidak mau boros dan mubadzir.

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Saking setianya RK di Patangpuluhan saya pernah tuliskan naskah drama berjudul “Drs. Mul” khusus untuk dia. Alhamdulillah sempat dipentaskan di TVRI Yogya dengan aktor Amerika Michael Bodden, yang juga tinggal di Patangpuluhan, yang sekarang menjadi Profesor Doktor mengajar di Universitas Wisconsin, M Hadiwiyono, dan RK sendiri serta beberapa aktor lain yang saya lupa persisnya.

RK perawakannya pendek agak gemuk, wajahnya lucu, dan kalau tertawa sangat magis. Dan itu menjadi kekuatan drama “Drs. Mul”. Lakon itu mengisahkan tentang Dokterandus Mulyono, satu-satunya menantu dari seorang Ibu kaya yang hanya bergelar Dokterandus. Padahal menanti yang lain rata-rata Dokter atau Insinyur, termasuk sudara-saudara iparnya putra-putri Ibu itu. Dalam peta budaya keluarga itu Dokterandus Mul “kasta”nya paling rendah. Sarjana tidak tidak dengan spesialisasi yang membanggakan keluarganya di tengah masyarakat. Mul menjadi menantu yang pekerjaannya disuruh-suruh. Kongkonan. Kalau ada pekerjaan kasar seperti menimba di sumur atau angkut-angkut, itu tugasnya Drs. Mul. RK sangat bagus memerankan Drs. Mul arena perawakan dan tipe wajahnya serta kelucuan perilakunya.

Karena RK hampir tiap hari selama “jam kerja” selalu ada di Patangpuluhan, maka yang banyak bergaul menemani Sinur ya RK. Sinur adalah perempuan stres yang rumahnya sekitar 100 meter dari Markas Patangpuluhan. Sinur patah hati karena ditinggal minggat oleh calon suaminya beberapa tahun yang lalu. Sehingga pekerjaaannya setiap saat adalah merindukan calon suaminya itu. Ia selalu tersenyum-senyum, berperilaku seperti arek sèmpel kalau Bahasa Jombangnya, dan selalu melongok-longok ke ujung gang sebelah Pasar Legi Patangpuluhan. Pasti hatinya berharap-harap cemas siapa tahu si idaman hati itu tiba-tiba datang.

Kalau masyarakat umum di sekitar ya berkesimpulan Sinur ini “kenthir” alias setengah gila atau memang gila. Sampai-sampai suatu hari ada tamu rombongan dari Kudus berpakaian putih-putih, pakai serban dan gamis, mungkin beliau-beliau ini Habaib atau Kiai. Ketika saya menemui para beliau ini, RK sibuk baca iklan kecik, mendadak Sinur nongol, berjalan pelan-pelan dengan wajah senyum-senyum sendiri penuh kesopanan.

Saya langsung ngaruhke Sinur dan spontan mnyambungkan dengan para tamu putih-putih ini, saya persilakan mereka bersalaman. Namanya juga silaturahmi dan ikramud-dluyuf. Tanpa beban dan tetap dengan tersenyum Sinur mengulurkan tangannya, tetapi para alim Ulama putih-putih ini ragu-ragu mengulurkan tangannya, dan ketika tangan mereka bersentuhan, tampak sekali beliau-beliau ini agak terpaksa bersalaman, mungkin karena semacam rasa jijik kepada perempuan entah siapa yang bukan muhrimnya ini.

Malah saya yang mendadak kerasukan Setan. Melihat tangan para Habaib ini minggrang-minggring ketika akan menyantuh tangan Sinur, saya tiba-tiba merasa tersinggung dan langung marah.

“Kenapa Antum ragu-ragu bersalaman dengan dia?”, saya bertanya dengan suara atos dan keras.

Beliau-beliau tidak menjawab. Hanya senyum kecut dan kebingungan ekspresi wajahnya.

“Antum merasa jijik ya?”, saya kejar.

“Antum bersih dan anak ini kotor, gitu?” terus saya cecer.

“Antum alim saleh dan anak ini abangan, gitu?”

“Antum masuk sorga dan anak ini masuk neraka, gitu?”

Kemudian saya teruskan mengatakan bahwa kita ini yang berpeluang masuk neraka. Sinur ini tidak dihisab oleh Allah. Dia tidak berdosa karena dia terganggu kesadarannya. Itu pun dia owah karena tulus cintanya kepada calon suaminya yang meninggalkannya. Mungkin Sinur tidak tepat kalau disebut bersih, tetapi pasti dia tidak kotor. Dia hancur hatinya karena pengkhianatan laki-laki. Dia tidak mencuri. Dia tidak berzinah. Dia tidak menyakiti manusia. Justru dia yang disakiti sampai tidak sanggup menanggungnya.

Sekarang kalau ingat peristiwa itu hati saya berdesir dan ada ganjalan penyesalan. Saya mungkin agak benar, tapi jelas tidak bijaksana. Saya terlalu garang kepada tamu-tamu dari Kudus itu. Bahkan langsung sesudah kasus salaman dengan Sinur saya persilakan mereka pulang.

Saya berdosa meskipun merasa tidak bersalah. Saya membela manusia yang direndahkan. Bahkan Sinur ini direndahkan secara dunia maupun akhirat. Saya merasa meletakkan perjuangan dan pembelaan saya pada posisi manusia yang paling direndahkan, dilecehkan, dan dihina, sampai-sampai bersentuhan tangan untuk bersalaman saja gojag-gajeg.

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ
وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ ۙ
سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memiliki sesuatu yang cukup untuk disedekahkan selain sekedar kesanggupannya.Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih”.

Kalau tamu-tamu Kudus itu bertamu karena percaya kepada saya, selayaknya mereka juga percaya kepada tamu saya. Semestinya sebagaimana saya menerima Sinur di Patangpuluhan, mereka pun menerima dan menghormatinya.

Sepanjang peristiwa itu ada RK menyaksikannya. Dan saya masih ingat senyumnya yang sangat tidak mengenakkan hati. Entah senyum itu mendukung tindakan saya ataukah tidak tega kepada tamu-tamu Kudus maupun Sinur. Saya tidak sempat mengkonfirmasikan hal itu sampai dia dipanggil Allah.

Lainnya

KiaiKanjeng dan Saya Adalah Barang Riba

KiaiKanjeng dan Saya Adalah Barang Riba

Salah satu yang membuat teman-teman KiaiKanjeng bergembira bahkan berbahagia adalah kalau pentas mereka atau forum Maiyahan dihadiri oleh orang yang khalayak menyebutnya sebagai “orang gila”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version