Bahkan Angin Pun Berdakwah
Kalau KiaiKanjeng sudah melewati proses panjang, sampai tingkat memastikan secara administratif apa agama mereka. Sampai yang substansial esensial apakah mereka berbuat baik, melakukan hal-hal yang bermanfaat, produk-produk yang dihitung potensialitas berkahnya.
Tapi di era Dipowinatan puluhan tahun yang lalu saya bergaul dengan benar-benar bermacam-macam manusia. Beragam latar belakang keluarganya. Pelukan agamanya juga bermacam-macam. Termasuk yang tidak jelas apa agamanya.
Sampai-sampai ada yang bertanya dan mempertanyakan kepada saya tentang aktivitas berdakwah selama keterlibatan saya sesudah Gontor di Yogya, era Dipowinatan hingga Kadipiro.
Bahwa bagaimanapun saya kan dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan religius. Jadi, logika pertanyaan itu: maka di manapun tugas utama saya adalah berdakwah. Apalagi pernah di Pondok.
Meskipun lingkungan yang saya geluti di Yogya adalah kesenian dan para seniman, termasuk kegiatan anak-anak muda Dipowinatan itu sampai sekarang, tetapi tetap tugas utama hidup saya adalah berdakwah.
Saya tidak bertanya balik misalnya: maksud berdakwah itu apakah mempengaruhi orang agar masuk Islam, ataukah mengajak dan meneladani orang banyak untuk berbuat baik. Formalisme Islam ataukah menerapkan apa yang orang Islam menyebutnya akhlaqul karimah, mengutamakan persaudaraan, kerukunan dan persatuan.
Maksud berdakwah itu apakah mempengaruhi orang agar masuk Islam, ataukah mengajak dan meneladani orang banyak untuk berbuat baik.
Ada saat-saat saya agak lalai dan masuk ke ruangan-ruangan formal administratif itu, sehingga ada seorang yang nyeletuk: “Saya Katolik saja. Kasihan, jumlahnya sedikit. Saya temani mereka. Kalau orang Islam kan sudah banyak di mana-mana”.
Kemudian Allah ternyata berfirman:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.
Dakwah itu melakukan penggeseran “minadh-dhulumati ilan-nur”, dari kegelapan ke cahaya. Dari belum menjadi sudah. Dari sini ke sana atau dari sana ke sini. Dari kafir menjadi Muslim. Atau dari apapun ke apapun.
Dakwah adalah upaya menyelenggarakan perubahan, dari salah ke benar, dari buruk ke baik, dari busuk ke wangi. Dan tak ada satu pun dari yang dilakukan oleh manusia kecuali pasti memberlakukan perubahan.
Entah sekadar gerak sebatang jari, tangan bekerja, kaki melangkah, atau bentrok antar kelompok manusia sampai Perang Dunia. Semuanya perubahan.
Sebab manusia tidak hanya sekadar ada tapi beku seperti batu dan padang pasir. Manusia tidak sekadar tumbuh sampai berbuah. Manusia tidak hanya benda yang tumbuh dan bergerak seperti binatang.
Manusia adalah seluruh kelengkapan itu. Ahsanu taqwim. Puncak konsep dan formula makhluk yang ditegakkan oleh Penciptanya dengan sebaik-baiknya.
Maka tidak ada kegiatan apapun pada manusia yang bukan dakwah. Bahkan maling adalah tempat belajar bagi siapapun yang berjuang untuk tidak menjadi maling, atau justru agar lebih canggih menjadi maling.
Semua yang buruk dan jahat pada manusia adalah cermin untuk menjadi baik dan mulia.
Bahkan angin yang berhembus, burung yang berkicau, cacing yang melata, matahari yang terbit dan tenggelam adalah suatu medan dakwah agar manusia menemukan sangkan paraning urip dan mengucapkan:
“Robbana ma khalaqta hadza bathila. Subhanaka faqina ‘adzabannar”. Wahai Tuhan Maha Pengasuh kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini untuk tak berarti, untuk sia-sia. Maha Suci Engkau dan lindungilah kami dari api neraka.
Bahkan seekor kecebong dan kadal berkaitan sangat erat dengan neraka.
Jadi, tidak ada hari interaksi saya di Dipowinatan, Dinasti, Perdikan, KiaiKanjeng dan Maiyah yang tidak berdakwah. Hanya saja kosmos pemahaman saya tentang dakwah bisa jadi lain sama sekali dengan yang kebanyakan orang memahaminya.
Dakwah tidak pasti menyitir ayat-ayat Allah karena apakah ada dalam kehidupan manusia ini yang bukan ayat Allah. Dakwah tidak harus berbentuk pengajian, karena apakah ada manusia yang tidak melakukan pengajian maupun pengkajian dalam menjalani hidupnya.
Dakwah pasti bukan “nafsu untuk menyeret orang agar masuk Islam”. Dakwah lebih bermakna manusia menjalani kemanusiaannya sesuai dengan yang Tuhan maksudkan ketika menciptakan.
Pasti juga saya bukannya menolak mentah-mentah berbagai bentuk komunikasi sosial yang selama ini dispesifikasikan sebagai kegiatan dakwah. Dan bisa saja saya dihadiahi oleh Allah kemampuan untuk melakukan itu semua dengan pencapaian yang tidak kalah, atau bahkan mengungguli para pendakwah yang ada di masyarakat.
KiaiKanjeng hadir di mana-mana, di hampir semua jenis tempat manusia berkumpul, segmen dan levelnya, apalagi yang mereka kerjakan kalau tidak bisa disebut dakwah.
Bahkan mungkin KiaiKanjeng melakukan suatu jenis komunikasi dan formula dakwah yang lebih berkelengkapan konteks, lebih menyeluruh secara nilai dan lebih komprehensif metode sosial budayanya.
Tetapi mereka tidak pernah merasa bahwa mereka adalah pendakwah atau da’i. KiaiKanjeng bersama masyarakat Maiyah mengambil idiom yang paling aman dan rendah hati di hadapan Allah: Al-Mutahabbuna fillah.
Orang-orang yang bersaudara karena Allah, dan hanya melakukan yang Allah perintahkan atau anjurkan, serta tidak melakukan yang Allah melarang dan memakruhkan.
Sebab kalau dakwah adalah “padatan-padatan materiil” yang berupa identitas sosial, apalagi “profesi”, dengan kostum tertentu, membacakan teks dari Al-Qur`an dan Hadits – maka tidak satu pun dari KiaiKanjeng yang pantas penampilannya untuk digolongkan sebagai pendakwah.
Tidak ada “potongan” sama sekali. Mereka lebih pantas dan relevan disebut “Preman”, “Gentho” atau “Pathak Warak”. Apalagi saya yang selama di Yogya 52 tahun tidak pernah tidak berambut gondrong.