CakNun.com
Belajar Kepada Pasien #10

Badruz Kecil, Di Mana Negara? (3)

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 4 menit
Dok. Pribadi

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah:153).

Pembicaraan dengan Pak Mistam masih berlangsung asik, tentu pada waktu yang tidak mengganggu beliau sebagai buruh bangunan di desanya. Saya kemudian menanyakan bagaimana suka dukanya dalam ‘ngupaya usada’ untuk Badruz.

“Kalau ditanya suka dukanya, ya tentu perjuangannya sangat keras. Karena ingin anaknya sembuh dari penyakit Leukemia,” cerita Pak Mistam mengawali pembicaraan kami sore itu.

Saya mengulik informasi dari google, berdasarkan informasi dari Pak Mistam tentang keberadaan desanya. Sekaligus biar sah menjuluki diri saya sebagai penulis gugel atau yai gugel. Menurut penuturan beliau, jarak dari rumah tinggal Pak Mistam yang berada di desa Panerusan, daerah Wadaslintang menuju RS sardjito, ditempuh dengan perjalanan selama lima jam. Wadaslintang sendiri terkenal karena ada waduk yang sangat indah dan dibangun sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Saya pernah gowes ke waduk itu bersama Dokter Wowok, kolega saya ahli Kulit di RSUD Kebumen. Kami start dari Kebumen jam 5 pagi, menempuh jarak 30-an km dengan elevasi sekitar hampir 1000 m di atas permukaan laut. Perjalanan gowes tersebut saya tempuh dengan waktu lebih kurang 2,5 jam. Dengan diselingi poto-poto dan selpi-selpi. Negara kita indah, alamnya menawan. Negara kita kaya. Hanya penduduknya saja banyak yang miskin.

Saya buka map berdasarkan penuturan beliau. Dari penelusuran saya di google map saya mendapat informasi: Sorry, we could not calculate transit directions from “Your location” to “Panerusan, Wadaslintang, Wonosobo Regency, Central Java.” Whattttt?? Saya pelototi lagi si peta. Saya mendapati tidak ada jalan besar yang mengakses ke desanya. Akhirnya saya berkesimpulan bahwa desa tempat Pak Mistam tinggal belum sepenuhnya terakses oleh jalan utama.

“Saya dan Badruz berangkat dari rumah jam 3.30 (sebelum subuh) berjalan kaki menuju perhentian bus. Kemudian satu jam naik bus ke jalur utama (jalan provinsi Purwokerto – Jogja). Diteruskan naik bus lagi 2,5 jam sampai di Gamping (Jogja), kemudian disambung bis kota dari Gamping ke Rumah Sakit. Sampai di Rumah Sakit sekitar jam 10 pagi,” demikian tutur Pak Mistam. Artinya Tujuh jam total waktu perjalanan yang mereka tempuh.

“Misalkan Badruz minta berangkat sore, maka (kami) berangkat dari rumah jam 2 siang, dan sampai Jogja jam 9 malam,” Lanjut pak Mistam.

“Lalu tidur di mana? Di penginapan?,” tanya saya.

“Ya nggak Pak Dokter, kami tidur di ruang tunggu dekat loket pendaftaran, biar besok pagi dapat antrian awal,” kata beliau. Ada kursi berjejer di depan loket. Itulah yang digunakan alas tidur oleh Badruz dan Pak Mistam.

Di sini saya meleleh.

Saya yang sudah diberi ragam nikmat dari Allah masih sering mengeluh. Astaghfirullah, ampuni hamba-Mu yang suka mengeluh ini. Teringat ketika SMA, saya kehilangan sepeda saya satu-satunya.

Pada suatu sore lepas Maghrib saya taruh sepeda di depan rumah, saya tinggal mandi. Selesai sholat maghrib saya keluar mau masukin sepeda itu, dan ternyata sudah raib. Saya hanya telap-telop, diam, dan mengeluh. Bagaimana saya sekolah besok? Naik apa? Naik bus pun harus jalan kaki 1 km ke Jokteng Kulon baru dapat bus menuju Kuncen. Tapi duit pun tak cukup. Karena Bapak hanya menjatah 25 rupiah per hari atau 150 rupiah seminggu. Sedangkan biaya bus adalah 25 rupiah juga. Mana cukup, keluh saya.

Saya malu. Malu sekali dengan Badruz dan Pak mistam. Kurang sayang apa Allah kepada saya, karena akhirnya bu Siti, tetangga sebelah yang punya usaha penggilingan gabah meminjamkan sepedanya ke saya sebagai alat transportasi sekolah saya. Itu pun saya masih juga mengeluh yang ini kek, yang itu kek. Ahhh.

“Persiapan dari rumah sih hanya bekal (makan) buat perjalanan. Dan dimakan kalo nanti sampai di Jogja.”

Badruz kecil menempuh perjalanan panjang selama lebih dari enam jam, berbekal makanan kecil dan air minum. Dan tidur di kursi panjang di depan loket pendaftaran sampai esok pagi. Sungguh besar tirakatmu, wahai guru Badruz!. Itu pun dijalani dengan ikhlas.

Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman.” (QS Ali imran: 139).

Ada satu ciri khas yang melekat pada Badruz. Dia tidak pernah tersenyum pada saya! Dan juga kepada petugas kesehatan yang lain. Padahal menurut penuturan Pak Mistam, dia selalu tersenyum kepada siapapun juga. Saya sudah coba tanya ke suster Kiki, yang selalu mengamatinya sampai saya kalah taruhan untuk bisa membuatnya tersenyum. Dan saya kalah. Saya tak berhasil membuatnya tersenyum. Bapaknya selalu bilang, “Kalau di rumah ya biasa saja, senyum, ketawa dan bermain dengan teman-temannya.”

Sungguh saya merasa sangat sedih. Apa salah saya? Apa kekurangan saya? Sampai Badruz yang lucu itu tidak mau tersenyum pada saya. Juga kepada dokter dan perawat yang lainnya. Pertanyaan yang sampai detik ini saya belum memperoleh jawabannya.

Satu-satunya dokter yang bisa membuatnya tersenyum hanyalah Dokter Amalia SpA(K), ahli paru-paru anak, yang merawat Badruz saat Badruz menderita TBC. Masyarakat kita lebih akrab dengan istilah flek paru. Anak saya kena flek, itu artinya anaknya menderita TBC paru-paru. Saya digeret olehnya untuk membuktikan bahwa dia berhasil membuat Badruz tersenyum. Dia masuk ruangan Badruz, sedangkan saya mengendap-endap mengintip Badruz dari celah pintu kamar Badruz.

Hah, benar! Badruz tersenyum, bahkan tertawa kecil. Saya merasa mendapat durian runtuh. Perasaan saya campur aduk. Amalia memang sosok dokter yang lemah lembut, bahkan dia dijuluki ibu peri oleh para residen, saking baiknya. Saking lembutnya, saking positive thinking-nya, saking sabarnya. Satu-satunya dokter di rumah sakit ini yang berhasil membuat Badruz tersenyum.

Saya lalu mengadakan introspeksi berdasarkan kejadian-kejadian yang ada. Badruz tidak mau tersenyum ke saya. Sangat mungkin saya masih sangat kotor. Hati saya kotor. Mulut dan pikiran saya compang-camping.

Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wa ni’man nashir.

Saya harus banyak beristighfar untuk bisa segera sadar dan menyadari kekotoran saya. Kehinaan saya. Saya banyak belajar dari Badruz untuk banyak hal. Badruz, terima kasih banyak ya.

10 Juli 2021.

Lainnya

Badruz Kecil, Di Mana Negara? (1)

Badruz Kecil, Di Mana Negara? (1)

Badruz kecil, berumur satu tahun lebih. Anak seumuran itu memang lagi senang-senangnya berjalan dan berlari-lari bermain di halaman rumah.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
Exit mobile version