CakNun.com
Belajar Kepada Pasien #9

Badruz Kecil, Di Mana Negara? (2)

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 4 menit
Dok. Pribadi

Pak Mistam bukanlah seorang yang kaya, beliau bukan pengusaha, bukan konglomerat, bukan ASN, bukan pula wakil rakyat yang mempunyai duit banyak. Tetapi Pak Mistam mewakili rakyat miskin yang menderita, yang terpaksa harus kehilangan pekerjaan selama menemani anaknya dalam rangka berobat.

Pak Mistam “hanyalah” seorang buruh bangunan di kampungnya, yang mendapat uang kalau bekerja. Tidak mendapat uang kalau tidak bekerja. Pengayuh becak pun begitu, akan mendapat uang kalau punya penumpang. Bahkan dokter pun begitu! seorang dokter akan ‘bayaran’ kalau mendapat pasien. Sadar kan bro! lain halnya kalo menjadi anggota Dewan yang terhormat. (Ter)tidur di ruang sidang pun tetap bayaran.

… Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin.” (QS al-Mudatsir: 42-44).

Seorang buruh harian yang tinggal di desa Panerusan yang bernama Mistam harus menanggung hidup istri dengan ketiga anaknya. Dia tidak punya apalagi harta dan sawah, apalagi tabungan uang. Di sekitar kita, bahkan di seantero Indonesia ini masih banyak Mistam-Mistam lain yang serupa. Bahkan ada yang lebih buruk dari itu situasinya.

Kemiskinan, miskin, dimiskinkan adalah kata yang seksi untuk dilihat. Banyak yang memanfaatkan kata-kata ini, atau kondisi ini untuk kepentingan-kepentingan pencitraan, politis atau apapun. Bahkan dengan kata-kata magic yang bernama ‘miskin’ ini bisa dimanfaatkan untuk mengajukan proposal, meminta bantuan, namun kalau permintaan bantuan tersebut berhasil didapatkan, maka sekian persen bantuan tersebut akan ditilep masuk ke kantong sendiri. Aaaah bagi saya terlalu rumit untuk masuk ke ranah ini. Tetapi mau tak mau saya harus merasakan imbas psikologis dari kondisi ini. Imbas tersebut bernama ‘geram’, ‘marah’, ‘kecewa’, ‘miris’ atau apapun melihat kekayaan negeri ini sekaligus melihat kemiskinan penduduknya.

Kenapa ada Mistam-Mistam di Indonesia ini yang menanggung derita? Tetapi saya yakin akan kuasa Allah. Pasti Pak Mistam sudah terpilih oleh Allah untuk bisa menjadi makhluk yang kuat dalam menghadapi kondisi seperti ini. Dan juga Mistam-Mistam yang lain yang sudah terpilih. The chosen people!

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya….” (QS. Al-Baqarah: 286).

Di bangsal tempat Badruz dirawat, saya mendapati ‘Badruz-Badruz’ yang lain. Saya mendapati ‘Mistam-Mistam’ yang lain. Lalu saya gojeki mereka, saya ajak mereka guyon. Saya tidak membicarakan hal-hal medis ataupun penyakit yang diderita anak-anak mereka. Saya hanya akan berbicara kalau mereka menanyakannya. Sudah berat beban hidup mereka. Tak tega saya kalau harus membebani mereka dengan informasi yang menambah beban hidup mereka menjadi lebih berat.

Karenanya, kalau saya pas keliling menengok pasien mendapati ada sepasang orang tua yang menunggui anaknya, saya ajak ngobrol mereka dari hati ke hati, dan pasti saya bilang kepada mereka tentang pentingnya penunggu tunggal (Satu pasien satu penunggu). Saya ajak mereka bicara tentang penghasilan, tentang bagaimana harus survive, tentang bagaimana dan apa yang harus dilakukan agar kendhil di rumah tidak ngglimpang. Kalau yang tunggu berdua di sini (bapak dan ibu), maka siapa yang akan berkerja? Siapa yang harus mengurusi kakak atau adik si pasien?

“Pengobatan ini akan memakan waktu lama, dan tentu membutuhkan biaya. Walaupun biaya pengobatan sudah ditanggung BPJS. Akan tetapi pasti ada biaya untuk wira-wiri, biaya untuk makan selama menunggui, dan itu pun masih dihitung biaya akibat tidak ada pemasukan karena tidak bekerja selama menunggui anak yang sakit,” kata saya. Biaya minus! (karena tidak bekerja). Makanya yang menunggu pasien sebaiknya satu saja. Bapaknya kembali pulang untuk kerja. Menawi mboten nyambut damel mangke kendhilipun ngglimpang. (Sebab kalau nggak kerja, nggak bisa makan).

Maka sudah menjadi kewajiban kita juga untuk mengulurkan tangan kepada mereka.

Menginfakkan harta untuk kaum dhuafa itu bukan pemberian, melainkan kewajiban hartawan dan hak dhuafa. Sebagaimana ditegaskan dalam surat adz-Dzariat, Allah SWT berfirman, yang artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian...” (QS adz-Dzariat:25).

Lalu saya ajak bicara tentang risiko infeksi yang akan diterima anak-anak yang sedang dirawat tersebut kalau ruangan penuh dengan penunggu. Risiko infeksi yang paling bahaya! Infeksi ini menjadi penyumbang terbesar pada pasien-pasien yang dirawat di bangsal ini, dan juga di banyak tempat di negara-negara tetangga. Bayangkan kalauruangan berukuran 4×6 m diisi 3 bed (3 pasien), lha kalau masing-masing dengan 2 penunggu artinya isi ruangan akan ada 9 orang.

Kondisi yang sangat jauh dari ideal, dan sangat dekat kepada risiko infeksi. Apalagi kondisi sekarang ini di era pandemi yang terjadi saat ini. Akan semakin besar risiko infeksi yang harus diterima baik oleh pasien ataupun oleh penunggunya, atau perawat dan petugas RS lainnya.

Itulah kenyataan kenyataan yang saya hadapi sehari-hari. Saya tahu dan punya ilmu untuk menegakkan diagnosis sebuah penyakit. Banyak hal yang harus dilakukan. Panel pemeriksaan untuk ke arah penyakit ini adalah: A kemudian B, C, D, E dan seterusnya.

Tetapi kita baru sampai B kemampuannya. Jauh tertinggal dengan negara tetangga. Jangan bandingkan dengan Singapura. Dengan Vietnam saja kita sekarang tertinggal. Saya salut kepada kawan-kawan saya dari Vietnam, yang minimal setahun sekali kita bertemu di forum Internasional. Sebut saja dokter Ha, yang tinggal di kota Hue, Vietnam. Teman saya se-kos waktu magang belajar tentang kanker anak di St Jude Children Hospital di Memphis, Amerika Serikat. Sepuluh tahun yang lalu mereka berada jauh di bawah kita (tentang pelayanan kanker anak). Tetapi pertemuan terakhir yang kita ketemu membuat saya geleng-geleng kepala pada waktu dokter Ha menyampaikan presentasi tentang situasi terkini yang mereka miliki tentang perawatan kanker anak.

Lho, katanya negara kita kaya. Kaya akan tambang. Kaya akan hutan. Punya banyak cadangan mineral, minyak dan gas bumi. Mestinya duitnya banyak ya. Tapi kemana? Untuk siapa? Sedangkan membangun bangsal kanker anak ini saja separoh biayanya diuruni oleh seorang donatur dari Belanda, yang anaknya (bernama Estela) juga menderita leukemia.

Saya putar lagu, sayup-sayup Cak Nun mendendendangkan lagu

Cakrawala yang jauh
Tampak sayup-sayup
Terdengar suara suara yang memanggil nama-Mu
Ada kandungan rahasia yang merindukan-Mu
Ditemani oleh sepi waktu….

Air mata saya menetes, jatuh….

10 Juli 2021.

Lainnya

Belajar Kepada Ifa

Belajar Kepada Ifa

Kegalauan dan keengganan untuk menulis melanda saya sejak puasa Ramadhan usai.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
Mengagumi Kaum Bahariwan

Mengagumi Kaum Bahariwan

Indonesia sungguh tanah air yang mengagumkan. Bukan hanya terpancar oleh lagu daerah, lagu anak-anak lawasan, dan lagu nasional serta keroncong dan pop yang nostalgik, atau lagu heroik-heroik lembut karya Leo Kristi, Franky & Jane dan Gombloh atau lagu romantik model Koes Plus (serial lagu Nusantara) atau karya Ebiet G Ade atau lagu campursari Minang, Cirebonan, Jawa, Banyuwangen saja tetapi terpancar dari alam nyata yang bisa dilihat mata lahir dan mata batin ketika kita menjelajah tanah air lewat darat, laut, dan udara.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.
Exit mobile version