Badruz Kecil, Di Mana Negara? (1)
Badruz kecil, berumur satu tahun lebih. Anak seumuran itu memang lagi senang-senangnya berjalan dan berlari-lari bermain di halaman rumah. Malam itu tiba-tiba Badruz mendadak demam tinggi, membuat orang tuanya panik. Bapaknya Badruz, Pak Mistam, kemudian mencari obat dan mengupayakan agar demamnya segera turun.
Badruz terus merengek, rewel, demamnya tak kunjung reda. Ada hal yang membikin kedua orangtuanya tambah kaget, takut, dan gelisah yakni Badruz kemudian sama sekali tidak bisa berjalan. Kondisinya lemah. Pak Mistam mengistilahkannya kondisi Badruz drop. Maka dibawalah Badruz ke puskesmas setempat di sekitar daerah Wadaslintang. Suatu daerah perbatasan yang jauh dari mana-mana. Daerah sekitarnya adalah ke arah selatan ke Kebumen, ke utara Wonosobo atau Banjarnegara. Rumah Pak Mistam sendiri masuk wilayah (administratif) Wonosobo.
“Karena tidak segera membaik, kemudian Badruz saya bawa ke RSUD Banjarnegara. Di sana Badruz ditangani oleh serorang dokter anak bernama Dokter Tiur”.
Kemudian oleh bu dokter, Badruz kecil diperiksa darah dan kemudian ketemu penyakitnya. Dokter Tiur bilang penyakitnya itu adalah Leukemia dan dikatakan bahwa penanganan penyakit ini tidak bisa di sini, dan harus dirujuk ke RS Sardjito (Yogya), atau ke RS Kariadi (Semarang), dan saya diminta memilih salah satunya,”cerita Pak Mistam.
Sebagai seorang buruh harian yang sangat minim penghasilannya, Pak Mistam termenung. Lama sekali ia memikirkan bagaimana caranya ngupaya usada (pergi mencari pengobatan) dengan kondisinya yang sekarang ini. Berbagai pertimbangan terutama adalah kondisi ekonomi dan jarak ke rumah sakit yang sangat jauh. Dengan kondisi seperti itu memang sulit baginya mencari fasilitas kesehatan yang ditunjuk untuk penanganan anaknya.
Lama sekali tidak beranjak dari kondisi tersebut, akhirnya penanganan Badruz tertunda. Singkat kata, Badruz tidak dibawa ke RS rujukan yang sudah disebutkan oleh Dokter Tiur. Beribu hal berkecamuk di pikiran Pak Mistam. Mau dibawa ke RS tak punya uang, kalau tidak segera dibawa, wong penyakitnya ini tidak main-main, bukan sekadar batuk pilek!
Pak Mistam sudah rembugan dengan orang rumah, tetapi juga tidak membuahkan solusi yang diinginkan. Kesimpulannya: pengobatan tertunda! Tidak tanggung-tanggung penundaan tersebut akhirnya berlangsung selama 6 bulan! Walaupun belum pasti diagnosis Badruz adalah leukemia, penundaan tersebut akan berdampak buruk bagi si Badruz maupun pada proses penyembuhannya.
Diagnosis yang dibuat Dokter Tiur saya yakin mendekati benar. Saya kenal dan mengerti betul dokter yang satu ini. Saya tahu persis bagaimana kualitas Dokter Tiur, karena saya ikut mengawal proses pendidikannya sampai mendapat gelar spesialis anak. Diagnosis itu saya yakini mendekati kebenaran.
Ada hal yang cukup berkecamuk di benak saya. Kalau diagnosis itu benar leukemia, kok sampai waktu yang lama Badruz bisa bertahan? Enam bulan lho, waktu yang sangat lama untuk seorang pasien bisa bertahan dari penyakit leukemia. Tetapi kalau itu bukan leukemia, (pikiran saya terus bergolak), ah, mestinya Dokter Tiur sudah memeriksa dengan cermat dan teliti.
Saya yakin (leukemia) itu benar. Tapi kalau benar, mestinya Badruz datang dalam keadaan yang buruk atau setidaknya tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Sebab penyakit ini kalau tidak segera diobati maka bisa-bisa fatal akibatnya. Pasti ada sebuah kekuatan yang mendampinginya. Singkat kata, Allah melalui para malaikatnya pasti bekerja untuk makhluknya yang bernama Badruz ini. Lha wong pada waktu memeriksa kembali ke RS swasta di Banjarnegara itu tidak buruk-buruk amat. Nah di RS itu kembali Badruz kecil ketemu lagi dengan Dokter Tiur.
Bagi manusia ada malaikat mu’aqibat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. (QS. ar-Ra’du: 11)
Apakah ketemunya kembali Badruz dengan Dokter Tiur sebuah kebetulan? Rasanya setiap peristiwa yang terjadi di dunia ini kok tak ada yang kebetulan. Ada yang Maha Grand Design! Maka surprise-lah dokter Tiur yang masih mendapati Badruz dalam keadaan relatif OK dengan semangat yang masih tinggi.
Padahal sudah terlambat 6 bulan!!
Keterlambatan pasien dibawa ke RS rujukan memang sering terjadi seperti yang dialami Badruz. Kesulitan keuangan, pekerjaan yang tak tentu, mahalnya ongkos pengobatan, dan lain-lain, singkatnya adalah kemiskinan. Lho padahal kan ada asuransi nasional yang bernama BPJS! Iya bener, asuransi kan hanya menanggung biaya pengobatan. Padahal anak yang sakit pasti akan diantar oleh orang tuanya, bisa salah satu atau kedua orangtuanya. Emangnya gratis ongkos jalan dari Wadaslintang ke Jogja? Emangnya tidak butuh biaya selama perjalanan? Emangnya enggak butuh makan selama anaknya dirawat. Belum lagi kalau nanti Badruz rewel minta jajan, karena melihat pasien di bed sebelahnya makan makanan jajanan.
Padahal selama mengurusi anaknya berobat, Pak Mistam pasti tidak bekerja. Nah selama tidak bekerja kan tidak ada penghasilan. Siapa yang akan menanggung biaya semuanya ini? Sudah jatuh tertimpa tangga pula! Complicated ya? Pernahkah teman-teman membayangkan ini semuanya? Betapa ribetnya kalau seorang anak terpaksa harus mondok di rumah sakit. Apakah negara hadir dalam masalah ini? Padahal di dalam UUD 1945 Pasal 34 dikatakan sebagai berikut “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” yang artinya adalah pemerintah dan negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk pemeliharaan dan pembinaan dalam melindungi fakir miskin dan anak terlantar. Apa arti semua tulisan ini? Apakah hanya sekadar tulisan tanpa makna? Atau apa? Siapa yang harus mengurusi keluarga pak Mistam?
Banyak ayat Allah yang berbicara tentang fakir miskin ini, dan hampir selalu dihubungkan dengan yatim. Misalnya, Allah bercerita tentang orang yang dikualifikasi sebagai mendustakan agama, yaitu mereka yang, “Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un: 2-3).
Bahkan masih dalam surat yang sama Allah mengatakan tentang orang-orang yang menjalankan shalat tetapi mereka disebut oleh Allah sebagai celaka, karena terhadap shalat yang mereka lakukan itu mereka lalai. Yakni mereka, “Yang berbuat riya’ dan enggan (memberikan) bantuan.” (QS. Al-Ma’un: 6-7).