Asyiknya Berkuntum Ria
Di belakang pabrik kertas Blabak, waktu itu ada perumahan bagus. Di salah satu rumah ini, rumah keluarga Bakti Setiawan atau Bobby yang mahasiswa jurusan arsitektur UGM, “panitia” penerbitan kembali majalah pelajar Muhammadiyah Kuntum rapat. Yang hadir tentu saja Bobby sendiri, Mashari, Adil Amrullah, Masykur Wiratmo alias Antung, Sujarwanto, Ismail T Siregar, saya Mustofa W Hasyim, dua Yusuf, Yusuf Wibisono yang cah ekonomi dan Yusuf A Hasan Al Nganjuki yang Cah IAIN dan lainnya saya lupa.
Ini merupakan rapat yang kesekian kali untuk mematangkan rencana penerbitan majalah Kuntum kembali, yang sempat mati suri beberapa tahun. Rapat sebelumnya pernah diadakan di Pantai Trisik Kulon Progo, di langgar PP Muhammadiyah Jl. KHA Dahlan Yogyakarta.
Majalah Kuntum awalnya dirintis oleh aktivis IPM Muhi generasi Cak Nun dan Cak Nun sendiri ikut mengurusi majalah yang masih berbentuk mungil dan tipis. Para sesepuh yang ikut mengawal majalah ini adalah Pak Moehadi Sofyan, Pak Musa Ahmad, dan Pak Mustafa Kamal Pasha. Majalah diterbitkan oleh IPM dengan dibantu sepenuhnya oleh Muhammadiyah Kota Yogyakarta. Sempat terbit beberapa waktu, karena menderita rugi kemudian berhenti terbit.
Tahun 1980-an adalah tahun-tahun para aktivis muda Muhammadiyah bergerak lintas lembaga dan lintas gerakan. Maksudnya, anak anak IPM Wilayah DIY yang selain aktif di IPM mereka juga melibatkan diri dalam kegiatan sastra di komunitas Insani harian Masa Kini, bahkan saya dan Adil Amrullah aktif di kegiatan jurnalistik di koran ini. Waktu itu saya aktif di Pemuda Muhammadiyah Wilayah DIY yang dengan Harun Al Rasyid dkk pernah maraton rapat merancang majalah anak-anak Muslim yang juga diikuti oleh Adil dan temannya. Apalagi Harun alumni Muhi, satu sekolah dengan teman-teman IPM Wilayah yang juga aktif bersastra ria di Insani.
Proposal majalah anak siap dan penuh harapan disampaikan ke Jakarta yang waktu itu bersedia memodali penerbitannya. Tetapi ajaib, orang Jakarta kemudian minta majalah diterbitkan di Jakarta dan inisiator serta pembuat proposal yang Cah Yogya menolak semua. Ide menerbitkan majalah anak-anak Muslim pun dilepas. Majalah itu terbit di Jakarta untuk kemudian berumur entah berapa tahun.
Adil Amrullah yang waktu itu kos di Kadipaten kemudian pindah ke Patehan dan saya waktu itu kos di Mergangsan Kidul, Sujarwanto kos di gang Manuk Beri berdekatan dengan kosnya Bambang Farid, Antung masih ikut orang tuanya pak Abdul Hayyi Adnan (saudara Abdul Basit Adnan dan Abdul Nur Adnan) di Babadan Gedongkuning, Yusuf A Hasan dan Yusuf Wibisono saya kurang tahu lokasi kosnya. Mashari juga saya kurang tahu tempat kos dia. Kalau Ismail T Siregar yang agen penjualan buku-buku terbitan Salman Bandung kos di jalan Agus Salim yang sekarang tempat kos ini sudah berubah menjadi Hotel Hidayah. Kalau Jauzi rumahnya di selatan Wirobrajan dan pernah dipergunakan untuk pertemuan bulanan komunitas sastra Insani.
Kembali ke rapat di belakang pabrik kertas Blabak yang sekarang sudah tidak ada pabriknya itu, kami rapat penuh semangat.
Pengalaman waktu mengolah ide menerbitkan majalah anak-anak Hum PIM Pah menjadi bekal untuk mematangkan upaya menerbitkan kembali majalah Kuntum. Logika proposal penerbitan dipakai lagi dengan merumuskan latar belakang dan dasar pemikiran perlunya majalah pelajar Muhammadiyah.
Demikian juga dengan tujuan dari sasaran penerbitan. Yang penting Kuntum harus terbit menjawab kebutuhan pelajar akan bacaan yang segar, positif, kreatif tidak mendukung budaya konsumtif yang dikibarkan oleh majalah untuk anak muda zaman itu. Rubrik disusun dengan apik. Ada yang serius seperti laporan utama (yang kami buat dengan kepekaan jurnalistik majalah Tempo), Karimah, Demikian Kata Kuntum, cerpen, puisi, resensi, Berita sekolah dan organisasi. Ada yang menghibur seperti teka-teki silang, Mang Kunteng Menjawab, kartun dengan tokoh Hazreng.
Tentang rubrik ini akan disempurnakan dalam rapat berikutnya. Yang penting nyaris semalam suntuk kami rapat, udara Blabak termasuk dingin. Yang asyik banget adalah pagi sehabis Subuh. Kami oleh orang tua Bobby dipersilakan mancing ikan mujair di kolam depan rumah. Nanti digoreng untuk lauk makan pagi.
Kami berlomba mancing. Karena waktu kecil saya punya hobi mancing di selokan dan sungai di Kotagede, kadang sekali-sekali mancing di kolam penduduk, saya tahu sekali kalau ikan mujair yang kaya akan duri kecil ini termasuk ikan galak, mudah dipancing. Kami bersorak setiap mendapat ikan yang berayun-ayun di senar pancing.
Panen ikan ini mendapat ikan mujair yang cukup banyak. Keluarga Bobby yang memasaknya. Sambil menunggu ikan goreng masak, kami ngobrol dan jalan-jalan mengelilingi kompleks pabrik kertas yang waktu itu masih beroperasi dan menghasilkan kertas berkualitas untuk dipakai masyarakat. Termasuk kertas untuk buku skrip.
Pagi itu kami Cah Kuntum, sarapan dengan lauk ikan mujair goreng plus Sarimi rebus pedas yang ditaburi abon sapi. Sebuah makan pagi yang mewah zaman itu. Bayangkan, di kamar kos atau kalau jajan di Gua Hira’ kami hanya berani memakai satu macam lauk. Paling ditambah kerupuk yang agar adil dan menimbulkan rasa kebersamaan, oleh Cak Dil kerupuk ini dihantam sampai berkeping, dan kami memungut kepingan kerupuk sambil ketawa-ketawa.
Rasa-rasanya, episode merancang dan aktif menerbitkan majalah pelajar Muhammadiyah Kuntum adalah episode paling menggembirakan dan membahagiakan kami. Teman-teman kreatif untuk membuat agenda kegiatan atau cara jitu agar kegembiraan dan kebahagiaan itu bisa mampir dalam kehidupan kami. Termasuk saling mengerjai.
O ya, sebentar. Teman-teman yang ikut bergabung dan memproses terbit kembalinya Kuntum lebih banyak dari yang saya sebutkan di atas. Ada Cah Kauman bernama Isnawan, ada Cah Kadipaten bernama Mahyudin Al Mudra yang kemudian menjadi ketua suku Muhi (alumni Muhi), ada Mbak Aminah yang rumahnya di Gerjen dipinjamkan untuk kantor Kuntum generasi awal terbitan episode kedua ini dan dia kemudian ditunjuk menjadi keuangan Kuntum. Teman perempuan ada satu lagi, Mbak Tuti Nonka yang novelis dan rumahnya di Timuran, sebelah timur rumah pak Mohammad Diponegoro.