Asyiknya Berkuntum Ria

Saya ingat, ada teman Kuntum generasi pembangkit majalah ini yang juga aktif menulis di Insani. Namanya Lincolin Arsyad. Orangnya lembut, dia kuliah di Fakultas Ekonomi UGM, seangkatan Antung dan Yusuf Wibisono. Dia termasuk taat beribadah jadi tidak pernah diganggu jin kalau tidur di kantor Kuntum di Gerjen. Saya belum pernah mendengar dia diganggu sebagaimana teman yang lain yang kadang suka menunda-nunda shalat.
Di kemudian hari Lincolin jadi ekonom terkemuka. Meraih gelar doktor dan profesor, juga menjadi Ketua Majelis Dikti PP Muhammadiyah. Dan persahabatan di Kuntum berlanjut sampai hari ini. Dan sebelum itu, ketika generasi Kuntum Gerjen ini menikah dan punya anak seusia SD pernah ramai-ramai diikutkan pada pelatihan jurnalistik Pesantren Zaituna Kasihan Bantul. Yang melatih Cak Yusron. Anak generasi Kuntum Gerjen adalah anaknya Antung, anaknya Bambang Farid, anaknya Lincolin dan anak saya.
Acara di Zaituna menarik. Ada tadabbur alam dan diajak bersilaturahmi dengan para tokoh, wawancara dengan mereka. Menu hasilnya ditulis dan dimasukkan ke dalam buku kenangan peserta jurnalistik ini. Anak saya jadi gemar menulis, pernah juara saat mengikuti lomba penulisan esai tingkat SMA, dan ketika KKN di pulau Weh Aceh dia menjadi pembuat laporan. Kegemaran menulis dan melakukan riset terus dilakukan sampai hari ini. Menjadi pengelola jurnal Prajna Paramita Museum Nasional Jakarta yang disiplin sampai-sampai tulisan saya dikembalikan tiga kali untuk perbaikan sebelum dinyatakan layak muat.
Ada anak generasi Kuntum Gerjen yang ketika sekolah SMA memilih Muhi, seangkatan anak saya. Beda jurusan. Juga ada anak kolega sesama alumni Pemuda Muhammadiyah atau mantan pecinta alam. Bahkan ada yang satu fakultas dan satu jurusan di UGM.
Kembali ke tradisi baik teman-teman Kuntum Gerjen.
Nama majalah ini Kuntum. Diambil dari kata kuntum yang termaktub pada ayat Al-Qur’an yang berbunyi Kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnasi ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ’anil munkar watu’minuna billah.
Teman-teman Kuntum menerjemahkan amar makruf nahi munkar dalam tindakan jurnalistik yang nyata dan pernah membuat geger. Yaitu ketika penelusuran wartawan Kuntum yang menemukan begitu banyak praktek kos campur putra-putri bukan muhrim di kota Yogyakarta. Dengan investigasi senyap didapat data mengejutkan. Tentu karena maksudnya adalah menggambarkan secara nyata kasus kumpul kebo cah kampus dengan nyata tetapi tidak membuat marah narasumber berita maka penulisannya dibuat dengan gaya sastra bahkan memunculkan dialog jenaka. Misalnya, penghuni kos campur satu rumah, yang perempuan ditanya, bagaimana kalau ada hantu Mbak? Jawab mbaknya, tentu takut. Dan untuk mengurangi rasa takut dia tidurnya nggabung di kamar laki-laki. Dengan guyon ditanyakan tentang hal lain yang menunjukkan indikasi kalau di kos campur banyak hal-hal yang diinginkan terjadi.
Jadi, sebelum heboh kasus kumpul kebo dan lain-lain yang membuat orang tua di kampung ketar-ketir meledak di media, Kuntum sudah mencium gejala ini terlebih dahulu, dan lebih dahulu mengungkapnya lewat laporan utama. Motto atau semboyan Cah Kuntum waktu itu, menelusuri fakta dan menulis fakta dengan pendekatan atau gaya majalah Tempo. Untuk ini awalnya kami membaca buku Kalau Aku Jadi Wartawan Tempo dengan tekun dan mengamalkan jurus investigasi yang siip.
Amar ma’ruf nahi munkar bil qolam ini menjadi pedoman berjurnalistik bagi generasi Kuntum Gerjen ini. Beberapa puluh tahun kemudian ketika saya membaca penelitian tentang majalah Kuntum generasi Wirobrajan, pedoman jurnalistiknya sudah berubah hanya memperjuangkan amar ma’ruf untuk pelajar. Jadi nahi munkarnya dikurangi atau malah tidak ada sama sekali. Maka penampilan Kuntum menjadi lebih ceria dan sumringah sesuai keinginan generasi Z sekarang. Apalagi Kuntum kemudian membuat edisi website, Instragram, FB dan Twitter, disamping edisi cetak yang jalan terus.
Generasi Gerjen ini juga secara kreatif mengamalkan ayat fastabiqul khoirot. Begini, kebanyakan generasi Gerjen ini kan masih mahasiswa dan mereka setiap bulan sekali pergi ke Solo untuk mencetak majalah di percetakan Jagalabilawa di dekat Setasiun kereta api Purwosari sebelum masuk ke kampung Sondakan dan Laweyan. Nah begitu memasukkan lay out-an percetakan mereka menghibur diri dengan makan enak dan menentukan siapa yang berhak nonton film bagus gratis setelah majalah dibawa ke kantor diserahkan ke bagian distribusi.
“Ayo, kita tetap pakai aturan kita. Bagi teman-teman yang dalam ujian mata kuliah di kampus semester ini semua nilainya A berhak ikut nonton film ditraktir kantor. Yang nilai ujiannya B atau malah C jangan harap bisa ikut,” begitu kata Antung mantap.
Semua setuju dan mereka setor nilai A semua. Semua tepuk tangan. Waktu itu bioskop di Yogyakarta sedang ramai-ramainya memutar film The All President Man yang membongkar praktik tidak sah dengan cara menyadap calon lain dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat. Yang kena batunya adalah Nixon.
Sebenarnya saya pengin ikut nonton, tapi pada jam nonton saya hanya piket malam di kantor menemani Pak Moehadi Sofyan. Apalagi saya dijatah menulis Tajuk Rencana oleh Pak Moehadi yang honornya lumayan gede, tujuh kali lipat honor menulis berita biasa.
Anak-anak Kuntum generasi Gerjen ini juga punya aturan tidak tertulis, agar regenerasi lancar, yaitu barang siapa sudah lulus kuliah dan menikah dimohon dengan hormat non aktif dari Kuntum. Aturan bijak ini kami taati. Jadi ketika kemudian saya menikah, saya pun non aktif dari Kuntum. Saya fokus aktif di harian Masa Kini, juga bekerja di LP3Y, lalu aktif di Shalahuddin Press, kemudian aktif di Bentang Budaya, dan aktif di Suara Muhamadiyah.
Sungguh berkuntum ria beberapa tahun sangat mengasyikkan. Bisa mengamalkan beberapa ayat Al-Qur’an dengan nyata. Termasuk ayat Kuntum khoiro ummatin, yang kemudian hari ditadabburi oleh pak Kuntowijoyo sebagai ayat yang menggambarkan misi profetik umat Islam. Yaitu keharusan menjalankan misi humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (tu’minu billah). Ini menjadi dasar dari ide sastra profetiknya pak Kuntowijoyo yang sering dikutip dari dikampanyekan oleh mas Suminto A Sayuti dan Jabrohim Singodikromo.
Yogyakarta, 18-19 Agustus 2021.