CakNun.com

Asu Iki Masmu Le…

Ericka Irana
Waktu baca ± 4 menit
Image by Randy Rodriguez from Pixabay

Beberapa hari lalu, saya mendengar berita penyiksaan anjing di salah satu daerah Indonesia dengan tujuan ingin menciptakan daerah wisata yang konon akan berlabel halal. Bahkan sebulan sebelumnya, saya juga membaca berita tentang penangkapan pelaku penyelundupan anak-anak anjing untuk dikonsumsi.

Tulisan ini mengajak kita untuk lebih berperan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai pegiat Maiyah yang sering mendengarkan nasihat Mbah Nun, bahwa manusia adalah “anak bungsu” bagian dari alam semesta, di mana tumbuhan dan hewan adalah “kakak sulung” yang diciptakan Tuhan terlebih dahulu. Oleh karena itu, kita perlu mengaplikasikan hasil sinau bareng tentang segitiga cinta ala Maiyah, terutama kepada tumbuhan dan hewan, tak lain demi keberlanjutan generasi penerus kita nantinya.

Jujur, saya sendiri sangat takut terhadap anjing, kucing, monyet atau ayam, bebek, angsa sekalipun. Karena saya punya kenangan buruk ketika kecil dengan binatang-binatang tersebut, lagipula orangtua tidak pernah mendekatkan saya bagaimana seharusnya hidup berdampingan dengan binatang. Belum lagi doktrin dari guru agama Islam tentang anjing itu binatang yang najis, tapi lupa menanamkan kepada kami bahwa muslim juga harus menyayangi semesta sebab Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin.

Ketika baru pertama pindah ke Belanda, saya merasa sangat tidak nyaman kalau harus berpapasan dengan anjing, atau sedang bersantai di taman yang banyak anjing saling berkejaran bermain bersama pemiliknya, lalu tiba-tiba menghampiri kaki saya untuk sekadar menyapa. Saya juga takut dengan angsa-angsa liar atau burung camar yang hidup bebas, mereka bisa Anda temui hampir di semua sungai di Belanda. Alhamdulillah sekarang saya mulai berani menyapa “kakak-kakak” saya tersebut, dengan belajar memberi makan roti kepada angsa-angsa liar dan sangat menikmati bermain lempar-tangkap roti dengan burung camar yang sangat rakus itu. Meski sebenarnya ada aturan tidak boleh memberi makan roti kepada angsa, karena tidak baik untuk kesehatan mereka namun tetap banyak orang yang melakukan.

Beda di Belanda beda di Indonesia, seperti kita ketahui hewan-hewan liar di Indonesia tidak mendapat cukup ruang bebas. Jangankan burung gereja, yang sering jadi sasaran latihan tembak pelor senapan angin, hewan peliharaan seperti anjing juga tidak semua masyarakat bisa menerima. Hal ini mungkin karena kita jarang melihat anjing yang menggemaskan, sebab sebagian besar anjing di Indonesia hanya digunakan untuk membantu polisi, menjaga lahan atau rumah, tentu kita semua punya pengalaman melewati pagar rumah dengan tulisan “AWAS ANJING GALAK” yang secara tidak sadar terekam di alam bawah sadar agar berhati-hati atau menjaga jarak dengan anjing. Walhasil apa yang kita saksikan di berita akhir-akhir ini adalah buah dari apa yang dulu kita abaikan yaitu lupa mengajarkan kepada generasi penerus tentang perlunya kasih sayang terhadap binatang dan juga semesta.

Ada pengalaman menarik yang saya dapat ketika duduk satu bangku di kereta dengan seorang tuna netra yang membawa anjing pemandu (guide dog) yang sudah sangat lumrah terlihat di Belanda. Bapak di samping saya naik dari stasiun Amsterdam Zuid hendak menuju Kota Groningen, saya yang takut anjing mulai panik karena anjingnya duduk di lantai samping kursi menghalangi jalan keluar. Ada rasa pekewuh antara pindah kursi atau tetap berusaha tenang khawatir menyinggung si Bapak dikira saya tidak mau duduk dengan orang tuna netra. Akhirnya saya berdamai dengan rasa takut dengan memulai perbincangan, saya bilang “Maaf Tuan, saya takut dengan anjing, apakah anjing anda akan menggigit?” sebuah pertanyaan konyol yang keluar dari perempuan asal Indonesia karena takut anjing.

Beliau menjawab : Oh jangan khawatir, ini anjing baik dia sudah menemani saya selama 9 tahun, dia tidak akan menggigit. Percakapan kami berlanjut hingga menceritakan alasan saya kenapa takut anjing bahkan juga bercerita penyebab si Bapak menjadi tuna netra. Dan pesan terakhir sebelum saya turun di Stasiun Almere dari pria berusia 60-an yang ternyata seorang pensiunan dokter spesialis ini masih sangat lekat di benak hingga sekarang, tuturnya: “Setiap anak anjing dilahirkan dengan penuh cinta, sama seperti anak manusia, jika kamu memperlakukannya dengan penuh cinta maka dia juga akan mencintaimu, dan jika kamu memperlakukannya dengan buruk pun dia akan melukaimu”.

Apa yang perlu kita pelajari dari Masyarakat Belanda?

Di Belanda, pemerintah menyediakan area untuk hewan-hewan liar secara khusus. Mereka membagi lahan kecil Negeri Kincir Angin ini dengan adil. Ada lahan khusus pertanian, perumahan, kawasan industri, perkantoran, hutan tadah hujan, hingga penangkaran hewan liar yang tidak boleh diganggu-gugat tata letaknya. Bahkan ada partai politik yang membela kepentingan hewan, namanya Partij voor de dieren – partai untuk hewan, yang didirikan pada 22 November 2006 dan terus berkembang hingga sekarang. Haram hukumnya membunuh hewan-hewan liar tersebut, jangankan membunuh hewan, mencuri telurnya saja juga bisa dihukum. Masyarakat setempat, terutama orang tua juga sangat berperan mengenalkan anak-anak mereka untuk sayang binatang, tumbuhan, dan lingkungannya sejak kecil. Pemerintah daerah sangat mendukung “kampanye sayangi binatang” ini dengan membangun fasilitas kinderboerderij, semacam lahan peternakan atau mini zoo yang dikelola bersama warga sekitar secara sukarela. Biasanya tempat ini dipenuhi oleh anak-anak usia pra-sekolah didampingi orang tua mereka untuk mengenal lebih dekat binatang ternak, dan kegiatan alam lainnya. Jika Anda penasaran, sila lihat akun Instagram salah satu dari enam kinderborderij di Kota Almere @stadennatuuralmere.

Tentu kita tidak bisa serta merta men-duplikasi secara letterlek apa-apa yang datang dari Eropa ke ranah Indonesia, tapi ada satu pesan penting yang perlu kita lakukan sebagai pegiat Maiyah, baik yang masih jomblo apalagi yang sudah berkeluarga! Saatnya kita mengaplikasikan apa yang kita sinaoni bersama Mbah Nun terhadap diri kita, keluarga, kerabat dan lingkungan terdekat tentang segitiga cinta antara manusia, hewan, dan tumbuhan. Kalau pemerintah Indonesia belum berpikir ke arah itu, tidak salah rasanya jika kita menjadi pelopor untuk mulai bermesraan dengan sedulur tuwo yaitu hewan dan tanaman, agar tidak ada lagi kasus penyiksaan terhadap binatang maupun perusakan alam di masa mendatang. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang selalu memperbaiki diri dari hari demi hari. Tidak perlu kita muluk-muluk ingin mengubah Negara Indonesia menjadi seperti Negara-negara Eropa, kalau kehidupan kita pribadi masih amburadul, kata orang Kediri ora usah kemoncolen! Salam hormat untuk teman-teman Maiyah dimanapun berada dari Kota Almere Belanda.

Lainnya