Asal Bukan Cicak
Tatkala mempersaksikan dengan imajinasi rasional dan emosionalnya peristiwa seekor cicak yang meniup api pembakar Nabi Ibrahim, sementara seekor semut datang dengan setetes air untuk bermaksud ikut memadamkan api, teman-teman KiaiKanjeng menelusuri tahap-tahap analisis: Apakah cicak dan semut itu adalah makhluk subjek yang berakal sebagaimana manusia? Sehingga cicak bisa kita persalahkan dan dihukum dan semut bisa kita kasih apresiasi atau pujian?
Sama sekali tidak dan bukan. Cicak dan semut itu bergerak ke arah api tidak karena diinstruksikan oleh komandannya. Tidak ada perintah dari Raja Cicak atau Raja Semut. Tidak karena fatwa, pengerahan atau mobilisasi sebagaimana dalam dunia manusia. Di satu sisi, alam dan binatang “beruntung” karena Allah dan para Malaikatnya sendiri yang menggerakkan kehidupannya. Sampai-sampai Allah secara utuh menginformasikan dan memastikan:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۖ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
“Bertasbih kepada Allah (semua) apa (saja) yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Makhluk “apa” pasti bertasbih, bersujud, patuh 100% kepada Allah. Pada saat yang sama “siapa”nya belum tentu bertasbih kepada Allah. “Siapa” adalah makhluk subjek berakal. “Apa” adalah segala yang diciptakan oleh Allah, termasuk cicak dan semut. Maka manusia “kurang beruntung” karena harus berinisiatif atau memilih sendiri untuk mengabdi kepada Allah atau tidak. Dan manusia menanggung risiko dari pilihan yang diambilnya. Sementara alam dan hewan tidak mungkin”dipidanakan” oleh Allah. Tidak diinterogasi oleh Malaikat Munkar Nakir, Raqib Atid. Juga tidak dipilah berdasarkan tugas Kepala Bagian Ridlwan atau Malik.
Semua makhluk alam, dari benda hingga binatang, 100% berlaku secara pasif dalam posisi “di-remote” oleh sunnatullah, iradatullah, dan amrullah. Kambing tidak bisa dipidanakan karena makan rumput di halaman tetangga tuannya. Harimau tidak bisa dipenjarakan atau apalagi dihukum mati karena memakan rusa.
Kalau semut membawa air ke api yang membakar Ibrahim demi menyatakan keberpihakannya, ia bukanlah seperti petugas Damkar atau tetangga yang datang menyirami api pembakar rumah tetangganya. Juga cicak. Kisah kedua binatang kecil itu adalah “ayat” Allah. “Tanda”, “sanepan”, “amtsal”, “X dan Y-nya matematika” yang dimaksudkan agar manusia menentukan sikapnya terhadap nilai-nilai kehidupan.
Komunitas Dipowinatan hingga Kadipiro, yang banyak saya kisahkan dalam tulisan-tulisan Kebon ini, mungkin juga bukan “subjek sepenuhnya” sampai ke tingkat kesadaran ilmu, idealisme, ideologi, teologi atau teosofi. Sampai sekian persen kadarnya, mereka mungkin juga “semut yang di-remote” oleh gelombang sosial yang menyeretnya.
Maka mereka juga tidak terobsesi oleh pamrih apapun atau menyesali bahwa dalam kenyataan sejarah: bukan bagian yang penting atau berperan dalam perikehidupan berkemajuan bangsa Indonesia. Mereka bukan penempuh-penempuh karier yang sukses. Tidak ada yang manjadi tokoh nasional, doktor ilmu, ulama agama, pemimpin gerakan, pemuka organisasi, ormas, parpol atau apapun.
Mereka hanya manusia kampung. Orang-orang awam. Ciptaan Allah yang hanya mengandalkan ketekunan dan kesetiaan dalam berproses. Mereka bukan orang Arab, Cina atau Barat. Mereka orang Jawa kampung. Mereka mempertahankan dirinya dalam proses itu agar jangan sampai, dalam skala besarnya: Indonesia menjadi bukan Indonesia. Agar Jawa tetap Jawa, karena Jawa tidak harus mengingkari Jawanya untuk menjadi Indonesia. Agar makhluk Tuhan tetap makhluk Tuhan. Agar bertauhid tetap bertauhid, meskipun menjalani berbagai macam kegiatan dalam hidupnya.
Itu tidak berarti mereka adalah manusia Muslim yang alim dan saleh. Yang patuh beribadat mahdlah dengan kostum yang indah dan suci. Mereka orang awam biasa. Berpakaian sebagaimana kebanyakan orang. Mulut mereka juga mulut orang kampung biasa sebagaimana lain-lainnya. Mereka hanya pengikut atau penganut. Yang mereka anut bukan orang Barat, melainkan logic modernitas dan etos kreativitas. Yang mereka ikuti bukan orang Arab, melainkan wahyu Allah terutama tauhid.
Yang mereka olah dan pentaskan sejak Teater Dipowinatan, Dinasti hingga KiaiKanjeng semua dalam lingkup itu. Mereka hadir membawa dirinya sendiri. Mereka berkarya berdasarkan kekayaan budaya mereka sendiri. Musik Dinasti tidak meniru band-band Barat meskipun itu menjadikan mereka “tidak dihitung”.
Teater Dinasti mementaskan lakon-lakon dari sejarah bangsanya sendiri, yang mereka rumuskan dan tuliskan sendiri. Tidak menterjemahkan karya Shakespeare atau Leo Tolstoy. KiaiKanjeng juga tidak ikut trend atau genre musik dunia dan Indonesia yang manapun. Karena memang Allah menciptakan mereka menjadi diri mereka, bukan diri-diri yang lain dari Amerika Serikat atau Mesir atau Beijing atau Seoul.
وَمَن يَدۡعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ لَا بُرۡهَٰنَ لَهُۥ بِهِۦ
فَإِنَّمَا حِسَابُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦٓۚ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
Kalau pakai bahasa teologi, Dinasti maupun KiaiKanjeng tidak pernah punya keberanian untuk tidak bertauhid. Tidak berani menjadi siapapun dan berbuat apapun yang menurut akal dan roso mereka tidak seperti yang Allah Swt mengkonsep dan menciptakannya. Mungkin ini memerlukan ragam ilmu seperti antropologi, filologi, etnotalentologi, atau banyak lainnya. Maka jangan disangka kalau seluruh keputusan kreatif itu hanya didasarkan pada “common sense” atau “roso”. Dengan harmoni bekal antara alam dengan ilmu seperti itu, kalau ada di antara mereka yang “nakal-nakal” dan “anarkhis” pikiran atau perilaku budayanya, saya tetap mencoba memahaminya sebagai bagian dari kekayaan ciptaan Allah. Saya wajib “lita’arafu” terhadap “syu’uban wa qabail” semacam itu.