Ar-Rahman, Ar-Rahim, Kuantitas dan Kualitas Kasih Sayang
Sejak sore udara di Jombang terasa lebih dingin dari biasanya. Langit memang mendung, tapi hujan belum menyapa tanah yang basah. Cuaca terasa nyaman untuk melangsungkan Sinau Bareng.
Jum’at malam, 26 Februari 2021, mulai pukul 20.00 WIB Pengajian Padhangmbulan digelar di desa Mentoro Sumobito Jombang. Di teras ndalem kasepuhan berkumpul keluarga besar Bani Muhammad. Malam itu Cak Fuad dan keluarga, Al-Hamdulillah, hadir menyapa jamaah.
Sesuai Pengantar Majelis Ilmu Padhangmbulan edisi Februari 2021, kita nyinauni Asmaul Husna. Ini semacam “tema besar” yang akan berlangsung hingga entah berapa bulan ke depan. Tema besar ini tidak dilahap habis dalam satu kali pengajian, melainkan disajikan dalam subtema. Malam itu subtemanya adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Mbak Yuli, Cak Majid, dan teman-teman Lemud Samudro telah menyiapkan lantunan Asmaul Husna, shalawat dan puisi Mbah Nun yang terhimpun dalam buku 99 Untuk Tuhanku.
Cak Fuad menyambut baik pilihan tema ini. Beliau menyiapkan bahan khusus yang dibacakan langsung dari kitab Wa Lillaahi Asmaul Husna. “Berapa sesungguhnya jumlah nama dan sifat Allah?” tanya Cak Fuad, sebelum memaparkan sifat Ar Rahman dan Ar Rahim. 99 nama Allah yang termaktub dalam Asmaul Husna adalah nama yang dikenalkan oleh Allah. Selebihnya, tidak ada yang mengetahui berapa sejatinya nama dan sifat Allah. Bahkan para malaikat pun tidak.
Tentu ada maksud mengapa Allah mengenalkan nama dan sifat-Nya kepada manusia. Sedikitnya ada tiga interaksi yang bisa dijalin dari Asmaul Husna. Pertama, untuk dihapal (al-hifdhu). Harap dicatat, yang dimaksud hapal bukan sekadar melafalkan tanpa melihat teks. Kendati hapall Asmaul Husna tetap memiliki nilai kebaikan, namun al-hifdhu bisa berarti menjaga dan memelihara.
Dari Abu Hurairah ra Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu. Siapa yang menghapalnya ia akan masuk surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Kita menjaga akhlak perilaku kita dengan mengamalkan sifat dan nama baik Allah. Kita melakukan internalisasi nilai, misalnya sifat Ar-Rahman, untuk menyayangi siapa saja. “Sayangilah mereka yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangimu.”
Celakanya, sudah tidak hapal Asmaul Husna, tidak pula nama atau sifat Tuhan itu mengejawantah dalam perilaku.
Kedua, memahami nama dan sifat Allah dalam Asmaul Husna. Malam itu kita ngaji bareng untuk menata ulang pemahaman terhadap nama-nama Allah agar memiliki akurasi yang tepat saat membaca atau menyeru-Nya dalam doa. Ketiga, kita menjalin interaksi dengan Asmaul Husna melalui doa. “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (Q.S. Al-A’raf: 180).
Adapun sifat Ar-Rahman disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 57 kali. Sifat kasih sayang yang sempurna dan luas adalah pengejawantahan dari Ar-Rahman. Kata ini menggunakan wazan “fa’laan”. Selain menunjukkan keluasan ruang lingkup, Ar-Rahman juga mengandung kuantitas kasih sayang yang tak terbatas.
Sedangkan Ar-Rahim yang disebut sebanyak 114 kali dalam Al-Qur;an—menggunakan wazan “fa’iil” — menunjukkan kedalaman dan kualitas kasih sayang yang tidak tertandingi.
Sering kali kita menerima penjelasan dari Mbah Nun bahwa Ar-Rahman adalah kasih sayang yang bersifat meluas, sedangkan Ar-Rahim adalah kasih yang mendalam. Saking istimewanya sifat Ar-Rahman, Allah menyandingkan sifat-Nya dengan Ismul A’dham (Allah). “Berdoalah kepada Allah atau kepada Ar-Rahman dengan nama mana saja yang kalian bisa memanggil-Nya, karena Dia mempunyai Asmaul Husna (nama-nama terbaik).” (Q.S. Al-Isra’: 110)
Cak Fuad juga menjelaskan kaitan antara Ar-Rahman Ar-Rahim dengan sifat ihsan, sikap takwa, dan kandungan surat At Taubah ayat 128. Pada surat ini secara gamblang Allah menyampaikan sifat Nabi Muhammad yang tidak tega terhadap penderitaan yang menimpa umatnya sebagai tajalli sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim
Satu lagi pelajaran yang bisa kita petik adalah Ar-Rahman merupakan sifat Dzat dan Ar-Rahim sifat Perbuatan. Kita bisa mentadaburinya, misalnya dengan menjadikan Ar-Rahman sebagai bahan dasar yang diolah menjadi bentuk perbuatan yang dimuati sifat Ar-Rahim. Perkataan, perilaku, keputusan sejarah pada tingkat, ruang lingkup dan dimensi apapun seharusnya dimuati sifat Rahimiyyah Allah.
Pengalaman mengolah Rahmaniyyah menjadi Rahimiyyah diceritakan oleh Bapak Samsul dan Mas Isa dari Mojokerto. Keduanya menuturkan cerita bahwa sifat Rahman Allah bekerja dalam hidup sehari-hari sehingga sifat Rahim pun hadir di setiap momentum demi momentum. Allah memang Maha Gaib, tapi sifat Rahman dan Rahim-Nya hadir begitu nyata.
Cerita dari Bapak Samsul dan Mas Isa merupakan sesi berbagi dalam Pengajian Padhangmbulan. Diharapkan sesi ini dimanfaatkan oleh jamaah untuk menuturkan pengalaman, pandangan, atau apapun terkait tema pengajian. Sesi berbagi ini bukan sesi pengadilan untuk menentukan status hukum “benar” atau “salah”.
Kita harus kembali menegaskan sikap bahwa belajar tidak selalu bergantung pada siapa tapi juga bisa dimulai dari apa. Pengajian Padhangmbulan menyediakan sesi berbagi sesama jamaah dengan sikap saling menghargai siapa dan apa sekaligus.
Cak Dil yang menemani pengajian hingga usai juga menuturkan pentingnya menjaga keseimbangan antara siapa dan apa. Kita belajar membebaskan diri dari belenggu tali otoritas dan desas-desus waswasa yuwaswisu yang mendewa-dewakan, menokoh-nokohkan, memitos-mitoskan manusia.
Cermati apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan menjadi rujukan kita. Sedangkan pada momentum konteks yang lain cermati pula siapa yang mengatakan, bukan apa yang dikatakan.
Dialog dan pembahasan pun mengalir seraya bershalawat dengan dipandu Mbak Yuli, Cak Majid dan Lemud Samudro.
Tiba giliran Mas Helmi menyampaikan Asmaul Husna yang dikaitkan dengan filsafat, ilmu kalam, tasawuf, praktik hidup, Mbah Nun dan Maiyah. Pada pembahasan ilmu kalam sesungguhnya Allah tidak bisa didefinisikan melalui konsepsi apapun. Hal itu disampaikan Mas Helmi sesuai pandangan Syaikh Nursamad Kamba bahwa ilmu kalam tidak bisa membatasi pengertian Tuhan melalui konsepsi-konsepsi teologis. Yang mengerti Allah adalah Allah sendiri.
Hal itu sejalan dengan pemaparan Cak Fuad bahwa 99 Asmaul Husna adalah inisiatif Allah sendiri untuk mengenalkan Diri-Nya.
Mencermati Asmaul Husna yang disampaikan Mbah Nun, kita akan menemukan panduan berpikir, langkah metodologis, how to yang aplikatif untuk menjalani hidup sehari-hari. Asmaul Husna ditransformasi menjadi laku transendental dan kultural.
Di akhir sesi jamaah juga menyimak penuturan Pak Zain, terapis Zamatera. Manfaat yang dibagikan melalui terapinya tak lain adalah bukti nyata sifat Rahman Rahim Allah. Lebih tegas Pak Zain menyatakan bahwa Mbah Nun dan Maiyah adalah bentuk Kasih Sayang Allah yang diberikan kepada kita.
Pengajian Padhangmbulan ditutup dengan doa wirid Allah Yang Maha Mencukupi (Hizbul Autad) yang dipandu oleh Cak Majid, Mbak Yuli dan Lemud Samudro.