Aqidah dan Ideologi Mudik
“Pulanglah ke desa” sudah dilaksanakan dengan mudik setahun sekali setiap Lebaran. Tujuannya jelas: karena ingin ketemu dan berkumpul dengan sanak famili di kampung halaman kelahiran. Mobilitas mudik selama berpuluh-puluh tahun atau mungkin berabad-abad dipahami sebagai mekanisme kultural, peristiwa budaya, memelihara persaudaraan asal-usul.
Tidak buruk. Itu sangat baik. Bahkan yang terbaik dibanding seluruh masyarakat negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk di antara Kaum Muslimin dunia, meskipun merisikokan sebagai implikasi ekonomi dan keruwetan mekanisme yang pemerintah harus sedemikian rupa mengantisipasi dan menatanya.
Kalau berpikir positif, masyarakat urban yang melakukan mudik sangat jelas mereka “kembali ke huma berhati”. Hati merekalah yang tergerak untuk mobilitas massal itu, dan pikiran mengaplikasikannya secara teknis. Desa atau kampung halaman adalah “huma” mereka, bukan sekadar “rumah”sebagaimana yang mereka miliki di kota-kota besar. Huma adalah rumahnya hati. Hanya saja hampir semua pelakunya tidak meneruskan eksplorasi dan imajinasinya tentang huma dan kampung halaman itu sampai ke dimensi yang lebih hakiki dan esensial.
Mereka berhenti pada kampung halaman fisik, meskipun di dalamnya memang terdapat Bapak Ibu Kakek Nenek dan semua keluarga. Pengembaraan pengetahuan mereka mandeg ketika sampai di Rahim Ibu dan janin. Juga mereka tidak mentafakkurinya hingga ke fakta hakiki kehidupan.
Sabrang MDP mengatakan pada diri manusia terdapat 8 (delapan) memori: Elemental, Atomic, Evolutionary, Genetic, Karmic, Inarticulate, Articulate, Conscious. Berlapis-lapis kesadaran, di atas, di dalam, ataupun di bawah sadar. Kita bisa terbang sampai ke Nur Muhammad. Katakanlah berarti ada memori “nur”, memori cahaya. Mudik sejati, yang terjauh dan terpangkal dari segala pangkal:
Suatu hari Sayidina Ali karamallahu wajhahu, misan dan menantu Nabi Suci Saw bertanya: “Wahai (Nabi) Muhammad, kedua orang tuaku akan menjadi jaminanku, mohon katakan padaku apa yang diciptakan Allah Ta’ala sebelum semua makhluk ciptaan?”
Diriwayatkan dari Abdurrazaq ra yang diterimanya dari Jabir ra, bahwa Jabir pernah bertanya kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku, apakah yang mula-mula sekali Allah jadikan?” Rasulullah Saw menjawab: “Sesungguhnya Allah ciptakan sebelum adanya sesuatu adalah nur Nabimu dari Nur-Nya.”
Nur Muhammad itu sudah ada sebelum adanya segala sesuatu di alam ini. Nur Muhammad dianugerahi tujuh lautan: Lautan Ilmu, Lautan Kelembutan, Lautan Pikir, Lautan Sabar, Lautan Akal, Lautan Cinta, dan Lautan Cahaya. Dia kemudian membagi Nur ini menjadi empat bagian Dari bagian pertama Dia menciptakan Pena. dari bagian kedua Lauhul-Mahfudz, dari bagian ketiga ‘Arsy”.
Tetapi sesungguhnya kaum muslim nusantara sejak berabad yang lalu sudah merangkum multi-lautan atau multi-langit di dalam pelaksanaan kultural hingga pelaksanaan rohaniah mereka — meskipun belum tentu dengan kesadaran dan pengetahuan atas itu semua. Mereka melaksanakan berdimensi-dimensi memori kehidupan itu secara alamiah, dengan faktor kesadaran cukup dirumuskan dan dimengerti bahwa mereka lakukan itu semua karena dan demi Allah Swt.
Memang dibanding hidup dan berlaku sebagai manusia, jauh lebih mudah dan lebih aman Allah menjadi, berlaku dan sebagai alam: udara, tanah, batu, pepohonan atau binatang. Macan tidak berdosa dan menanggung neraka meskipun makan kambing tiap hari. Bahkan burung blekok tidak diklaim oleh siapapun sebagai makhluk kejam sesudah ia makan katak. Puncaknya, menurut penyair sesepuh Maiyah, tidak ada binatang buas. Sejauh berlangsungnya sejarah, manusialah yang terbukti buas dan kejam. Baik karena binatang tidak memiliki laut-langit kesadaran, juga karena harimau tidak ditakdirkan oleh Tuhan untuk bisa hidup dengan mengkonsumsi rumput atau daun-daun.
Sebagaimana Malaikat, fakta hidup binatang adalah ya’malu ma yu`marun: hanya melakukan yang ditakdirkan, hanya melaksanakan yang diperintahkan. Tidak ada ikan diperintah untuk terbang, dan tidak ada burung diperintah untuk berenang.
Malaikat, alam dan binatang adalah “makhluk kepastian”, dengan segala ekosistem yang diperlukannya sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. Sementara manusia adalah “makhluk kemungkinan”, Allah menganugerahinya bekal dan peralatan untuk memilih ini atau itu, untuk menyadari, memahami, merumuskan dan memetakan kemungkinan-kemungkinan yang ia berhak atau berkewajiban untuk mengambilnya.
Kaum muslim, termasuk ulama dan kiainya, berhak memilik pemaknaan mudik, memahami landasan aqidahnya atau mengideologikan tradisi budayanya, cukup sampai kampung halamannya di sebuah kecamatan, ataukan meneruskannya hingga ke langit-langit kenyataan hidup, spektrum nilai-nilai, gelembung makna-makna, kesempitan dan keluasan hikmah. Cukup mudik ke Menturo Jombang, ataukah memudikkan naluri dan kesadaran hingga ke nabi Adam, bahkan hingga ke Sorga dan Nur Muhammad.
Sangat susah untuk lulus menjalani konsep “makhluk kemungkinan” sebagai manusia. Saya, juga anak-anak Maiyah, atau sahabat-sahabat Dipowinatan, Dinasti dan KiaiKanjeng, mungkin saja tidak termasuk manusia yang lulus. Banyak teman sama-sama tidak lulus dari abad-abad yang berbeda-beda.
Tetapi yang saya lebih cemas adalah bahwa Iblis, Dajjal, Ya’juj Ma’juj dan Syaithan — ternyata adalah juga”makhluk kepastian”. Mereka semua dipastikan oleh Allah untuk menjadi seperti itu: durhaka, kufur, mbanggel, ngeyel, jahat, kejam dan semua yang buruk-buruk. Tapi itu karena Allah memang memastikan mereka menjadi seperti itu.