“Anggak” Kepada Tuhan
Pada usia 5 menuju 6 tahun, Ibu dan Ayah membawa saya ke rumah dengan tujuan minta didoakan agar saya mau sekolah dan mengaji. Tetapi ternyata “konseling” yang saya alami di rumah Gus Ud hari itu tidak ada alur kognitif rasionalnya serta tidak mengacu pada tujuanya. Ibu dan Ayah saya tidak pernah bilang minta doa. Hanya mengobrol dan mengalir saja.
Ketika kami diterima di rumah depan rumah Gus Ud, beliau marah kepada saya karena katanya saya memelototi beliau. Kemudian saya digusak metu, saya diusir keluar dan saya berlari ke pasar. Kemudian terjadi adegan dengan Nenek saya di Musholla depan, saya malah dipangku sesudah “bertengkar” dengan beliau, Gus Ud minta uang yang disembunyikan di balik kutang, dan seterusnya.
Tetapi sore harinya sepulang kami dari rumah Gus Ud, saya tiba-tiba minta kepada Ibu agar membelikan saya mushaf Qur`an. Pun beberapa hari kemudian saya minta masuk Sekolah. Dengan syarat tidak di SDI “Mansya`ul Ulum” di depan rumah kami yang didirikan oleh Ayah saya. Melainkan di SD Bakalan empat desa sebelah timur Menturo. Padahal selama di rumah Gus Ud tidak ada tema mengaji atau bersekolah.
Jadi proses hijrah psikis dan mental saya dari tidak mau mengaji dan bersekolah menjadi mau bahkan minta sendiri kepada Ibu, tidak berlangsung kognitif-linier. Andaikan pada waktu itu saya dibawa ke psikiater, mungkin saya malah buka celana dan kencing ngathar seperti waktu di SD Bakalan dulu. Kasus seperti itu tidak hanya mungkin terjadi pada skala personal, mungkin juga sosial, bahkan bisa juga sebuah negara berubah tidak melalui proses-proses yang kognitif-linier. Atau menurut bahasa modern: tidak rasional. Padahal bagi saya atau Gus Ud, itu rasional dan biasa-biasa saja.
Manusia tidak mampu meneliti miliaran urat saraf di otaknya, di jantung dan seluruh tubuhnya. Manusia tidak pernah benar-benar sanggup merumuskan kalau suatu keinginan muncul di hati dan diucapkan lewat mulut, sebenarnya bagaimana asal-usulnya, persentuhan antara apa yang terjadi, siapa yang sebenarnya mengerjakan, apa hubungan antara helai-helai saraf dengan kemauan manusia dan iradat Allah. Manusia hanya tahu ia punya keinginan, yang wajar maupun penuh nafsu, sampai kemudian lahir ideologi atau keyakinan atas hak asasi manusia yang bernama “free will” atau “freedom of expression”. Seolah-olah manusia mengetahui bagaimana asal-usul kemauannya. Seolah-olah ia adalah satu-satunya subyeknya.
Ketika Gus Ud lewat di suatu jalanan, ada pohon bambu yang rantingnya melebar keluar melewati pagar, sehingga buahnya bergelantungan dan Gus Ud mengambilnya. Yang punya rumah dan mangga itu marah, karena memang itu haknya. Gus Ud mengembalikan mangga itu, memberikannya kepada si empunya rumah sambil mengomel “Yo wiiis gak mangan po yo gak pathèken”.
Po itu mangga, bahasa Jombang. Malamnya pohon mangga itu layu daun-daunnya menjadi kuning. Paginya tinggal batang pohonnya mengering.
Pada suatu siang Gus Ud rebah menelentang dengan menangis merengek-rengek berteriak-teriak seperti bayi di tengah jalan raya Mojoagung. Jalanan jadi macet. Polisi datang mengantisipasi dan bertanya “Enten nopo Gus?”. Beliau menjawab: “Dari tadi Kanjeng Nabi sliwar-sliwer lewat di sekitar sini. Tidak ada yang menyapa. Tidak ada yang hatinya selawatan. Apalagi mulutnya. Kabeh menungso iki urusane duwik, duwik, duwik, bathi, bathi, bathi, ndunyo. ndunyo, ndunyo… Tak deleh endi raiku. Isin pol aku nang Kanjeng Nabi”.
Pak Polisi bingung. Lha bagaimana. Yang bisa melihat dan mengalami Rasulullah hadir hanya Gus Ud sendiri. Lainnya buta tuli.
Ada kombinasi atau festival Terbangan di Langgar depan rumah kami di Menturo. Gus Ud pasti datang di setiap acara shalawatan. Tidak perlu dijemput oleh panitia. Gus Ud datang sendiri. Ketika ada pengajian Pak Muhammad Natsir Masyumi di Sentul Jombang, ia dijemput pakai mobil. Gus Ud menolak, sehingga petugasnya balik ke Sentul. Sesampainya di Sentul Gus Ud sudah joget-joget dan riuh rendah “ditanggap” oleh para tokoh dan tamu-tamu. Pakai apa beliau ke Sentul, kok datangnya lebih dulu dari mobil penjemputnya? Mungkin pakai helikopter made in Kerajaan Sulaiman.
Dalam kombinasi terbangan itu, dan memang di mana saja, Gus Ud tidak bisa diatur. Bahkan juga tidak mau dihormati atau dijunjung-junjung. Beliau malah buang air kecil di niratan Mushalla Menturo Wetan dengan hanya membuka sarungnya lebar ke depan. Wallahu a’lam menurut para penduduk dan yang ada di situ, tidak ada bekas air kencing Gus Ud.
Di tengah para pemuka terbangan “mbawa`” atau memimpin di depan pegang terbang dan melantunkan syair-syair Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim (1690-1766 M), Gus Ud tiba-tiba menginterupsi. Terbangan jadi terpotong mendadak. Gus Ud merebut terbang dari tangan salah satu “pembawa`” . Mengangkatnya dengan tangan kiri tinggi, kemudian berteriak: “Yokopo rek, terbangan kok klelat-klelet…Isin nang Kanjeng Nabi aku rek..Ngene lho terbangan iku…”
Gus Ud menabuh terbang itu dengan telapak tangan kanannya. Bagaikan “shoihatan wahidatan” dari Malaikat Isrofil, terbang itu berbunyi seperti ledakan dan semua lampu petromak mendadak mati. Berpuluh-puluh “damar strongking” mendadak mati dan keadaan gelap gulita.
Para pemuda Menturo yang mentuan-rumahi kombinasi itu nyeletuk: “Waaah Gus Ud iki ngrepoti ae….”. Kemudian mereka menyalakan kembali lampu-lampu petromak itu satu persatu.
Tapi para pemuda Menturo memang sangat mencintai Gus Ud. Kalau mau berangkat kombinasi terbangan ke tempat yang jauh, mereka berebut memboncengkan Gus Ud. Tapi Gus Ud memilih sendiri rekanannya. Dan kalau ia membonceng sepeda, tidak pernah duduk tenang. Selalu joget-joget, bahkan berdiri dan menghadap ke belakang sambil nyanyi-nyanyi dengan suara yang sangat jelek.
Tiba di suatu tempat di antara pesawahan-pesawahan desa, Gus Ud tiba-tiba meloncat turun dari sepeda. Kemudian sepeda itu didorongnya sampai terjungkal masuk ke sungai di samping gerumbul-gerumbul pepohonan. Semua rombongan kombinasi berhenti dan melihat apa yang terjadi. Gus Ud turun ke arah sepeda itu terjungkal ke sungai.
“Enten nopo Gus?”
“Takono dewe nang arek iku.”
Ada apa Gus? Tanya sendiri ke anak itu. Dan sebelum ditanya si korban yang sepeda terjun masuk sungai itu menjawab sendiri: “Enggih Gus, kulo wau dalu ngondol ten mriki”. Ya, Gus, tadi malam saya melacur, membawa perempuan ondolan ke sini.
Pengalaman seperti ini dan ratusan lain di seluruh belahan dunia membuat saya tidak terpukau oleh kedahsyatan, kecanggihan atau kemewahan dunia modern. Mungkin juga menjadi rentan terhadap ilmu dan pemahaman-pemahan modern. Apa yang masuk akal bagi saya, tidak masuk akal bagi ilmu modern. Ribuan pengalaman saya menurut peta nalar modern tidak ada alur kontinuitas-rasionalnya dengan apa yang saya lakukan dan peroleh sekarang. Saya mengalami dan mengakui ribuan hal yang dunia modern tidak mengakuinya, bahkan meremehkan dan mengejeknya.
Saya sangat menghormati prestasi-prestasi peradaban modern, tetapi tidak kepencrut. Saya menghargai sangat banyak hasil kecerdasan dan kerja keras manusia modern, tetapi tidak mungkin bisa memabukkan saya. Saya mengapresiasi segala kemajuan manusia dengan keduniawiannya, tetapi saya tidak akan menjadi tawanannya. Saya sangat ikut menikmati dan mensyukuri banyak produk teknologi, kebudayaan dan peradaban modern, tetapi itu sama sekali tidak cukup untuk mengurangi kenikmatan spektrum ukhrowi saya serta keindahan Kitab Kehidupan dan Ilmu Hikmah dari matematika dunia-akhirat saya.
يَتۡلُواْ عَلَيۡكُمۡ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمۡ
وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ
وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمۡ تَكُونُواْ تَعۡلَمُونَ
“Sebagaimana Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu. Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang menuturkan pertanda-pertanda Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Saya berombongan dengan satrawan-sastrawan sedunia dari Iowa ke Chicago, kemudian kami dirampok oleh preman-preman Illinoise, kecuali saya. Di pelosok Indianapolis dua orang berbadan gempal, yang mengaku dan pura-pura menjadi bodyguard-nya The Osmond Brothers menodongkan pisau dan meminta uang saya. Sambil mulut saya mengunyah silet Tatra saya pinjam pisau itu dengan maksud akan saya makan juga. Kemudian saya ajak mereka ke Restoran, makan minum dan saya belikan beberapa bungkus rokok, dalam posisi sedekah, tidak karena ditodong. Bahkan kalau mereka mau, saya siap membelikan dua tiket Bis ke Muncie City untuk mengunjungi Bulik saya Wardah Chafidh yang sedang kuliah di Ball-State University.
Ini bukan kisah tentang kehebatan. Melainkan ekspressi dari olah spektrum yang saya terapkan dalam hidup saya. Di tulisan-tulisan lain saya berkisah tentang digrebeg tentara di Masjid Salman Bandung, dikejar-kejar petugas di Makassar dan Sampang, penyerbuan Majene, perdamaian Dayak-Madura di Sanggau, tawur horisontal di Tulangbawang, dan sejumlah peristiwa lain yang juga bukan kisah tentang kehebatan dan kegagahan, melainkan tentang “lita’arafu”, pengenalan terhadap makhluk manusia.
Pengenalan ilmu modern tentang manusia sangat jauh berbeda dengan saya kenali dan alami. Dunia modern menolak mempelajari banyak hal yang saya sangat mempalajari dan menikmatinya. Sebagaimana juga manusia modern menikmati sangat banyak hal yang menurut saya kurang otentik dan kurang teruji sehingga kurang valid untuk menjadi kenikmatan.
Maka Allah kasih saya lagu yang kemudian saya transfer ke KiaiKanjeng dan dihapalkan oleh semua Jamaah Maiyah:
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ
وَلَاحَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Hasbunallah. Cukup Allah yang merupakan sumber kenikmatan manusia. Hanya Allah yang men-supply, men-tanazzul-kan, menaburkan, menebarkan, melimpahkan. Dan teknis serta prosedur maupun muatannya ditentukan oleh Allah. Tidak oleh saya dan manusia siapapun. Apalagi oleh manusia dan ilmu modern yang kebanyakan “anggak” kepada Tuhan.