Anakku Glundang-glundung Sepuluh
Sepeninggal Marja’ Maiyah KH Ahmad Muzzammil saya dan semua Jamaah Maiyah sungguh-sungguh “kelangan enggok” dalam hal-hal yang berkaitan dengan narasi Islam terutama yang dari Kitab-Kitab Kuning. Secara pribadi saya juga seperti “kelu” utamanya hal-hal yang menyangkut romantisme dan optimisme saya terhadap Kaum Muslimin Madura.
Dalam sebuah acara bersama KiaiKanjeng di halaman rumah salah seorang cucu Syaikhona Kholil Bangkalan, sempat terjadi pembicaraan yang berangkat dari kerinduan saya kepada kemungkinan lahir dan bangkitnya kembali “Basrah” yang dulu merupakan Lingkaran Perhimpunan Ulama-Ulama Madura. Sekarang tiada lagi Muzzammil. Tiada lagi pengetahuan saya tentang gerbang masa depan ghirrah Islam Madura.
Hal Kitab Kuning atau pengetahuan-pengetahuan tradisional Islam masih bisa digali lewat dua titik dan sumber dari Maiyah Kudus atau Gambang Syafaat Semarang. Juga dalam Islam yang “segala-galanya” adalah Al-Qur`an itu sendiri. Di Pesantren Banyuanyar di dekade 1980-an tengah-tengah berceramah saya digugat oleh salah seorang Kiai Madura yang urusannya dengan wacana Kitab Kuning. Allah menolong saya dengan tidak membiarkan saya dipermalukan oleh kebodohan, sehingga saya dianugerahi pengetahuan untuk menjawab gugatan Kiai tersebut, seakan-akan saya tidak asing dengan tema-tema dan muatan Kitab-Kitab Kuning.
Silaturahmi saya dengan masyarakat dan Kaum Muslimin Madura sudah sejak minimal 40 tahun silam. Dan mengingat atau mengenangnya saja bagi saya sudah merupakan hiburan dunia akhirat. Saya sering mendengar teman-teman para Kiai Madura bertanya-tanya tentang nasab saya. Keturunan siapa saya ini. Habib atau bukan. Tergolong Syarif atau Sayyid.
Yang jelas adalah saya arèk Menturo. Pendekar Maiyah asal Madura yang aktif di Bangbang Wetan Surabaya, Luthfi, yang juga Panglima “Satgas Maiyah”, memimpin wiridan di Padhangmbulan dengan kalimat-kalimat awal yang mengagendakan kalimat-kalimat wasilah melalui Keluarga Menturo, menyebut Ibu Ayah saya dan Kakek-kakek sejauh yang ia tahu. Cak Fuad sesepuh kami meminta Luthfi untuk menghapus penyebutan wasilah itu, meskipun Luthfi tetap terus melakukannya.
Memang di dalam beberapa peristiwa serius dengan sejumlah pihak termasuk organisasi Muhammadiyah, Ibu kami Halimah biasanya berkata: “Koen kate nglawan anak-anakku lanang sepuluh ta masio ketoke glundang-glundung? Aku manak ngeden dewe metu anak-anakku iku, gak njaluk tulung sopo2, mari ngunu tak susoni tak latih tirakat urip malaekatan. Ayo mreneo nek kate gelut musuh anakku…”
فَلَمۡ تَقۡتُلُوهُمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ قَتَلَهُمۡۚ وَمَا رَمَيۡتَ إِذۡ رَمَيۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ
وَلِيُبۡلِيَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡهُ بَلَآءً حَسَنًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ
“Maka yang sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Memang kewajiban maqamiyah Cak Fuad adalah menerapkan kerendahan hati keluarga Menturo. Tetapi Luthfi juga merasa bersalah kalau mengingkari bahwa induk sejarah Maiyah memang adalah Keluarga Menturo. Bahkan Luthfi memuhasabahani 287 nomor rumah Kadipiro dan menemukan 17.000 huruf “Nun” di Al-Qur`an. Bu Halimah dan Pak Muhammad Abdul Lathif memang tidak pernah mendidik anak-anaknya untuk membusungkan dada “ha ana dza!”. Iki lho aku rèk. Biarlah eksistensi, pretasi, pencapaian dunia akhirat kami diwakili oleh akhlaqul karimah dan amal saleh saja. Bukan identitasnya. Biarlah pula Allah dengan para Malaikat-Nya menjadi Dewan Juri, bukan manusia.
إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Sejak 1993 hingga 2021 tiap bulan kami sekeluarga 13 bersaudara dengan semua keluarganya “riyoyoan” tanpa menunggu Idul Fithri. Kami berpuasa sepanjang hidup dengan kesederhanaan dan keprihatinan ‘Azizun ‘alaihi ma ‘anittum. Bu Halimah menumbuhkan dan melatihkan rasa tidak tega kepada wong cilik. Kami selalu kumpul dan guyup di Menturo semuanya mengawal Padhangmbulan. Kami hidup penuh perjuangan sangat berat sejak kecil dihiasi oleh fitnah-fitnah dan pengkhianatan. Kami setiap keluarga maupun antara keluarga selalu banyak masalah, tetapi masalah-masalah tidak pernah memecah-belah kami. Kami saling membimbing dan saling melindungi untuk jangan sampai ada yang menjadi budak dunia, bercita-cita aneh untuk kaya harta keduniaan atau menjadi Lurah atau Presiden, meskipun dorongan dari sekeliling dan segala arah untuk itu selalu sangat besar dan kuat.
Cak Fuad uswatun hasanah kebersahajaan dan keikhlasan terhadap qadla qadar Allah Swt. Cak Mif pahlawan keluarga dan pendekar pendidikan. Cak Nas teladan ke-sareh-an dan kelembutan. Cak Dil penjelajah dunia uswatun hasanah silaturahmi dan keluasan pengetahuan. Cak Nang Bima contoh keteguhan dan ketegasan. Cak Yus penjelajah dan eksplorator kemungkinan-kemungkinan. Nadlr oh ratu derita yang saya bela dengan sepenuh airmata. Inayah berkebun pendidikan anak-anak, penumbuh penyiram penguri-uri yang istiqamah. Izzahsetia dalam kemurnian. Zaki penjaga gawang dan pengawal gerbang Maiyah. Lek Ham sufi tanah dan tetumbuhan. Farid memagari kekun-kebun kami semua. Mi Qoyyim nderes di setiap Padhngmbulan merepresentasikan suara Mbah Haji Ikhsan satu dari Trio Pendekar Cukir Tebuireng yang menangkap nyamuk dan lalat dengan jari jemarinya.
Kami semua orang-orang tidak istimewa, tetapi tidak ada yang bukan pensyukur rahmat Allah. Kami punya kekurangan dan kelemahan masing-masing dan juga bersama-sama, namun itu justru menjadi landasan untuk mengokohkan paseduluran, kekompakan, keguyuban dunia akhirat. Sampai hari ini kami semua tetap hanya memposisikan diri sebagai ‘Abdan ‘Abdiya saja, belum pernah menjadi ‘Raisan ‘Abdiya, ‘Ghaniyan ‘Abdiya atau apapun yang hebat-hebat. Ibu Ayah kami hidup sakmadyo, kalau punya apa-apa dipakai untuk mentraktir masyarakat, mengasuh dan menyekolahkan anak-anak yatim sampai dinikahkan dan dibikinkan rumah. Kami mentraktir olahraga dan informasi. Kami mentraktir sepakbola, volley, badminton, pingpong, dan menggalikan ilmu dan berkah Islam untuk masyarakat.
Ibu Halimah dan Ayah Muhammad tidak pernah mendidik kami dengan menunjukkan kami ini keturunan siapa, apa saja yang pernah kami lakukan. Dan Cak Fuad berdisiplin memimpin kerendahan hati dan kerahasiaan itu. Bahkan tidak ada orang yang tahu, bahkanpun para sejarawan, siapa yang babat alas dan mrantasi rampok-rampok untuk mendirikan Kabupaten Jombang dan menentukan Bupatinya sampai 3 (tiga) periode. Siapa yang ngiguh tanah di Tebuireng untuk Mbah Hasyim mendirikan Pesantren. Siapa yang menikahkan Mbah Hasyim dengan istri pertamanya. Siapa yang menampung tamu-tamu Campa di jaman Majapahit. Apalagi tentang manusia tertua 2,5 juta tahun silam di Kabuh Jombang.
Bupati-bupati Jombang sejak Orba hingga Reformasi tidak pernah ada yang ke Menturo, apalagi berpidato di hadapan rakyat. Ada trauma lama di zaman Orla ketika Bupati tengah berpidato, Bu Halimah tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju podium tempat Butapi pidato, sambil berteriak: “Pak, mboten ngoten niku masyarakat. Nopo meneh tiyang Menturo. Sampeyan kudu sinau kathah bab menungso lan Menturo...”
Kelak di tengah-tengah dekade Padhangmbulan Bupati Yanto menyempatkan diri ke Menturo dan sowan kepada Bu Halimah: “Bu, saya ke sini untuk ngaji ke Cak Fuad dan Cak Nun di Padhangmbulan. Saya ke sini tidak sebagai Bupati lho Bu...”. Adiknya Yanto, Sumrambah, sekarang menjadi Wabup Jombang, dan meneruskan keterbukaan untuk belajar, kerendahhatian kepada sesepuh-sesepuh sejarah Jombang sebagaimana Bupati Yanto.
Di awal 1960-an sebuah rapat nasional dituanrumahi oleh Cak Mad suami Bu Halimah di Menturo. Semacam training kader suatu kelompok politik nasional yang diakomodasi dan dibiayai sepenuhnya oleh Menturo. Karena rezim waktu itu adalah berideologi “Nasakom”, maka mereka yang berkumpul di Menturo sangat dicurigai. Rombongan tentara dan polisi datang menggerebeg dan membubarkan acara itu. Para peserta digiring oleh Cak Mad untuk menyingkir lewat belakang rumah ke arah utara. Di depan rumah Bu Halimah menadahi rombongan aparat yang bermaksud menangkap Cak Mad, tapi dibantah oleh Bu Halimah: “Saya ini istrinya. Kami satu. Sama saja Cak Mad atau Ibu Halimah. Jadi silahkan bawa saya untuk ditangkap ke Sumobito atau Jombang”.
Para petugas mencoba membantah, tetapi Bu Halimah tidak bergeming setapak pun. Kuat-kuatan mental dan tahan-tahanan hati. Akhirnya mereka pergi tanpa menangkap siapa-siapa. Mungkin saya pernah berkisah mengambil tahanan di Polda Metro Jaya. Aktivis yang menerbitkan buku yang diindikasikan akan sosialis-komunis, ditangkap, buku di Colt-nya disita, sopirnya juga ikut ditangkap. Besoknya saya dolan ke Polda Metro. Teman-teman petugas selalu sayang menyayangi dengan saya. Mereka saya minta untuk memanggil aktivis itu untuk diajak mengobrol bersama. Setelah sekitar 30 menit saya pamit pulang sambil mengambil tangan si aktivis tangkapan: “Ayo mulih, wis meh maghrib iki…”. Ia pun bebas dari proses hukum eksklusivisme politik yang masih berbau Orba itu.
Lek Ham Menturo juga mendengar ada anak buahnya ditangkap Polisi karena kesalahan surat-menyurat motornya. Lek Ham datang ke kantor Polisi dan bilang “Saya mau ngambil motor teman saya ini…”. Lantas pamit pulang ke Menturo.
وَمِنۡ حَيۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۖ
وَإِنَّهُۥ لَلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ
“Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”
Terapi tak seorang pun memperhatikan ketika Lek Ham bilang akan mengambil motor, wajahnya menghadap ke arah mana.